Atas dasar membaca komen-komen dari para sahabat yang sering kali menyebutkan bahwa : “Tuntutlah ilmu sampai negeri China” maka saya berkehendak untuk menyampaikan :
“SHIND itu Nusantara!”
Pada kisaran abad ke VII, dunia sedang melalui salah satu masa kelamnya. Di benua Eropa pada saat itu sedang mengalami era ‘Dark Ages’ – Masa Kelam. Kerajaan Romawi yang dominan dengan sifat ekspansif disertai militernya yang terkenal tangguh sedang mengalami turbulensi diakibatkan oleh korupnya kepemerintahan dan tersandera oleh pemberontakkan domestik. Di belahan bumi lainnya yakni benua Amerika, suku-suku Indian juga saling bersaing menghancurkan sesamanya demi dapat diakui eksistensinya. Sedangkan di benua hitam Afrika dan jazirah Arab pada masa itu masih terbelakang dengan suku-suku nomadennya yang berpindah-pindah tempat mengikuti hembusan angin.
Jauh di sudut Selatan bumi yaitu benua Australia, dihuni oleh suku asli aborigin yang berbudaya primitif. Di Asia, kita langsung saja ke China, tidak perlu disangsikan lagi bagaimana pada tempo itu sedang berkecamuk perang saudara besar-besaran diantara 5 dinasti yaitu Sui, Chen, Jian, Jin dan Tang yang telah memporak-porandakan seluruh dimensi dalam aspek kehidupan bermasyarakatnya. Jadi, adakah sekiranya yang patut dijadikan contoh suri tauladan diantara diatas?
Hadits : “Uthlubul ilmi walaw bi shind” / “Tuntutlah ilmu meskipun dengan SHIND”
SHIND dalam Sansekerta kuno memiliki arti NEGERI BERPERADABAN MAJU.
Kata Shind di sini bukanlah China tapi Hindia Timur (Nusantara).
Kata Shind di sini bukanlah China tapi Hindia Timur (Nusantara).
Hadits ini disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa kenabian Beliau dimana kondisi dimuka bumi ini sedang dikonsumsi oleh demoralisasi secara masif yang bersifat jahilliyah (kebodohan) yang dapat berakhir kepada kemunduran bahkan kehancuran peradaban kemanusiaan itu sendiri. Sudah sepatutnya Beliau akan mereferensikan umat manusia untuk mengambil ilmu dari negeri-negeri yang maju dan layak dijadikan uswatun hasanah (contoh kebaikkan).
Syahdan, ada sebuah negeri yang memiliki kriteria gemah ripah loh jinawi termaksud, dimana iklim tropis nan bersahabat dilindungi oleh langit biru nan ceria yang dihiasi oleh banyak mahluk indah berwarna-warni beterbangan dan dilengkapi oleh dataran nan hijau subur kaya hayati maupun nabati disertai terbentang luasnya lautan nan biru penuh isi. Itulah negeri yang merupakan kepingan surga yang jatuh serta mendapat berkah dari langit maupun bumi dan disitulah Negeri Shind.
Menelaah jabaran kondisi di bumi yang berkontradiksi dengan saat itu dimanakah sekiranya alam Negeri Shind terlabuh? Di ujung Hindia bagian Timur!!! Di sanalah tempatnya, sebuah wilayah yang kita kenal sekarang dengan sebutan Nusantara. Pada era tersebut didominasi oleh sebuah kerajaan besar yang mendunia. Yang apabila disebutkan namanya niscaya akan menggetarkan hati lawan maupun kawan. Elok dan permai negerinya tapi jangan sekali-kali meremehkannya, serentak para ksatrianya akan meluluhlantakkan para musuh.
Julukan Lumbung Pangan Dunia digelarkan karena pencapaian keakbarannya dalam swasembada pangan, dengan disertai masyarakatanya yang taat hukum, berperadaban maju, tertata dalam bernegara dan sudah tentunya sebagai penguasa maritim dunia. Kerajaan ini dikenal dengan sebutan Kerajaan Sriwijaya dan era keemasan wilayah Negeri Shind ini dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit yang tidak kalah dahsyatnya.
