Menyaksikan debat final Pilkada DKI yang diselenggarakan oleh Metro TV, dengan Najwa Shihab sebagai moderatornya membawa aroma yang menyegarkan dari situasi politik yang terkesan “jorok” dengan membawa-bawa isu agama dan SARA. Debat yang menghasilkan banyak jawaban dari banyaknya pertanyaan yang ada selama ini yang diselimuti dengan baik oleh mereka agar terkesan baik, santun dan cerdas.
Banyaknya pertanyaan mengenai calon tersebut dengan mempelajari latar belakang hingga proses hidupnya dan kepada cita-cita dan harapan yang tertuang didalam program kerja mereka. Debat yang diselenggarakan ini membantu mengungkap tabir yang selama ini ada. Dari mengapa Anies dipecat, mengapa dalam perjalanan kampanye nya cenderung untuk membawa-bawa isu primordialisme hingga mengapa dia menjadi sosok calon pemimpin yang gemar bersikap “nyinyir” dan tak mampu menangani fitnah yang berkembang, pada kesempatan debat ini sangat membantu untuk menjawab ini semua.
Moderator dengan kerja-kerja hasil rumusan tim nya mampu mengusik tabir yang ada. Saat pertanyaan diajukan dan ditanggapi membantu masyarakat pemilih untuk menyimpulkan pilihannya. Disuatu kesempatan giat mengatakan kepemimpinan gerakan namun mengidolakan kepemimpinan Soeharto dengan kepemimpinan yang stabil, melontarkan jawaban dengan maksud menyerang Ahok, namun yang didapat adalah penilaian negativeterhadap dirinya Anies, pertanyaan yang diulang untuk menajamkan dilakukan dengan kembali dipertanyakan mengenai maksud dengan kata-kata pemimpin yang stabil?
Apakah stabil itu diartikan kepemimpinan yang stabil melakukan korupsi, hingga menjadi koruptor nomor satu didunia, atau kah stabil dengan pemberangusannya (suara kritis, media .dll), mungkinkah stabil dalam melakukan gerakan “petrus” pembunuhan masal terhadap para preman-preman bertato, atau apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan yang stabil tersebut?
Menyimpulkan bahwa Anies memang seorang politikus dengan karakter yang jauh dari kata stabil dan beretika. Saat pertanyaan baik yang dilakukan oleh Najwa adalah untuk apa yang baik dapat diambil sisi kepemimpinan Soeharto namun terkesan digunakan kesempatan tersebut untuk menyerang Ahok.
Saat lainnya ketika menjawab pertanyaan berkaitan dengan isu SARA yang berkembang di pilkada putaran kedua yang semakin gencar, namun kembali menjawab pertanyaan dengan menyerang balik Ahok, terkesan dan justru identik dengan penyebaran fitnah bahwa serangan yang ada disebabkan karena adanya serangan sebelumnya. Saat adanya isu ancaman akan diberhentikannya KJP maka timbulah perilaku penolakan mensholatkan jenasah. Kembali Anies menunjukkan siapa sebenarnya Anies, kepemimpinan dan karakternya selama ini yang berselimutkan kesopanan dan dan kesantunan terdapat kepribadian yang “dingin”, dan menakutkan.
Kepemimpinan yang jauh dari kesantunan yang menyejukkan, ini contoh dari bibit kepemimpinan yang melalui proses hidupnya harus didalami segala kebenaran setiap pencapaian yang sudah didapat. Apakah menjadi rektor termuda dilakukan dengan proses yang benar, apakah saat turut dicalonkan pada konvensi demokrat saat pilpres yang lalu melalui proses yang benar dan bagaimana dengan saat diberhentikan menjadi menteri di kabinet Jokowi apakah memang sekedar “dicukupkan” ataukan memang Anies adalah menteri yang sangat “menganggu” jalannya solidnya pemerintahan sebab kerap menuai polemik dari paparan narasi yang cenderung eksistensi semata dari lemahnya kemampuan eksekusi program sehingga merusak tim pemerintahan kerja yang dipimpin oleh Jokowi?
Sangat layak kiranya jika kita memberikan apresiasi dan penghargaan kepada penyelenggara debat tersebut yang mampu menguak tabir selama ini.
Anies menjadi sosok yang “menyeramkan” dan terkesan “buas” kekuasaan dengan latar belakang yang harus mendapatkan banyak pertanyaan kepadanya dengan segala pencapaian yang kita kenal.
Ketika kerap mengatakan kampanye program dan program namun dalam kesempatan yang berharga ini dalam debat yang memberikan waktu dan ruang yang sangat cukup untuk memaparkan program namun digunakan lebih kepada menyerang Ahok disetiap kesempatan.
Saat pilkada DKI yang kerap memainkan isu primordialisme dengan etnis dan agama gencar dimainkan hingga terancamnya tatanan kerukunan masyarakat, unsur-unsur kontestasi Pilkada harus bertanggung jawab dan Anies tidak boleh tidak untuk menolak dari tanggung jawab perpecahan ekstrim yang ada dimasyarakat tersebut.
Logika,etika dan estetika politik sepertinya sudah tidak menjadi pembahasan yang menarik untuk kontestan yang sangat haus kekuasaan, saatnya masyarakat bersikap tegas untuk memutuskan pilihan suaranya dan tidak terpengaruh kepada apapun bentuk ancaman, fitnah dan benturan yang ada. Jakarta harus dipimpin oleh pemimpin yang tepat dan jangan mengambil resiko pilihan hanya atas dasar intimidasi dan teror isu keagamaan.
No comments:
Write komentar