Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta segera bertarung. Mereka adalah pasangan inkumben Basuki Tjahaja Purnama —Djarot Syaiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviana Murni, dan Anies Baswaden-Sandiaga Uno.
Duet Ahok-Djarot diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, NasDem dan Hati Nurani Rakyat. Pasangan Agus-Sylviana juga disokong oleh empat partai yaitu Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Adapun Anies-Sandiaga hanya digotong oleh dua partai-- Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Keadilan Sejahtera.
Dari sejumlah survei, popularitas dan elektabilitas Ahok-Djarot masih unggul dibanding dua penantang. Tapi hasil survei ini bukanlah jaminan karena tahapan pemilihan baru saja dimulai dan pertarungan masing panjang, memakan waktu sekitar 4 bulan. Setelah melakukan pendaftaran dan tes kesehatan, akan diikuti dengan verifikasi persyaratan calon.
Proses selanjutnya, penetapan calon, pengudian nomor urut, hingga kampanye yang dimulai pada 26 Oktober sampai 11 Februari 2017. Semua tahapan pemilihan ini akan berujung pada saat-saat penentuan: pemungutan suara pada 15 Februari 2017.
Inilah sejumlah jebakan bagi pasangan inkumben Ahok-Djarot yang perlu diwaspadai. Kalau lengah, pasangan ini bisa saja disalip oleh kubu penantang.
1. Kekuatan partai pendukung bukan jaminan
Pasangan Ahok-Djarot bermodal politik paling besar bila dilihat dari perolehan suara partai-partai pendukung pada pemilu legislatif DKI 2014. Mereka didukung oleh PDIP dengan perolehan suara 27,15 persen, Golkar 8,29 persen, Hanura 7,87 persen, dan NasDem, 4,54 persen. Keempat partai mengantongi 47,85 persen suara atau 52 kursi DPRD DKI.
Bandingkan dengan pasangan Agus-Sylviana yang disokong oleh PPP dengan perolehan suara 9,97 persen, Demokrat 7,96 persen, PKB 5,73 persen, dan PAN 3,81 persen. Empat partai ini hanya mengumpulkan 27,47 persen suara atau 28 kursi. Adapun pasangan Anies-Sandiaga mendapatkan dukungan paling kecil, yakni Gerindra 13,06 persen dan PKS 9,35 persen. Dua partai ini mengumpulkan suara 22,41 persen atau 26 kursi DPRD.
Sangu politik Ahok-Djarot bukanlah jaminan bahwa pasangan ini menang mudah. Ingat, pada pilkada DKI 2012 pasangan inkumben Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli juga disokong oleh mayoritas partai besar. Pada putaran kedua pasangan ini bahkan mengantongi modal politik sekitar 70 persen suara. Angka ini merupakan total perolehan suara partai penyokong pada pemilu DKI 2009 seperti Demokrat, Golkar, PKS, PPP, PKB, dan Hanura.
Adapun pasangan Jokowi Ahok saat itu hanya didukung oleh PDIP dan Gerindra yang masing-masing hanya memiliki 10 persen dan 5 persen suara. Ternyata pasangan dengan modal politik yang minim ini justru sanggup mengalahkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi.
2. Jebakan popularitas dan elektabitas inkumben
Popularitas dan elektabilitas calon inkumben selalu lebih unggul dibanding penantang. Saat ini Ahok masih lebih kondang dan memiliki tingkat keterpilihan tinggi. Survei Poltracking Indonesia pada 6-9 September 2016 menunjukkan Ahok paling populer, paling disukai dan tingkat elektabilitasnya 40,77 persen. Sedangkan elektabilitas hanya Anies Baswedan 8,92 persen.
Hasil survei itu bisa mengecoh. Menilik pengalaman pilkada 2012, begitu cepat perubahan politik terjadi. Hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang diadakan akhir Juni 2012 menunjukkan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli sukses meraih 43,7 persen. Jokowi- Ahok cuma 14,4 persen. Sementara empat pasangan lain hanya memperoleh dukungan di bawah 10 persen.
Yang terjadi dalam pemilihan pada 11 Juli 2012 amat mengejutkan. Jokowi-Ahok meraih 42,6 persen suara, dan Fauzi Bowo-Nachrowi hanya 34,05 persen. Adapun empat pasangan lainnya memperoleh suara jaug lebih kecil. Di putaran kedua yang digelar pada 20 September 2012, akhirnya pasangan Jokowi Ahok memenangi pertarungan.
3. Faktor sentimen primordial
Diharapkan masalah sentimen primordial seperti agama dan ras tidak terlalu berpengaruh terhadap pilkada DKI. Tapi sulit untuk menafikkan hal ini karena bisa saja akan menjadi bahan kampanye terselubung buat menggerogot popularitas Ahok-Djarot.
Isu sensitif itu juga akan menguji kematangan warga Ibu Kota dalam berdemokrasi. Apakah pemilih bisa secara obyektif melihat program para calon atau terjebak pada sentimen primordial. Paling tidak sejauh ini karena kampanye belum dimulai di atas kertas Ahok-Djarot masih unggul dalam soal program membenahi DKI. Dua pasangan penantang harus bekerja ektra keras buat merebut hati pemilih. Apalagi kalau penduduk DKI benar-benar mempertimbangkan program kongkrit, dan bukan sentimen agama atau ras. *
tempo.co
No comments:
Write komentar