Ujian Nasionalisme Kita

 


Unjuk rasa 4 November 2016 akhirnya berakhir ricuh. Sebelum pukul 18:00, unjuk rasa berlangsung tertib dan damai. Bahkan terlihat beberapa pengunjuk rasa membawa trash bag agar sampah tak bertebaran dan memagari taman agar tidak rusak terinjak-injak massa. Seberapa tidak setujunya kita pada substansi unjuk rasa yang digaungkan kemarin, kita harus apresiasi niat baik pengunjuk rasa yang ingin menjaga kebersihan Jakarta.

Namun sangat disayangkan sejak pukul 18:00 hingga dini hari, kericuhan justru terjadi. Aparat yang tadinya mengamankan unjuk rasa dengan cara bersahabat, kini mulai mengambil tindakan untuk membubarkan pengunjuk rasa.

Massa mulai bertindak anarkis, mulai membakar mobil-mobil yang ada. Aparat pun mengambil tindakan untuk mengamankan sesuai prosedur yang ada. Unjuk rasa yang tadinya berlangsung damai dan diapresiasi semua pihak menjadi ternodai.

Kerusuhan terjadi di Luar Batang, kawasan Pluit, dan Penjaringan. Bahkan di Penjaringan, penjarahan terhadap mini market dilakukan oleh massa. Ketakutan mulai ditebar kepada kalangan etnis tertentu. Ada yang berharap kerusuhan Mei 1998 berulang.

Presiden Jokowi pun mengamini bahwa ada aktor-aktor politik yang menunggangi aksi rusuh setelah Ba'da Isya. "Ini kita lihat telah ditunggangi oleh aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi," kata Presiden.

Statement Presiden ini tentunya bukan main-main dan bukan hanya berlandaskan asumsi semata. Apalagi statement Presiden ini disampaikan dalam konferensi pers resmi Kepresidenan dan terlihat di belakang Presiden berdiri Kepala BIN. Dapat diartikan bahwa statement Presiden ini berlandaskan laporan intelijen yang dapat dipercaya.

Presiden dan lingkarannya tentu mengetahui siapa aktor-aktor politik yang dimaksud. Siapapun aktor politik yang terlibat dalam kerusuhan ini harus diproses secara hukum. Sebab, apa yang terjadi pada 4 November malam hari sudah keluar dari koridor kebebasan dalam berdemokrasi yang diberikan oleh negara.

Aktor-aktor politik ini mengubah unjuk rasa yang tadinya damai menjadi rusuh dan penuh anarkisme sehingga memunculkan rasa takut di benak masyarakat.

Ujian Kebangsaan

Pada titik ini, bukan Ahok lagi yang seharusnya kita bicarakan, tetapi bangsa kita. Ahok menistakan agama atau tidak dapat diperdebatkan. Imam Besar Istiqlal menyatakan Ahok tidak menistakan agama, secara bersamaan sikap keagamaan MUI menyatakan Ahok menistakan agama.

Ini membuktikan bahwa ada perbedaan pendapat dari para ulama sendiri tentang apakah Ahok menistakan agama atau tidak. Perbedaan pendapat sangatlah wajar dalam demokrasi. Namun perbedaan pendapat harus pula dilandasi ahlakul karimah. Sebab inilah cara kita bernegara.

Berunjuk rasa menuntut Ahok diproses hukum itu satu hal. Namun mengacak-ngacak negara ini, menebar teror di kalangan masyarakat, memaksakan kehendak yang sudah di luar koridor hukum, sungguh tidak dapat kita toleransi.

Kini bukan lagi saatnya kita mendebatkan soal politik Pilkada. Bukan lagi mendebatkan Ahok, Agus, atau Anies. Kini saatnya kita berpikir kembali mau dibawa ke mana negara kita yang beragam ini.

Saudara-saudara kita etnis Tionghoa yang selama 17 tahun terakhir sudah bisa hidup tenang, kini tidur dalam ketakutan lagi. Apakah kita akan biarkan teror-teror semacam ini merusak negara kita yang beragam dan toleran?

Kebangsaan kita sedang diuji. Apakah kita rela berpecah belah, membiarkan negara ini dirusak untuk kepentingan politik semata, atau kita akan bersatu melawan pihak-pihak yang hendak menghancurkan kedamaian di Republik ini?

Ini tentang Indonesia. Indonesia yang berdiri karena darah dan air mata jutaan orang yang terdiri dari berbagai suku, ras, etnis, dan agama. Orang Islam tidak pernah bertanya untuk siapa mereka berjuang, orang Kristen tidak pernah bertanya, orang Hindu dan Budha juga tidak bertanya. Yang mereka tahu adalah mereka berjuang untuk Indonesia merdeka.

Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita rela membiarkan saudara-saudara sebangsa hidup dalam ketakutan di negerinya sendiri?

Pilkada hanya empat bulan. Tapi Indonesia selamanya. Jangan karena kebencian politik yang sempit kita rela mengorbankan Indonesia.

Saya percaya mayoritas rakyat Indonesia toleran. Tapi diam dalam situasi seperti ini tidak menyelesaikan masalah. Inilah saatnya kita menggalang persatuan.

Mari bersatu untuk Indonesia. Jika kita tidak bersatu, maka sampai lebaran kuda pun, aktor-aktor politik ini akan selalu memecah belah kita.

Hubbul waton minal iman, cinta tanah air adalah bagian dari iman.

No comments:
Write komentar