Belum lagi kita bicarakan masa-masa jauh sebelum keemasan kerajaan-kerajaan diatas. Bila kita perhatikan dengan seksama di relief-relief yang terdapat di candi-candi yang ada di Nusantara, terpahat jelas bahwa peradaban leluhur kita semua adalah sangat tinggi. Manusia dari seluruh penjuru dunia datang untuk belajar dan tunduk kepada nenek moyang kita (Salah satu contoh : Relief Candi Penataran – banyak peradaban dari luar datang untuk ditatar/digurui).
Sejarah peradaban bangsa kita lebih tua dan jauh lebih maju dari peradaban manapun di dunia! Bukti, Gunung Padang dengan usia, mega stuktur dan segala kemisterian yang terkandung dirahimnya dan kita yakini bahwa masih banyak Gunung-gunung Padang lainnya yang belum terdeteksi.
Jadi, sangatlah benar sabda Nabi Muhammad SAW untuk merujuk ke Negeri Shind sebagai tempat pembelajaran dimana kita hidup sekarang ini. Sesungguhnya kitalah bangsa pemilik DNA yang berperadaban paling maju di dunia dalam segala bidang dan hal inilah yang sangat ditakuti oleh bangsa lain, yakni apabila bangsa Indonesia terbangun dan tersadarkan atas jati diri sesungguhnya. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mensyukuri serta memahami bahwa leluhur kita hebat dan sudah waktunya pula kita membangun kembali kejayaan masa lalu itu untuk mengejar kemajuan hari ini dan anak cucu kita di masa hadapan.
Seorang budayawan dan ulama Nurcholish Madjid mencatat ada indikasi sejak zaman Nabi Sulaiman bahwa Arab mengimpor kapur untuk dibuat minuman tonic dari Barus (orang-orang Melayu di wilayah sumatera) sehingga menjadi perumpamaan kehidupan surgawi yang di abadikan dalam Al-Qur’an (wayusqauna biha ka’san kana mizajuha kafura).
Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang cukup menarik perhatian saya. Dalam surah al-A’raaf ayat 96 difirmankan, “Walau anna ahlal-quraa aamanuu wattaqau lafatahnaa `alaihim barakaatim minas-samaa’ i wal-ardhi” (jika para penduduk desa beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan membukakan keberkahan dari langit dan bumi).
Hemat saya, sepertinya ayat ini tidak ditujukan kepada orang-orang Arab waktu itu yang menjadi pendengar Nabi Saw. Benar, memang Al-Qur’an itu bagi seluruh umat manusia, tetapi ayat ini secara khusus sedang membicarakan suatu kaum tertentu. Suatu bangsa yang telah mengenal peradaban yang tinggi, yang telah berbudaya, yang mengenal suatu sistem pemerintahan yang telah tertata.
Yang mendapatkan penekanan di ayat tersebut —menurut K.H. Maemun Zubair, salah seorang sesepuh Nahdlatul Ulama— adalah ahlal-quraa, yang artinya para penduduk desa. Ini menarik sekali, menurut saya penduduk “desa” atau “nagari” ini banyak sekali di Indonesia. Saat ini desa di Indonesia saja sudah mencapai ribuan jumlahnya. Bagaimana dengan di Jazirah Arab saat itu?
Menurut Kiai Sepuh itu dalam ceramahnya pada puncak Haul Pesantren Buntet Cirebon “Di Arab tidak ada desa. Adanya (waktu turun ayat itu) adalah suku Badui yang hidupnya (nomaden) seperti tawon, kalau kepala sukunya pindah mereka ikut pindah. Makanya, ayat ini untuk Indonesia”.
Jadi jelas pengertian desa yang menetapkan diri selamanya di suatu wilayah hukum, tidak sama dengan nomaden. Sebuah desa, dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah tatanan kemasyarakatan yang diberi kewenangan mengatur dirinya sendiri sesuai budaya setempat, berbeda dengan kelurahan. Sebuah kelurahan tidak mengatur dirinya sendiri.
