Akhirnya pasangan inkumben Basuki Tjahaja Purnama —Djarot Syaiful Hidyat mendapatkan penantang yang sepadan. Pasangan yang diusung oleh empat partai ini-- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, NasDem dan Hati Nurani Rakyat—harus menghadapi lawan cukup tangguh yang disodorkan oleh kubu Prabowo Subianto.
Lewat rapat intensif di rumah keluarga Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Keadilan Sejahtera, akhirnya mencapai kata sepakat. Mereka menampilkan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswaden sebagai calon gubernur DKI. Ia berpasangan dengan pengusaha Sandiaga Uno.
Satu pasangan lagi yang berlaga dalam pilkada DKI berasal dari kubu Cikeas. Ia adalah putra mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, yang bergandengan dengan Sylviana Murni-- selama ini menjadi Deputi Gubernur DKI bidang Pariwisata dan Kebudayaan. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa.
1. Partai politik tidak siapMungkinkah kedua penantang itu sanggup menaklukkan Ahok? Kenapa pula penentuan calon dilakukan pada hari terakhir pendaftaran? Setidaknya ada lima hal yang mengejutkan dan menarik dari proses pencalonan dalam pilkada DKI.
Sejumlah partai politik baru menentukan calon pada hari tenggat pendaftaran dan dilakukan secara terburu-buru lewat serangkaian lobi serta kasak kusuk hingga Subuh. Pasangan Agus-Sylviana ditentukan dalam rapat di rumah SBY di Cikeas, Bogor, yang berlangsung hingga Jumat, 23 September, dini hari. Pasangan ini langsung diumumkan saat itu juga setelah kubu Cikeas gagal membujuk Gerindra dan PKS untuk ikut berkoalisi
Pasangan Anies-Sandiaga bahkan lahir dari proses yang lebih alot lagi. Pasangan ini baru diumumkan pada Jum’at malam, hanya beberapa jam sebelum tenggat pendaftaran. Bahkan dikabarkan sebelumnya Anies sempat ditawari sebagai calon wakil gubernur, tapi ia menolak.
2. Pertarungan Prabowo, SBY, dan Megawati
Cara penentuan pasangan calon yang bertarung dalam pilkada DKI sekaligus menggambarkan dominannya pengaruh Prabawo Subianto di poros Kertanegara dan Susilo Bambang Yudhoyono di poros Cikeas. Sulit membayangkan poros Kertanegara akan menampilkan Anies Baswedan menjadi calon gubernur tanpa ada peran dari Prabowo. Semula, Sandiaga yang diplot sebagai calon gubernur, bukan sebaliknya.
Di kubu Cikeas, pengaruh SBY yang besar terlihat daru tampilnya Agus Harimurti yang masih berpangkat mayor dan minim pengalaman politik. Di PDIP, Megawati juga menjadi figur sentral yang membelokkan haluan partai ini untuk menyokong Ahok-Djarot.
3. Rekrutmen politik macet
Gejala ini sudah lama terjadi. Partai politik seolah kehilangan kepercayaan diri. Golkar yang sering menjagokan kadernya sendiri menelan kekalahan di banyak pilkada. Sebaliknya PDIP justru meraih banyak kemenangan dengan menjagokan tokoh dari luar partai. Dari sekitar 150 pasangan calon kepala daerah yang disodorkan PDIP pada pilkada 2009, misalnya, hanya sekitar 20 persen yang merupakan kader partai.
Mengusung figur dari luar partai sebetulnya sah sah saja. Hanya, langkah ini semestinya dilakukan secara sistematis dan disiapkan sejak dini. Partai seharusnya pula menyiapkan dana untuk kampanye calon, dan bukannya malah meminta mahar dari calon yang diusung. Partai-partai juga cenderung menyokong calon yang memiliki banyak duit atau inkumen. Calon inkumben dianggap memiliki modal atau setidaknya mempunyai pengaruh untuk mengumpulkan penyumbang.
4. Ujian kematangan demokrasi
Pilkada DKI merupakan barometer politik nasional. Dua tahun lalu, PDIP berhasil memenangi pemilu legislatif dan pemilihan presiden setelah berjaya dalam pemilihan gubernur DKI 2012. Pilkada DKI juga amat penting karena merupakan ujian bagi kematangan demokrasi: sejauh mana rakyat bisa meninggalkan sentimen primordial seperti agama dan ras. Pada pilkada DKI 2014, masalah ini belum terlalu teruji lantaran yang menjadi figur sentral tetap Jokowi, bukan Ahok.
5. Peluang penantang Ahok
Peluang tetap terbuka lebar, terutama bagi pasangan Anies-Sandiaga, yang cukup populer untuk mengalahkan Ahok. Sang inkumben memang cukup berhasil mengubah Jakarta—mulai dari penataan birokrasi, pembenahan bantaran Sungai Ciliwung hingga proyek angkutan cepat terpadu. Tapi tingkat elektabilitas Ahok sejauh masih di bawah 50 persen dalam sejumlah survei.
Survei Poltracking Indonesia pada 6-9 September 2016, misalnya, menunjukkan Ahok paling populer, paling disukai, tapi tingkat elektabilitasnya hanya 40,77 persen. Sedangkan elektabilitas Anies Baswedan 8,92 persen. Untuk popularitas, Ahok mencapai 92,56 persen, Djarot 59 persen, Anies Baswedan 71,79 persen, dan Sandiaga 64,10 persen. Adapun nama Agus Yudhoyono dan Sylviana belum masuk survei.
No comments:
Write komentar