Hari ini, Selasa, 14 Juni 2017, pagi-pagi benar saya melintasi daerah Kali Angke dan menuju arah tol yang berada tepat di sebelah kolong tol dekat Kalijodo Skatepark. Warga Jakarta kenal betul, bahwa Kalijodo beberapa tahun yang lalu merupakan sebuah tempat yang dikenal dengan lokasi kemaksiatan. Di atas lokasi yang tidak terlalu besar tersebut, daerah Kalijodo konon ditempati ribuan orang.
Tentu tak dapat kita bayangkan jika para akhir pekan, kedatangan pelanggan ke lokasi tersebut akan menimbulkan banyak sekali penyakit kelamin yang muncul. Aksi-aksi maksiat yang sangat kotor tersebut, tentu tak dapat ditampung hanya di satu lokasi Kalijodo.
Maka tidak heran jika banyak penjaja ‘jasa seks komersil’ sampai tumpah ruah keluar lokasi prostitusi tersebut. Daerah tersebut kurang besar, untuk mencukupi kehausan akan para pelanggan seks, yang kebanyakan adalah pria-pria kantoran maupun orang-orang yang pada siang hari terlihat soleh.
Bertahun-tahun yang lalu, di sepanjang jalan Kali Angke, banyak orang yang menjajakan ‘barang dagangannya’ di gerobak-gerobak yang menghadap ke arah kali. Sejak saya kecil, pemandangan itu sering saya jumpai.
Awalnya saya berpikir gerobak itu menjual barang dagangan yang dijajakan selayaknya pedagang asongan. Lantas seiring dengan usia yang bertambah, pengetahuan saya pun bertambah. Ternyata gerobak-gerobak tersebut bukan menjual barang dagangan, melainkan menjual jasa pekerja seks komersil (PSK).
Mereka yang melakukan tindakan mesum di pinggir kali, dilakukan di dalam gerobak yang hanya berukuran kira-kira panjang x lebar x tinggi 1,5m x 1m x 1m. Mungkin kurang dari ukuran tersebut. Hal ini tentu merupakan hal yang harus diselesaikan oleh pihak aparat keamanan, karena mereka melakukan tindakan mesum tersebut di dalam gerobak mesum.
Razia tersebut bukan hanya dilakukan karena laporan warga yang resah ketika setiap kali harus melintasi daerah tersebut. Razia ini dilakukan justru untuk menyelamatkan para penjaja tubuh, maupun para pelanggan dari tindakan maksiat yang justru dilarang oleh agama mana pun.
Tindakan zina semacam ini harus diselesaikan dan dibereskan oleh pihak keamanan seperti Satpol PP, juga diteruskan kepada pihak keagamaan. Penertiban PSK sudah sering dikerjakan pada tahun-tahun sebelumnya. Namun namanya saja manusia, tentu kita harus lumrah bahwa di dalam kecenderungan dosa dan dibiarkan begitu saja oleh pemerintah-pemerintah terdahulu, penertiban ini hanya sebatas formalitas, dan para PSK pun akan kembali menjual dirinya.
Ternyata PSK yang menjual tubuh mereka, diminati oleh para pelanggan yang entah datang dari mana. Para pelanggan yang memiliki motor, memarkirkan kendaraannya dekat daerah Kalijodo, sehingga menimbulkan kemacetan. Sekarang kita tahu bahwa kemacetan di sekitar Kalijodo berkurang drastis, sejak dibongkarnya lokasi prostitusi, dan dibangun Kalijodo Skatepark.
Kalijodo skatepark memang sempat membuat kemacetan, namun kemacetan yang dimunculkan merupakan kemacetan karena ada orang-orang yang ingin berkunjung. Macet karena kunjungan jauh lebih baik ketimbang macet karena ‘kunjungan’. Mengerti maksud saya?
Keberadaan Djarot yang menjadi pelaksana tugas (PLT) Gubernur mengganti Ahok, ternyata prima. Djarot dengan tegas mengimbau para penghuni daerah kolong jembatan dekat Kalijodo untuk pindah, jika tidak, akan dipindah paksa. Saya mula-mula berpikir Djarot tidak mampu untuk melakukan hal tersebut. Namun prediksi saya salah.
Djarot mampu dan pagi ini, saya dengan mata kepala sendiri, melihat penertiban yang dilakukan oleh sekitar 100 orang Satuan Polisi Pamong Praja, menertibkan lokasi kolong jembatan. Herannya, Anies dan Sandi sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih malah enggan memberikan tanggapan, dan cenderung ‘ngeles’. Inilah calon pemimpin Jakarta lima tahun ke depan. Selamat untuk warga Jakarta!
Jelang penertiban, tidak sedikit barang-barang yang disita untuk menghindari aksi anarkis yang dilakukan oleh para pria penghuni Kalijodo. Penyisiran tersebut ditemukan sejumlah barang-barang haram seperti senjata tajam, botol sisa minuman keras, linggis, hingga alat kontrasepsi. Inilah bukti kuat yang digunakan di daerah Kalijodo. Maka tahu sendiri kesimpulannya bukan?
Ketika saya melintasi daerah tersebut, terlihat sekelompok Satpol PP sedang merubuhkan bangunan yang ada. Ada para wartawan yang meliput aksi tersebut. Di daerah tersebut ada juga ibu-ibu dan anak-anak yang sedang menangis di belakang para petugas satpol PP yang sedang bekerja.
Operator kamera sebuah media yang berbaju putih terlihat hanya meliput ibu-ibu dan anak-anak. Saya tidak tahu wartawan itu dari televisi atau media mana. Namun satu hal yang pasti, selama saya melintasi, saya memerhatikan wartawan tersebut hanya meliput aksi pol PP dengan latar belakang ibu-ibu yang menangis. Sedangkan di daerah yang sama, ada sekelompok pria, sepertinya yang tinggal di daerah Kalijodo, sedang dihadang oleh anggota pol PP lainnya. Aksi tidak anarkis, namun menegangkan. Media harus memberikan fakta, bukan sesuatu penggiringan opini yang justru menyesatkan!
Jadi kesimpulan saya, media berwarna putih ini rasanya sangat cerdik di dalam menggiring opini penonton. Jangan sampai kita tertipu dengan hal ini. Si putih itu diam-diam membakar habis akal sehat para konsumen. Waspadalah!
No comments:
Write komentar