Jakarta - Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamka Haq berbicara soal sikap keagamaan MUI terkait kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hamka mempertanyakan sikap keagamaan yang dibuat tanpa lebih dulu melakukan konfirmasi atau tabayun.
"Sebelum saya jelaskan itu, gubernur bagian dari pemerintah, jadi MUI harus memandangnya sebagai teman, tidak boleh dia pandang sebagai rival, lawan," terang Hamka memberikan pendapat sebagai ahli yang dihadirkan pihak Ahok dalam persidangan di auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Hamka mengatakan MUI dibentuk sebagai mitra pemerintah di era Orde Baru. Dia menyebut fatwa-fatwa yang dibuat MUI berkaitan dengan kepentingan pemerintahan dan kelancaran pembangunan.
"Oleh karena itu, bila ada sesuatu yang berkaitan dengan gubernur, MUI seharusnya mengambil tabayun, apa sih salahnya? Kalau sudah memandang sebagai rival, itu beda. Lain niatnya," ujarnya.
Dia menegaskan, dalam mengeluarkan fatwa maupun pendapat dan sikap keagamaan, MUI harus hati-berhati dan melakukan konfirmasi. Dia kemudian mencontohkan Lia Eden dan Ahmadiyah dipanggil MUI untuk proses tabayun.
"Dalam pidana Islam itu, ada praduga tidak bersalah. Nah, seseorang kalau melakukan sesuatu, tidak hanya diukur dari kesengajaannya, tapi diukur juga dari mengapa dia lakukan itu, tidak bisa dijawab oleh video," bebernya.
Hamka menambahkan, video hanya menunjukkan perbuatan, tidak menjelaskan maksud di balik itu. Apalagi kalau latar belakangnya bertentangan.
"Track record itu mengantarkan kita untuk mengambil kesimpulan. Tapi, kalau track record-nya itu bertentangan dengan yang biasa dilakukan, harus dilakukan tabayun," imbuhnya.
Dia mengingatkan tidak boleh ada lembaga yang mengeluarkan keputusan karena di bawah tekanan. Dia mengatakan ada aturan hukum yang wajib dipatuhi.
"Jadi tidak boleh suatu lembaga yang terhormat kalah dengan tekanan-tekanan. Harus mandiri, sesuai dengan aturan hukum," terangnya.
Hamka menambahkan, Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dia menyebut turunan landasan negara itu adalah undang-undang dan keputusan presiden.
"Negara kita negara hukum, negara Pancasila, ada UUD 1945, ada turunannya UU, kepres, dan tidak ada fatwa masuk ke dalamnya," ujarnya.
Dia juga menjabarkan ayat Al-Quran dan hadis yang otomatis berlaku karena dijamin UUD 1945, yaitu soal ibadah. Kedua ayat dan hadis yang berlaku dengan sendirinya karena bagian dari hukum positif, yaitu perkawinan.
"Kategori ketiga adalah ayat-ayat atau hadis-hadis hukum yang tidak diberlakukan karena tidak dianggap sebagai hukum positif, contoh Al-Maidah 38," kata dia.
Hamka mencontohkan soal hukuman potong tangan. Meski ada dalam hadis, tapi tidak digunakan dalam hukum di Indonesia. Dia menyebut Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Tentu itu tidak berlaku di Indonesia karena yang berlaku di Indonesia itu KUHP. Karena itu, ayat ini tidak berlaku meski diyakini kebenarannya," katanya.
"Jadi, kalau ada setiap orang yang memasang ayat tidak pada tempatnya, kalau ada orang lain bilang jangan dibohongi pakai suatu ayat, itu bukan penistaan agama," sambung Hamka.
Hamka menyebut begitu juga dalam konteks pilkada. Dia menyebut warga negara Indonesia bebas memilih pemimpin tanpa memandang agama.
"Tidak ada yang mengatakan pilkada sah kalau dijalankan dengan agama masing-masing. Maka, kalau ada muslim yang mau memilih nonmuslim karena dijamin oleh UU, ya tidak jadi masalah," kata dia.
