Jokowi Memang Asyik, Tapi Tetap Perlu Dikritik (Antara Jokowi dan Cak Nun)

 


Kalau bicara tentang pencapaian Jokowi, nggak perlu diragukan lagi. Banyak sekali pencapaiannya. Anda pasti lebih tahu daripada saya. Maaf, saya bukan pengamat pembangunan.

Lihat saja pembangunan SPBU di Kabupaten Puncak, Papua. Premium yang semula berharga Rp 50.000 per liter sekarang turun jadi 6.500 per liter. Kelihatannya memang sepele, tapi dampaknya sangat terasa. Hal-hal kecil seperti itu kalau tidak diurusi bisa jadi pemicu kecemburuan sosial antara rakyat Papua dengan propinsi lain yang sudah lama tersentuh pembangunan.

Juga pembangunan jalur kereta api pertama kali di Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat. Daya angkut KA jauh lebih bagus dibanding Bus. Diharapkan dengan adanya KA, laju pertumbuhan ekonomi akan lebih terdongkrak. Setidaknya orang luar Jawa nggak nggumun melihat KA. Ingat cerita Kasino Warkop DKI tentang temannya orang Ambon yang takjub lihat KA, “Aih ada besi merayap! Merayap sudah begini kencang, bagaimana kalau berdiri???”

Banyak pencapaian Jokowi yang memang dibutuhkan oleh rakyat, anda bisa tanyakan mbah Google, karena jujur saja saya malas menyertakan referensi. Tapi Jokowi bukanlah Nabi, tidak semua kebijakannya cocok, diterima dan disetujui oleh rakyat. Apa soal reklamasi Teluk Benoa, soal kenaikan tarif TDL, atau soal apa pun.

Fanatik boleh, buta jangan. Jika sudah mendukung Jokowi, maka menganggap Jokowi 100% benar, sedangkan Prabowo 100% salah. Begitu juga jika mendukung Prabowo. Tidak ada manusia yang lebih unggul, kekurangan manusia yang satu adalah kelebihan manusia yang lain, begitu sebaliknya. Fanatik buta membuat orang jadi “kerdil”. Karena menutup diri pada ilmu atau kebaikan hanya karena ilmu dan kebaikan itu dibawa oleh orang yang dibenci, atau bukan dari kelompoknya.

Pemerintah harus selalu membuka pintu kritik lebar-lebar. Mengkritik itu halal bahkan wajib jika memang diperlukan. Yang dilarang itu fitnah, menghasut, provokasi dan hatespeech. Tapi yang sering terjadi, ketika seseorang mengkritik orang lain langsung dianggap hater oleh pendukung orang yang dikritik.

Terhadap negara, rakyat diharapkan perduli pada persoalan (polemik) yang ada. Jangan terlalu cuek pada negara. Pasif itu mendorong orang jadi apatisme. Sifat apatis menjadikan orang tidak punya jiwa patriot, militansi, perjuangan untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan.

Selama kritikan itu membangun, silakan saja. Seorang presiden dilarang alergi kritik. Bahkan kritikan sepahit apapun tetap harus diterima, presiden harus berjiwa besar. Tingkat intelektual rakyat tidak bisa distandarisasi. Ada yang mengkritik pakai data, tapi banyak juga yang asal kritik. Apalagi kritik tidak diharuskan pakai solusi.

Jadi, siapa pun yang mengkritik presiden, pendukungnya harus legowo. Saya percaya presiden Jokowi pasti legowo. Kritik adalah bentuk keperdulian pada negara, mereka mengkritik karena cintanya yang sangat pada NKRI. Siapa pun yang mengkritik harus kita sikapi dan prasangkabaiki dengan luas hati.

Begitu juga dengan Cak Nun, seorang tokoh budaya yang sering mengkritik Jokowi. Cak Nun melakukan itu karena sangat mencintai negerinya. Orang sekaliber Cak Nun sangat layak mengkritik pemerintah. Cak Nun adalah sesepuh, tidak hanya di antara jamaahnya, tapi bagi bangsa ini. Para pejabat penting, petinggi partai, petinggi Ormas, dan orang penting lainnya pernah sowan ke Cak Nun, minta nasehat dan petunjuk dari beliau.

Cak Nun bukan bagian dari pemerintahan, bukan dari Parpol apa pun, bukan dari Ormas apa pun dan juga bukan bagian dari sekte atau madzhab apa pun. Jadi bisa melihat masalah dengan lebih jernih, karena berada di luar lingkaran.

