Dari sekian banyak kejadian persekusi oleh ormas yang terjadi sepandangan saya ada dua yang ter-blow up secara besar-besaran. Pertama, dr. Fiera dari Solok, Sumatera Barat. Kedua, remaja bernama Mario di Jakarta Timur. Mungkin sangat mencolok karena dr Fiera perempuan yang tinggal di Solok hanya bersama dua anak yang masih kecil, sementara Mario selain usianya yang di bawah umur juga dia dari etnis minoritas dan tinggal bersama ibunya yang janda dengan 6 anak yang masih kecil-kecil. Bahkan kabar menyebutkan selain Mario dipersekusi oleh ormas tersebut juga keluarga mereka diusir, ibunya dipecat, dan Mario dikeluarkan dari sekolah. Alasannya karena pihak-pihak tersebut takut jika nanti ormas akan mengganggu lingkungan mereka terkait kasus ini.
Kita memang harus berhati-hati di media sosial, namun bukan berarti orang bisa sembarangan mengintimidasi orang lain hanya karena sebuah status. Apalagi kalau sebetulnya tidak ada unsur ancaman terhadap mereka. Anggap saja ada orang yang komen “ih lu gendut deh, jelek” ya masak kita dibilang seperti itu terus langsung tersinggung dan marah-marah kemudian seperti geng nero menghajar yang bicara seperti itu? Kecuali kalau ada yang bicara “ih lu gendut, jelek, gue mutilasi bakar hidup-hidup ya“. Nah itu baru ada unsur ancaman dan Anda bisa lapor, apalagi kalau yang ngomong memang potensial jadi psikopat.
Ada sebuah hikmah besar yang bisa kita lihat dari dua kasus yang ramai jadi perbincangan ini. Yakni soal kebohongan FPI tentang aksi persekusi.
Di Solok, FPI Sumbar membantah mengintimidasi dan menakut-nakuti dr Fiera.
“Kami tidak ada melakukan intimidasi apapun. Jika ada, tolong buktikan kapan dan dimana itu terjadi. Saya pastikan tidak ada bentuk intimidasi apapun,” kata Buya Muhammad Busra, Ketua DPD FPI Sumatera Barat.
Padahal kenyataannya FPI dan sejumlah ormas Kota Solok memburu Fiera mulai di tempat kerjanya RSUD Solok, rumahnya, bahkan ketika ia bersama anaknya di dalam mobil ada yang mengetuk kacanya. Bahkan seorang Kasat Intel bernama Ridwan dan Kepala Kepolisian Kota Solok alih-alih melindungi Fiera justru seakan lemah dengan ormas. Di bawah tekanan akhirnya Fiera menandatangani surat permohonan maaf.
Celakanya meski sudah menandatangani itu, teror terhadap Fiera baik melalui media sosial maupun dalam keseharian tidak kunjung berhenti. Anak-anaknya pun menjadi trauma. Sejawatnya di kantor pun memilih menjauhinya untuk mencari aman. Fiera yang tidak merasa nyaman akhirnya memutuskan meninggalkan Solok. Ia menuturkan bahwa pasca bertemu dan meminta maaf kepada petinggi ormas dan FPI Sumbar dirinya kembali diintimidasi. Selama di Solok, ibu dua anak itu mengaku hanya pernah diperiksa oleh Polres dan Polsek setempat. Ia tidak pernah melakukan komunikasi dengan Kapolda Sumatera Barat maupun Gubernur Sumbar. Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, dalam akun resmi twitternya juga menuliskan bahwa kondisi Solok telah kembali kondusif dan Dokter Fiera beserta anak-anaknya telah kembali aman.
“Malam hari masih ada orang yang berkeliaran di sekitar rumah saya. Intimidasi dan teror berupa telepon masih saya alami saat itu,”
“Kapolda, Gubernur tidak ada (komunikasi). Cuma sama Kapolres, Kapolsek saja. Cuma saya enggak tahu, kan biasanya Kapolda dapat laporan dari bawahannya. Jadi, silakan tanya lagi ke mereka sumbernya dari mana. Yang saya ceritakan itu apa adanya,”
http://hukum.rmol.co/read/2017/06/01/293800/Masih-Diintimidasi,-Dokter-Fiera-Lovita-Bantah-Pernyataan-Polisi-
Satu bukti lagi bahwa kejadian ini nyata adalah dicopotnya Kapolres Solok Ajun Komisaris Besar Susmelawati Rosya oleh Kapolri karena dianggap lemah dalam menangani kasus persekusi. So, buat seluruh jajaran Polri di manapun belajarlah dari kesalahan Kapolres Solok ini. Jangan takut dan tunduk dengan ormas yang arogan dan sewenang-wenang.
Nah kebohongan kedua terungkap di kasus Mario. Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) Slamet Maarif sempat membantah bahwa dua orang pelaku yang sudah tertangkap adalah anggota FPI. Menurut Slamet mereka adalah masyarakat yang turut tak terima dengan prilaku PMA yang dianggap menghina pimpinan FPI Rizieq Syihab.Novel Bamukmin juga sempat mengatakan bisa saja pelaku hanya mengaku-aku sebagai orang FPI.
“Itu masyarakat yang tak terima ada anak menghina ulama dan menantang umat islam, FPI hadir (saat itu) untuk memastikan tak ada main hakim sendiri,”
https://m.tempo.co/read/news/2017/06/01/064880721/fpi-dampingi-2-terduga-pelaku-persekusi-yang-ditangkap-polisi
Kenyataannya salah satu tersangka, Abdul Majid, mengakui dirinya adalah anggota FPI. Bahkan kartu keanggotaannya pun sudah dijadikan barang bukti oleh polisi. Otomatis ini membantah pernyataan Slamet.
Mengapa sampai terjadi persekusi dan identik pelakunya selalu ormas yang sama? Mungkin pernyataan Novel Bamukmin ini adalah jawabannya:
“Ada aksi kan karena ada reaksi. Tindakan itu tidak bisa dihentikan jika rekayasa kasus chat itu tidak dihentikan. Kalau kami FPI, saya tegaskan sekali lagi kami taat hukum dan mengikuti prosedur hukum,”
http://kbr.id/berita/nasional/06-2017/fpi__pelaku_persekusi_bisa_saja_orang_lain_yang_mengaku_fpi/90414.html
Intinya ini memang bentuk kemarahan mereka karena Rizieq Shihab terjerat kasus hukum terkait chat dengan Fierza. Ya tapi bagaimana kalian membuktikan taat hukum dan mengikuti prosedur kalau pemimpin kalian saja malah kabur? Kasus itu tidak akan bisa cepat selesai selama Rizieq masih mangkir.
Nah kalau memang ini adalah kemarahan organisasi itu bukankah seharusnya Polri mencurigai bahwa persekusi yang mereka lakukan bukan kejadian yang kebetulan melainkan sesuatu yang terorganisir dengan baik?
No comments:
Write komentar