"Maka, kalau tiba-tiba ada orang bilang nggak boleh kamu pilih itu karena itu bukan nomuslim dan kamu muslim, terus dia bilang jangan kamu bohongi pakai Al-Maidah, karena kan ini saya ikuti hukum positif. Jadi ya itu bukan penistaan agama," ujar Hamka.
Hamka Haq: Saya di Sini untuk Bela Pancasila
Hamka Haq menegaskan hadir dalam persidangan bukan untuk membela Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dia menyebut keterangannya itu untuk membela negara Pancasila.
"Saya hadir di sini bukan untuk membela siapa saja, tapi untuk membela negara Pancasila. Dalam beragama, bagi kita, menyelamatkan agama yang rahmatan lil alamin," ujar Hamka.
Ditemui seusai sidang, Hamka menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim untuk menimbang kesaksiannya. Dia mengaku membela Pancasila.
"Kalau ada yang meringankan atau memberatkan, itu keputusan majelis hakim," kata dia.
Hamka mengatakan ayat Al-Maidah tidak bisa dikaitkan dengan pilkada. "Ayat Al-Maidah dalam kaitan pilkada bisa berlaku kalau diundangkan, tapi tidak berlaku karena tidak diundangkan," sebutnya.
Hamka Haq menjadi saksi ketiga yang didengarkan keterangannya dalam sidang dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ada tujuh ahli yang didengarkan keterangannya pada hari ini.
Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan Pilkada DKI. Penyebutan Surat Al-Maidah 51 ini disampaikan Ahok saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Ahok didakwa dengan Pasal 156 a huruf a dan/atau Pasal 156 KUHP.
(ams/fdn)[detik]
Kajian MUI Tak Bisa Dipakai Polisi sebagai Rujukan Usut Kasus Ahok
Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hamka Haq, mengatakan, hasil kajian MUI yang menyebut Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok telah menghina Al Quran dan ulama bukan merupakan sebuah fatwa.Menurut Hamka, hasil kajian tersebut sifatnya baru sebatas pernyataan pendapat sehingga tidak bisa dijadikan rujukan atau dasar bagi kepolisian dalam proses hukum kasus Ahok.
Hal tersebut dia katakan usai diminta keterangan oleh penyidik Bareskrim Polri sebagai ahli dari pihak terlapor di Bareskrim Mabes Polri, Kompleks Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat, Selasa (8/11/2016).
"Tadi ditanya soal fatwa dan pernyataan pendapat. Ini yang lahir dari MUI sifatnya baru pernyataan pendapat, belum fatwa," ujar Hamka.
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI-P ini menuturkan, jika merujuk pada kelaziman internasional maupun di Indonesia, fatwa bersifat mengikat. Oleh sebab itu, fatwa harus dilaksanakan oleh umat Islam dan pemerintah.
Pernyataan pendapat merupakan dasar untuk pertimbangan kajian lebih lanjut.
"Ternyata yang keluar dari MUI itu baru pernyataan pendapat," kata Hamka.
(Baca: Polisi Tetapkan Lima Anggota HMI Tersangka Kericuhan pada Demo 4 November)
Selain itu, Hamka menjelaskan, pernyataan pendapat oleh MUI itu dikeluarkan secara sepihak tanpa mengundang Ahok sebagai terlapor.
Seharusnya, kata Hamka, MUI memanggil pihak terlapor lebih dulu untuk memberikan kesempatan pihak terlapor melakukan konfirmasi.
"Seharusnya, pihak yang berselisih itu dipanggil dan dikonfirmasi karena Al Quran sendiri memerintahkan itu. Kalau kamu menerima berita dari orang yang diduga fasik, lakukan kroscek, penelitian, caranya panggil semua orang yang diduga terlibat dalam pernyataan itu," katanya. [kompas]
No comments:
Write komentar