Ia setidaknya tidak mengikatkan hukum pada tradisi dan adat istiadat yang kental seperti pada sebuah desa. Di Cirebon misalnya, kepala desa lazim disebut Kuwu. Ia bukan seorang pegawai negeri, tapi yang dituakan, yang dihormati dan dinobatkan oleh warganya. Berbeda dengan kelurahan, seorang Lurah diangkat oleh pemerintahan yang lebih tinggi, ia seorang pegawai negeri.
Nomaden itu pola hidup berpindah-pindah, tidak menetap di suatu tempat. Jadi budaya yang mapan tidak tercipta dalam hidup nomaden seperti ini. Hukum yang berlaku masih sangat sederhana, seringkali kepala suku memerintah secara sewenang-wenang dan despotik aLa Genghis Khan. Nomaden itu boleh dibilang pola hidup yang masih primitif bila dinilai orang modern saat ini.
Nampak dalam ayat itu, Baginda Nabi memiliki visi yang jauh sekali. Seolah-olah Nabi ingin menyampaikan pesan kepada pengikutnya yang masih nomaden itu suatu ketika mereka mampu memiliki sistem pemerintahan yang tertata, yang beradab dan berbudaya.. yaitu masyarakat desa, masyarakat berbudaya yang beriman dan bertakwa, seperti disebut dalam ayat itu.
Dan, kriteria desa seperti itu adanya di bumi Nusantara yang masuk peradaban besar Shind/Indies. Kenapa? Karena Nabi sendiri bersabda,”belajarlah sampai ke negeri Shind”.
Amat logis, Nabi akan menganjurkan orang belajar ke negeri-negeri yang maju, yang pantas dijadikan teladan. Mungkin dalam pandangan Nabi, negeri Shind adalah negeri yang mendapat berkah dari langit dan bumi, sehinga pantas dicontohi oleh para pengikutnya.
Di kala Barat masih hidup di gua-gua, di kala Arab masih mukim di tenda-tenda, bangsa kita sudah mengekspor rempah-rempahnya dengan maskapai sendiri ke Afrika dan tempat2 lainnya di belahan dunia.
Ada juga hadis dari Ibu Aisyah ra bahwa saat haji perpisahan, tahallul dan ihram, tubuh Nabi diolesi Dzarirah (bedak wangi dari Shind/Indies) . Di sini tidak semata-mata Nabi menggunakan term ahlal-quraa, jika ia belum pernah melihat rupa desa atau nagari atau negeri sebelumnya. Mungkin saat berdagang semasa muda, Nabi pernah singgah di desa-desa di wilayah peradaban Shind.
Nabi ingin mewujudkan masyarakat madani, atau dengan kata lain, penguatan masyarakat sipil (civil society) seperti yang pernah ia saksikan di Shind selama perjalanan berdagang. Jangan lagi terjebak dalam konsep iman dan takwa yang formalistik ritual model agama tertentu, tetapi benar-benar diwujudkan dalam kesalehan sosial, dalam kasih terhadap umat manusia yang satu adanya sehingga tertata kehidupan yang damai, aman, tentram dan sejahtera (maslahah ‘ammah atau bonum commune).
Saya meyakini ayat dalam surah al-A’raaf ini relevan dengan bangsa Indonesia sejak turunnya yang kali pertama hingga kini. Utamanya bagi orang-orang awam di grass root yang hidup di desa-desa. Sekarang yang penting adalah desanya. Kunci keberkahan adalah desa, dan desa tidak lepas dari kehidupan budaya.
Desa, menurut saya adalah cagar budaya. Hatta setiap desa punya adat istiadat dan tradisi yang khas, namun mirip-mirip karena masih dalam lautan budaya Nusantara. Budaya bangsa kita adalah suka hidup dalam damai. Apresiatif terhadap perbedaan. Kekerasan bukanlah budaya kita.
Sekarang terlihat jelas ada upaya kelompok agama yang mencuci otak warga bangsa ini hingga ke pelosok desa supaya ingkar budaya sendiri. Itu bertentangan dengan visi Nabi di atas.
Mengingkari budaya, menolak kebhinekaan berarti mendustakan ayat-ayat Tuhan adalah suatu perbuatan yang niscaya mengundang azab seperti disebutkan dalam surah Al-A’raaf berikutnya, “wa laakin kadzdzabuu fa akhadznaahum bimaa kaanuu yaksibuun”.