Sedikit tentang Cak Nun :

Di masa mudanya Cak Nun adalah aktivis pembela rakyat (sampai sekarang). Beliau lah yang memperjuangkan jilbab di perusahaan-perusahaan yang melarang pekerjanya berjilbab saat bekerja. Di zaman itu perempuan berjilbab bisa dihitung dengan jari, tapi Cak Nun dengan pedenya mementaskan drama kolosal “Lautan Jilbab”. Dan perempuan berjilbab sekarang sama sekali tidak tahu siapa yang telah memperjuangkan mereka.

Cak Nun adalah tokoh reformasi yang dilupakan bangsa ini. Bersama Nurcholis Madjid, Amien Rais dan para aktivis pemuda, menggulingkan Soeharto. Tapi yang dikenal sebagai tokoh reformasi cuman Amien Rais, yang lainnya terlupakan.

Di masa itu Cak Nun berani “menabrak” semua aturan rezim Soeharto yang kolot dan kejam. Ajaibnya Cak Nun malah dijadikan guru ngaji oleh Soeharto. Pemahaman Islam Soeharto pun mengalami konversi dari Islam Jawa (Kejawen) ke Jawa Islam.

Cak Nun tahu persis alasan Soehato mau turun (21 Mei 1998). Bahkan istilah “gak patheken” yang diucapkan di pidato pengunduran diri Soeharto : “Nggak jadi presiden gak patheken!”, itu didapat dari Cak Nun. Soeharto turun bukan karena gerakan mahasiswa, tapi nggak tega hatinya melihat rakyat mulai menjarah. Kalau cuman gerakan mahasiwa, kecil! Soeharto punya pasukan militer yang setia. Sekali perintah, gerombolan mahasiswa pasti musnah.

Maaf, saya tidak pro Soeharto atau Rezim Orba. Saya kisahkan ini agar anda yang mantan aktivis mahasiswa ’98 jangan geer. Soeharto lengser bukan karena Student Power, tidak seperti yang anda baca di berita-berita mainstream tentang lengsernya Soeharto.

Setelah Soeharto lengser, Cak Nun malah menjauh dari peta politik dan urusan kepemimpinan di negeri ini. Beliau sadar, ternyata para tokoh atau aktivis reformasi tidak 100 % bertujuan reformasi. Kebanyakan cuma ngincar jabatan, ladang basah untuk diri dan partainya. Sekarang kesibukan Cak Nun cuman keliling shalawatan membesarkan hati dan mencerdaskan rakyat.

Kalau Cak Nun mau, beliau bisa jadi orang penting di pemerintahan. Tapi itu tidak dilakukannya. Beliau punya banyak umat yang fanatik yang kalau Cak Nun mau bisa digerakan untuk kepentingan beliau. Tapi itu juga ditepisnya, malah Cak Nun melarang jamaahnya untuk taat dan membela beliau.

Cak Nun lah yang membujuk Gus Dur agar mau jadi presiden menggantikan Habibie. Karena saat itu jika Megawati yang naik, partai hijau pasti galau. Tapi jika Habibie yang naik, partai merah nggak rela. Kuatir masyarakat akan terpecah, maka presiden yang naik harus dari kalangan ulama, bukan dari partai politik. Cak Nun pula lah yang membujuk Gus Dur untuk meninggalkan istana saat di-impeachment oleh MPR.

Maaf kalau out of topic, cerita soal Cak Nun ini saya kisahkan kembali untuk para pendukung Jokowi yang membenci Cak Nun hanya karena seringnya Cak Nun mengkritik pemerintah. Cak Nun bukanlah anak kemaren sore. Beliau sangat paham apa yang dilakukannya.

Cak Nun mengkritik itu pasti karena alasan dan dasar yang kuat. Beliau punya pengalaman panjang, wawasan yang luas dan pengetahuan yang mendalam di bidangnya. Walau pendidikan terakhirnya cuman semester 1 Fakultas Ekonomi UGM, tapi otaknya nggak kalah dengan profesor. Bahkan para profesor minder bila bersanding dengan Cak Nun dalam satu majelis ilmu.

Jadi, mengkritik itu bukan berarti membenci. Malah sebaliknya, mengkritik itu dalam rangka perduli, tidak rela melihat bangsa ini terus-terusan menderita. Dan hidup itu lebih banyak yang tidak kita setujui daripada setujunya. Maka butuh keluasan hati untuk menyikapi ketidaksetujuan itu. Benar kita relatif, tidak ada sesuatu di dunia ini yang betul-betul benar. Hanya Tuhan yang pasti benar.

Akhir kata, Jokowi memang hebat, tapi itu tidak berarti apa-apa tanpa pendukung yang hebat. Maka, jadilah Jokower yang punya keluasan hati dan bermartabat. Terimalah semua kritik pada presiden Jokowi dengan lapang dada dan legowo.swd

No comments:
Write komentar