Hancur sekali hati saya ketika menonton video di YouTube yang mempertontonkan seorang wartawan yang kebetulan berjenis kelamin wanita dan juga kebetulan beragama Kristen yang sedang meliput kegiatan massa pada persidangan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 31 Januari 2017 lalu.
Apakah ini tanda-tanda bahwa dunia ini sudah mau kiamat? Apakah ini tanda-tanda bahwa Indonesia akan berjalan menuju negara yang intoleran terhadap perbedaan agama? Apakah ini tandanya bahwa rumah Pancasila yang dibangun di atas tetesan darah dan air mata para pahlawan negeri kita akan perlahan-lahan runtuh?
Dua hari lalu ketika saya membaca pemberitaan di kompas.com tentang adanya 3 wartawan yang diamankan oleh massa kontra Ahok dan saya membaca kutipan disana yang mengatakan bahwa wartawan-wartawan ini sempat di-interview oleh kelompok GNPF (Gerakan Nasional Pembela Fatwa), tidak sedikitpun terbesit di benak saya bahwa situasinya seperti apa yang dipertontonkan di video di atas.
Hari ini, telah saya tonton videonya dan saya lihat lagi foto wartawan di pemberitaan kompas.com, saya pastikan mereka adalah 1 orang yang sama, yang artinya video yang beredar ini bukanlah rekayasa dan bukanlah diambil pada waktu yang berbeda.
Perih sekali rasanya hati saya ketika menulis tulisan ini. Apakah Indonesia masih rumah kami? Apakah ini tandanya bahwa kami harus memalsukan agama kami agar mendapatkan perlakuan yang sopan dari mereka? Apakah artinya saya harus melakukan operasi plastik terhadap mata saya agar tidak sipit dan menutupi semua bagian tubuh saya yang berwarna putih kekuningan ini? Apakah ini tandanya bahwa kami harus memalsukan KTP kami demi keamanan dan keselamatan kami?
“Ada tiga orang yang sempat diamankan, dua orang laki-laki dan satu orang perempuan,” ujar Kepala Bagian Operasi Polres Metro Jakarta Selatan, AKBP Donny Alexander kepada Kompas.com, Selasa sore yang dilansir disini.
“Jadi sempat di-interview oleh teman-teman GNPF. Salah satu dari mereka di KTP-nya beragama Nasrani,” kata dia.
“Setelah kami tanya-tanya mereka ternyata wartawan. Mereka juga bisa menunjukan KTP dan ID Pers-nya. Saat kami interview juga disaksikan oleh perwakilan GNPF,” kata Donny.
Ketakutan dan Trauma
Saya memang bukan saudari wartawan itu, tapi saya bisa bayangkan bagaimana perasaannya. Saya juga trauma ketika dijambret dan dipukuli oleh oknum (entah sekarang mantan atau bukan) Babinsa, sampai sekarang saya rasanya tidak ingin melewati jalan tempat lokasi kejadian tindakan kejahatan yang menimpa saya. Saya dapat bayangkan bagaimana kondisi psikis wartawan ini.
Coba kalian semua menonton videonya, di video saja terlihat wartawan ini dengan sedikit memelas membela diri dengan mengatakan: “agama apa saja boleh, Bapak….”, itu adalah bukti permulaan untuk menduga bahwa dirinya sedang ketakutan dan tidak berdaya ketika itu. Perkataannya ini sangat menyayat hati saya, apakah orang-orang GNPF yang melakukan ini tidak pernah tahu tentang kebebasan menganut agama di negeri yang telah mereka tinggali selama berpuluh-puluh tahun ini?
Namun saya harus menyampaikan salut kepada wartawan perempuan ini, di foto kompas.com di atas masih terlihat sedikit senyum di wajahnya. Saya rasa ada banyak perempuan yang akan menangis jika diperlakukan seperti di video ini. Saudari ini sungguh berhati besar, mungkin ia tidak ingin memperpanjang masalah ini atau takut atau apa, saya tidak tahu.
Tapi bagaimana dengan hidupnya wartawan ini ke depan? Apakah dia tidak akan trauma untuk melakukan peliputan-peliputan media di lapangan? Kalau sudah trauma bagaimana ia mau melanjutkan pekerjaannya sebagai wartawan? Kalau sudah begini siapa yang harus diminta pertanggungjawaban? Apa yang dapat diberikan oleh negara kepadanya?
Menanti Proses Hukum yang Tegas
Memaksa memeriksa KTP, mendapatkan cemoohan karena beragama tertentu, dan didorong atau dipukul kepalanya dengan disebut ‘bangs*t’, apakah ini bukan penganiayaan? Saya tidak tahu kenapa polisi ketika mengamankan 3 wartawan tersebut bisa-bisanya tidak mengungkap penganiayaan ini sekaligus. Sungguh memprihatinkan.
Apakah polisi tidak menduga ada penganiayaan yang dilakukan? Lalu apa pentingnya keberadaan GNPF pada saat pemeriksaan ketiga wartawan ini? Bukankah bisa saja dianggap intimidatif? Dan pertanyaan saya selanjutnya apakah mungkin hanya wartawan perempuan ini yang dibeginikan? Apakah 2 wartawan pria lainnya juga mendapatkan perlakuan yang sama? Apakah para korban ini tidak mengungkapkan fakta yang lengkap kepada polisi karena takut kepada kelompok GNPF yang berada di tempat?
Pak polisi oh Pak polisi… kami tidak akan menyalahkan kalian jika memang kalian tidak tahu perlakuan GNPF terhadap wartawan ini, tapi sekarang sudah ada buktinya tuh, saya akan menantikan proses hukum yang tegas terhadap orang-orang ini.
Saya tidak belajar hukum Pak, tapi saya pernah mendengar dan menganjurkan penggunaan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan entah apa lagi mohon dicari semua pasal yang dapat kalian gunakan untuk menegakkan keadilan di bumi Indonesia ini.
Penutup
Saya memohon kepada pihak yang berwajib untuk segera melakukan tindakan hukum yang tegas dan berwibawa terhadap semua orang yang terlibat dalam insiden ini.
Kami rakyat Indonesia sangat tersinggung. Kami tidak akan menerima penerimaan maaf karena hati kami sudah terlanjur disakiti. Kira-kira begitulah Pak, boleh kan saya sekali-kali juga mengatasnamakan seluruh rakyat Indonesia dan juga mengatakan bahwa hati kami sudah terlanjur disakiti sangat dalam?
Tapi tenang, kami bukan manusia yang tidak beradab yang melakukan penghakiman semau-maunya apalagi melakukan kekerasan. Kami juga bukan manusia yang tidak terdidik yang melontarkan cacian makian apalagi ancaman pembunuhan. Kami juga pastikan kepada Anda Pak bahwa kami adalah warga negara yang hormat kepada hukum, yang mau menerima perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa harus memandang status sosial ataupun status keagamaan kami.
Namun tolong tetap obati ketersinggungan kami ini, karena kami juga warga negara Indonesia yang sah dan diakui di negeri ini. Kami juga punya hak-hak kami untuk mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum lepas dari apa warna kulit kami dan apa status sosial kami. Kami juga manusia yang dikaruniai sebuah kehidupan oleh Yang Maha Kuasa, jadi kami juga punya hati yang punya dapat tersinggung.
Dari sebatang pohon yang ingin berdiri kokoh dan tegar di tengah badai dan topan………
No comments:
Write komentar