Nabi tidak menolak tradisi di Arab seperti tradisi thawaf, haji, puasa, dan lain-lain yang lazim diselenggarakan orang-orang Arab jauh sebelum kenabiannya. Nabi mengapresiasinya sebagaimana difirmankan, “wa kadzalika anzalnahu hukman `rabiyan (demikianlah Aku turunkan Al-Qur’an itu kepadanya berupa hukum-hukum yang telah berlaku dalam masyarakat Arab).
Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang cukup menarik perhatian saya. Dalam surah al-A’raaf ayat 96 difirmankan, “Walau anna ahlal-quraa aamanuu wattaqau lafatahnaa `alaihim barakaatim minas-samaa’ i wal-ardhi” (jika para penduduk desa beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan membukakan keberkahan dari langit dan bumi).
Hemat saya, sepertinya ayat ini tidak ditujukan kepada orang-orang Arab waktu itu yang menjadi pendengar Nabi Saw. Benar, memang Al-Qur’an itu bagi seluruh umat manusia, tetapi ayat ini secara khusus sedang membicarakan suatu kaum tertentu. Suatu bangsa yang telah mengenal peradaban yang tinggi, yang telah berbudaya, yang mengenal suatu sistem pemerintahan yang telah tertata.
Yang mendapatkan penekanan di ayat tersebut —menurut K.H. Maemun Zubair, salah seorang sesepuh Nahdlatul Ulama— adalah ahlal-quraa, yang artinya para penduduk desa. Ini menarik sekali, menurut saya penduduk “desa” atau “nagari” ini banyak sekali di Indonesia. Saat ini desa di Indonesia saja sudah mencapai ribuan jumlahnya. Bagaimana dengan di Jazirah Arab saat itu?
Menurut Kiai Sepuh itu dalam ceramahnya pada puncak Haul Pesantren Buntet Cirebon “Di Arab tidak ada desa. Adanya (waktu turun ayat itu) adalah suku Badui yang hidupnya (nomaden) seperti tawon, kalau kepala sukunya pindah mereka ikut pindah. Makanya, ayat ini untuk Indonesia”.
Jadi jelas pengertian desa yang menetapkan diri selamanya di suatu wilayah hukum, tidak sama dengan nomaden. Sebuah desa, dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah tatanan kemasyarakatan yang diberi kewenangan mengatur dirinya sendiri sesuai budaya setempat, berbeda dengan kelurahan. Sebuah kelurahan tidak mengatur dirinya sendiri.
Ia setidaknya tidak mengikatkan hukum pada tradisi dan adat istiadat yang kental seperti pada sebuah desa. Di Cirebon misalnya, kepala desa lazim disebut Kuwu. Ia bukan seorang pegawai negeri, tapi yang dituakan, yang dihormati dan dinobatkan oleh warganya. Berbeda dengan kelurahan, seorang Lurah diangkat oleh pemerintahan yang lebih tinggi, ia seorang pegawai negeri.
Nomaden itu pola hidup berpindah-pindah, tidak menetap di suatu tempat. Jadi budaya yang mapan tidak tercipta dalam hidup nomaden seperti ini. Hukum yang berlaku masih sangat sederhana, seringkali kepala suku memerintah secara sewenang-wenang dan despotik aLa Genghis Khan. Nomaden itu boleh dibilang pola hidup yang masih primitif bila dinilai orang modern saat ini.
Nampak dalam ayat itu, Baginda Nabi memiliki visi yang jauh sekali. Seolah-olah Nabi ingin menyampaikan pesan kepada pengikutnya yang masih nomaden itu suatu ketika mereka mampu memiliki sistem pemerintahan yang tertata, yang beradab dan berbudaya.. yaitu masyarakat desa, masyarakat berbudaya yang beriman dan bertakwa, seperti disebut dalam ayat itu.
Dan, kriteria desa seperti itu adanya di bumi Nusantara yang masuk peradaban besar Shind/Indies. Kenapa? Karena Nabi sendiri bersabda,”belajarlah sampai ke negeri Shind”.
