Upaya Pencarian TUHAN Dalam Tradisi Jawa "tan kena kinaya ngapa"

 






Berdasarkan pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaan-Nya itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistem simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung Dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dan seterusnya. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tampak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigi panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa Jawa “tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.

Dengan pengertian “Acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin 
menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung Dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tampak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”.

Jadi hakekat Tuhan adalah “Kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya yang tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya meyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan Sang Maha Kosong”. Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangkan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “Yoga Samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.

Apabila “Kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran Katon atau orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “Lingga Yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasana mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.

Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di Pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “Yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “Pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “Samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “Heneng” atau “Sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba diambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Munkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “Sukha Tan Pawali Dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum Rwa Bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “Kramaning Sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atma kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gendhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebengi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (Triwikrama) seluruh jagad raya akan tenggelam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “Saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (Catur Sanak). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “Pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “Karma Wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian SA BA TA A I dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut Ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elinge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dan seterusnya. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulannya, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dan seterusnya. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam diri sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa Warih adalah Air dan Damar adalah Api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidak tahuanlah yang meyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.

Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau belajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham “Kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.

ref: Andira Puspita Sharma

No comments:
Write komentar