Misteri Kampung Keputihan, Akar Budaya Bertahan Hidup di Rumah Gubug Beratap Welit

 


PULUHAN rumah bilik dengan menggunakan atap “welit” (terbuat dari daun tebu kering) yang terhampar di atas tanah seluas lebih kurang tiga hektar di kampung Keputihan, Desa Kertasari, Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon, Jawa Barat yang berdiri di antara rumpun bambu dan pohon lainnya kini mulai terpinggirkan dan mulai ditinggalkan keturunannya.

Rumah-rumah gubuk tersebut tetap dipertahankan keasriannya oleh masyarakat setempat, karena selain memang rata-rata dihuni keluarga yang tergolong rumah tangga miskin, juga keyakinan tidak boleh membangun rumah permanen tetap hidup turun temurun. Sekarang mulai sedikit bergeser yang dulu menggunakan atap welit yang terbuat dari daun tebu, kini ada yang menggunakan asbes seng gelombang.

Juga kampung seluas kira-kira tiga hektar yang dulu hanya dihuni sekira 30 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 107 jiwa tersebut, kini banyak ditinggalkan keturunannya. Sejumlah anak keturunan dari Kampung keputihan, setelah menikah atau ekonominya meningkat, ia memilih membangun rumah permanen di kampung lain, kata Pejabat Kuwu Desa Kertasari Kecamatan Weru Kabupaten Cirebon, Sarika.

Pada tahun 1960-an hingga akhir tahun 1990-an jumlah rumah yang ada tetap 17 buah, namun, belakangan terus berkurang dan sekarang tinggal 12 rumah gubuk yang letaknya tersebar di lokasi itu. Semakin sedikitnya jumlah rumah tersebut, dikarenakan pindah ke kampung lain atau sudah tidak ada lagi keluarga yang menempatinya karena meninggal dunia, jelas Sarika.

“Memang betul warga kampung Keputihan di Desa Kertasari sampai sekarang tetap mempertahankan rumah gubuk. Jika warga ingin membuat rumah permanen atau yang bagus dia membeli tanah di luar kampung Keputihan, tapi sekarang sudah masuk jalan aspal ke kampung ini,” terang Pj.Kuwu Sarika .

Sarika mengaku tidak tahu persis terkait misteri di kampung Keputihan. Namun, yang pasti warga di sana tetap dihantui ketakutan membangun rumah permanen. Bahkan ketika ada proyek PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat), terpaksa MCK (mandi-cuci-kakus) nya dibangun di luar kampung tersebut. Padalah tujuan pemerintah desa mengalokasikan di kampung tersebut, agar terpiliharanya kesehatan lingkunan dan tidak ada lagi yang “dolbon” (membuang air besar di kebon).
Menurutnya untuk melestarikan rumah-rumah gubuk budaya atap welit tiap tahunnya memerlukan biaya tidak sedikit dan perlu perhatian khusus dari pemerintah daerah. Karena sekarang welit sudah sulit didapatkan, karena di wilayahnya sawah tidak lagi ditanam tebu.

Patahkan pantangan

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di Keputihan kini ada seorang pendatang asal Kabupaten Subang yang diduga ingin mematahkan pantangan tersebut. Pria berusia empat puluh tahunan itu bernama Carmun yang dikenal memiliki kekuatan supranatural. Dia membangun rumah permanen di sisi barat kampung tersebut.

Untuk melastarikan budaya rumah welit, sudah seharusnya menjadi program pemerintah daerah (Dinas Budaya Pariwisata Pemuda dan Olah Raga) Kabupaten Cirebon, agar tiap tahun menganggarkan untuk pembelian welit yang terbuat dari daun tebu., sehingga perpaduan keyakinan masyarakat setempat dengan rumah welit, bisa dijadikan budaya daerah setempat, paparnya. Sarika mengakui, sejak dia kecil hingga sekarang melihat kampung Keputihan tetap asri dan teduh, rumah-rumahnya pun tetap gubug. Namun, dia tidak tahu asal-usul kampung tersebut hingga mengandung misteri. Bahkan telah dipesan oleh Lebe Sholeh agar tidak turut campur tentang Keputihan.

Kondisi rumah yang sama-sama gubug, mengakibatkan kehidupan rumah tangga di sana tampak tenteram. Sumber kehidupan warga setempat rata-rata buruh tani, sebagian pekerja anyaman mebeler rotan dan perajut net. Namun, meskipun rumah bilik, banyak di antaranya yang memiliki sepeda motor bagus, bahkan, beberapa tahun lalu ada warga yang memiliki kendaraan roda empat. Akan tetapi karena secara ekonomi sudah mapan, warga tersebut akhirnya pindah dari Keputihan.

Selain sepeda motor, pesawat televisi juga ada, sementara listriknya menyambung dari kantor desa. Masuknya aliran listrik ini sepertinya sedikit berpengaruh pada sebagian warga. Ada beberapa di antaranya yang telah berani menggunakan atap asbes dan seng, bahkan, menjadikan rumahnya sebagai tempat usaha subkontraktor kerangka mebeler aluminium yang nantinya dipadukan dengan anyaman rotan atau plastik.***

Nurdin M Noer, Pemerhati Kebudayaan Lokal.cirebontrust

No comments:
Write komentar