Google Indonesia dikabarkan menolak pemeriksaan yang akan dilakukan oleh Ditjen Pajak. Lantas, haruskah Google diblokir di Indonesia?
Executive Director ICT Watch, Donny B.U. turut bicara terkait polemik pajak Google di Indonesia. Menurut Donny, meskipun Google salah, namun pemerintah sebaiknya tak langsung memblokirnya.
Pasalnya, Google merupakan platform yang dipakai oleh banyak orang di Indonesia. Pemblokiran platform tersebut bakal membuat banyak orang, terutama yang hidup dari dunia internet, terkena imbasnya.
Seperti diketahui di masa sekarang, banyak orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara mengunggah konten video ke YouTube dan memasanginya dengan iklan. YouTube sendiri merupakan platform milik Google.
“(Kalau diblokir) ya pasti gak bisa pake Gmail, googling, dan nonton YouTube. Tentu tetap harus dicarikan solusi terbaik, yang seminim mungkin memberikan dampak merugikan bagi masyarakat,” terang Donny saat dihubungi KompasTekno, Jumat (16/9/2016).
Di sisi lain, pemerintah juga mesti tegas terhadap masalah perpajakan ini. Tindak pemblokiran bisa saja diambil setelah dilakukan berbagai upaya lain dan ternyata tidak berhasil.
Menurut Donny sebuah usaha yang hadir dan mendapatkan pemasukan dari individu atau perusahaan lain di Indonesia maka wajib membayar pajak. Jika terjadi polemik pada kasus perpajakan perusahaan, pemerintah sebaiknya meneliti komponen perpajakan mana yang sudah dan belum ditaati perusahaan tersebut.
“(Soal penolakan pemeriksaan itu) Saya tidak tahu. Komponen pajak kan banyak. Mungkin saja ada bagian yang sudah bayar, tapi Direktorat Jendera (Ditjen) Pajak ingin memeriksa bagian yang lain,” ujar Donny.
“Kalaupun ada opsi blokir, maka itu jadi keputusan yang bisa dimintakan penetapannya oleh pengadilan. Sebelumnya terlebih dulu konsultasi dengan DPR,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Google Indonesia dikabarkan menolak diperiksa oleh Ditjen Pajak. Tidak diketahui alasan penolakan tersebut.
Selanjutnya Ditjen Pajak mengatakan akan melakukan penyelidikan lebih dalam terhadap indikasi pelanggaran pajak. Penyelidikan ini rencananya akan dilakukan pada akhir September.
“Kami akan meningkatkan tahapan ke investigasi karena mereka menolak diperiksa. Ini merupakan indikasi adanya tindak pidana,” ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Hanif.
Masalah pajak ini memang sudah menjadi perhatian pemerintah sejak beberapa tahun belakangan. Google Indonesia dianggap tidak membayar pajak, salah satunya karena belum menjadi badan usaha tetap (BUT).
Dengan kata lain, Google Indonesia belum menjadi wajib pajak. Keberadaannya di Indonesia hanya sebagai kantor perwakilan saja, sehingga transaksi bisnis yang terjadi di Tanah Air tidak berpengaruh ke pendapatan negara.
Padahal, transaksi bisnis periklanan di dunia digital (yang merupakan ladang usaha Google) pada tahun 2015 saja mencapai 850 juta dollar AS atau sekitar Rp 11,6 triliun.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, 70 persen dari nilai itu didominasi perusahaan internet global (OTT) yang beroperasi di Indonesia, termasuk Google.
Executive Director ICT Watch, Donny B.U. turut bicara terkait polemik pajak Google di Indonesia. Menurut Donny, meskipun Google salah, namun pemerintah sebaiknya tak langsung memblokirnya.
Pasalnya, Google merupakan platform yang dipakai oleh banyak orang di Indonesia. Pemblokiran platform tersebut bakal membuat banyak orang, terutama yang hidup dari dunia internet, terkena imbasnya.
Seperti diketahui di masa sekarang, banyak orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara mengunggah konten video ke YouTube dan memasanginya dengan iklan. YouTube sendiri merupakan platform milik Google.
“(Kalau diblokir) ya pasti gak bisa pake Gmail, googling, dan nonton YouTube. Tentu tetap harus dicarikan solusi terbaik, yang seminim mungkin memberikan dampak merugikan bagi masyarakat,” terang Donny saat dihubungi KompasTekno, Jumat (16/9/2016).
Di sisi lain, pemerintah juga mesti tegas terhadap masalah perpajakan ini. Tindak pemblokiran bisa saja diambil setelah dilakukan berbagai upaya lain dan ternyata tidak berhasil.
Menurut Donny sebuah usaha yang hadir dan mendapatkan pemasukan dari individu atau perusahaan lain di Indonesia maka wajib membayar pajak. Jika terjadi polemik pada kasus perpajakan perusahaan, pemerintah sebaiknya meneliti komponen perpajakan mana yang sudah dan belum ditaati perusahaan tersebut.
“(Soal penolakan pemeriksaan itu) Saya tidak tahu. Komponen pajak kan banyak. Mungkin saja ada bagian yang sudah bayar, tapi Direktorat Jendera (Ditjen) Pajak ingin memeriksa bagian yang lain,” ujar Donny.
“Kalaupun ada opsi blokir, maka itu jadi keputusan yang bisa dimintakan penetapannya oleh pengadilan. Sebelumnya terlebih dulu konsultasi dengan DPR,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Google Indonesia dikabarkan menolak diperiksa oleh Ditjen Pajak. Tidak diketahui alasan penolakan tersebut.
Selanjutnya Ditjen Pajak mengatakan akan melakukan penyelidikan lebih dalam terhadap indikasi pelanggaran pajak. Penyelidikan ini rencananya akan dilakukan pada akhir September.
“Kami akan meningkatkan tahapan ke investigasi karena mereka menolak diperiksa. Ini merupakan indikasi adanya tindak pidana,” ujar Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Hanif.
Masalah pajak ini memang sudah menjadi perhatian pemerintah sejak beberapa tahun belakangan. Google Indonesia dianggap tidak membayar pajak, salah satunya karena belum menjadi badan usaha tetap (BUT).
Dengan kata lain, Google Indonesia belum menjadi wajib pajak. Keberadaannya di Indonesia hanya sebagai kantor perwakilan saja, sehingga transaksi bisnis yang terjadi di Tanah Air tidak berpengaruh ke pendapatan negara.
Padahal, transaksi bisnis periklanan di dunia digital (yang merupakan ladang usaha Google) pada tahun 2015 saja mencapai 850 juta dollar AS atau sekitar Rp 11,6 triliun.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, 70 persen dari nilai itu didominasi perusahaan internet global (OTT) yang beroperasi di Indonesia, termasuk Google.
Penulis | : Yoga Hastyadi Widiartanto |
Editor | : Reska K. Nistanto kpmpas.com |
No comments:
Write komentar