Amat logis, Nabi akan menganjurkan orang belajar ke negeri-negeri yang maju, yang pantas dijadikan teladan. Mungkin dalam pandangan Nabi, negeri Shind adalah negeri yang mendapat berkah dari langit dan bumi, sehinga pantas dicontohi oleh para pengikutnya.
Di kala Barat masih hidup di gua-gua, di kala Arab masih mukim di tenda-tenda, bangsa kita sudah mengekspor rempah-rempahnya dengan maskapai sendiri ke Afrika dan tempat2 lainnya di belahan dunia.
Ada juga hadis dari Ibu Aisyah ra bahwa saat haji perpisahan, tahallul dan ihram, tubuh Nabi diolesi Dzarirah (bedak wangi dari Shind/Indies) . Di sini tidak semata-mata Nabi menggunakan term ahlal-quraa, jika ia belum pernah melihat rupa desa atau nagari atau negeri sebelumnya. Mungkin saat berdagang semasa muda, Nabi pernah singgah di desa-desa di wilayah peradaban Shind.
Nabi ingin mewujudkan masyarakat madani, atau dengan kata lain, penguatan masyarakat sipil (civil society) seperti yang pernah ia saksikan di Shind selama perjalanan berdagang. Jangan lagi terjebak dalam konsep iman dan takwa yang formalistik ritual model agama tertentu, tetapi benar-benar diwujudkan dalam kesalehan sosial, dalam kasih terhadap umat manusia yang satu adanya sehingga tertata kehidupan yang damai, aman, tentram dan sejahtera (maslahah ‘ammah atau bonum commune).
Saya meyakini ayat dalam surah al-A’raaf ini relevan dengan bangsa Indonesia sejak turunnya yang kali pertama hingga kini. Utamanya bagi orang-orang awam di grass root yang hidup di desa-desa. Sekarang yang penting adalah desanya. Kunci keberkahan adalah desa, dan desa tidak lepas dari kehidupan budaya.
Desa, menurut saya adalah cagar budaya. Hatta setiap desa punya adat istiadat dan tradisi yang khas, namun mirip-mirip karena masih dalam lautan budaya Nusantara. Budaya bangsa kita adalah suka hidup dalam damai. Apresiatif terhadap perbedaan. Kekerasan bukanlah budaya kita.
Sekarang terlihat jelas ada upaya kelompok agama yang mencuci otak warga bangsa ini hingga ke pelosok desa supaya ingkar budaya sendiri. Itu bertentangan dengan visi Nabi di atas.
Mengingkari budaya, menolak kebhinekaan berarti mendustakan ayat-ayat Tuhan adalah suatu perbuatan yang niscaya mengundang azab seperti disebutkan dalam surah Al-A’raaf berikutnya, “wa laakin kadzdzabuu fa akhadznaahum bimaa kaanuu yaksibuun”.
Nabi tidak menolak tradisi di Arab seperti tradisi thawaf, haji, puasa, dan lain-lain yang lazim diselenggarakan orang-orang Arab jauh sebelum kenabiannya. Nabi mengapresiasinya sebagaimana difirmankan, “wa kadzalika anzalnahu hukman `rabiyan (demikianlah Aku turunkan Al-Qur’an itu kepadanya berupa hukum-hukum yang telah berlaku dalam masyarakat Arab).
Hasil rangkuman dari berbagai para pakar dan sumber ilmiah, al :
http://en.wikipedia.org/wiki/Early_Middle_Ages
http://www.kamusbesar.com/
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/185507-oppenheimer–peradaban-dunia-dari-indonesia
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/…/Mr.-Frank-J.-Hoff-PPT.pdf/
http://google.com/
http://jakartagreater.com/negeri-shind/
http://forum.viva.co.id/
editor:facebook.com/sis.nurun
http://en.wikipedia.org/wiki/Early_Middle_Ages
http://www.kamusbesar.com/
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/185507-oppenheimer–peradaban-dunia-dari-indonesia
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-content/…/Mr.-Frank-J.-Hoff-PPT.pdf/
http://google.com/
http://jakartagreater.com/negeri-shind/
http://forum.viva.co.id/
editor:facebook.com/sis.nurun
2 comments:
Write komentar