Catatan Ade Armando*
Partai Keadilan Sejahtera adalah partai yang membawa nama buruk bagi Islam. Harap dicatat, saya itu dulu pendukung PKS. Saya memilih Partai Keadilan dan kemudian PKS setidaknya sampai Pemilu 2009. Saya tidak menyesali pilihan itu. Saya percaya dulu PKS layak menjadi partai yang diharapkan membawa perubahan untuk Indonesia yang lebih baik. Sekarang, harapan itu sudah pupus sama sekali. Saya tidak yakin PKS akan bisa membaik, selama pimpinannya tidak melakukan perubahan revolusioner di dalam tubuh PKS.
Kabar terakhir tentu saja dijadikannya Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istri keduanya, Evy Susanti, sebagai tersangka suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Namun Gatot sebenarnya hanya satu kasus yang mengkonfirmasi keburukan imej PKS beberapa tahun terakhir ini.
Branding PKS saat ini buruk di mata khalayak luas. Memang PKS berhasil membangun kesan bahwa mereka adalah partai Islam. Namun PKS gagal menciptakan branding ‘peduli dan bersih’ sebagaimana tagline kampanyenya. Alih-alih itu PKS justru dengan gampang juga diasosiasikan dengan rangkaian hal buruk: korupsi, sapi, poligami, beranak banyak, dan hidup mewah.
Keburukan branding PKS ini disumbangkan oleh perilaku para petinggi dan politisinya. Nama-nama yang diingat masyarakat bukanlah Hidayat Nur Wahid yang dikenal hidup sederhana, setia pada keluarga dan berintegritas, tapi dengan orang-orang seperti Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Anis Matta, Tifatul Sembiring, Fahri Hamzah, Arifinto (yang membuka gambar porno di ruang rapat DPR) atau sekarang Gatot Pujo Nugroho. Peran orang-orang PKS dalam kampanye Pemilu 2014 juga menyumbang secara signifikan. Banyak orang percaya bahwa PKS berperan besar –antara lain melalui ‘pkspiyungan’ yang fenomenal– dalam kampanye hitam yang rasis dan penuh kebohongan terhadap Jokowi.
Ini menjadi masalah karena sejak awal pendiriannya, PKS mengklaim diri sebagai partai Islam alternatif. PKS memang rajin melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang berorientasi pada pemberdayaan rakyat kecil. Tapi kesan pro-rakyat ini semua lenyap begitu saja tersapu dengan perilaku para pimpinan dan politisi PKS.
Ini menjadi masalah karena bagi mereka yang percaya, Islam adalah konsep yang seharusnya melekat dengan segenap hal yang baik secara moral. Islam seharusnya adalah agama yang membawa rahmat bagi sekalian alam.
Kalau Anda adalah politisi Islam, orang berharap Anda memiliki komitmen tinggi pada hal-hal baik secara moral. Anda seharusnya taat menjalankan segenap kewajiban ritual: shalat, berpuasa, berzakat, dan naik haji. Tapi pada saat yang sama, Anda diharapkan menjadi orang yang tidak tunduk pada syahwat dunia, Anda seharusnya menegakkan kebenaran dan memerangi kemunkaran. Anda seharusnya menjadikan politik sebagai arena ibadah atau bahkan arena jihad.
Di mata masyarakat umum sendiri, politik adalah persoalan bagaimana mengejar kekuasaan. Pada 1936, Harold Lasswell dengan pas mendefinisikan politik sebagai: “Who gets what, when and how.” Dengan kata lain, dia ingin mengatakan politik adalah sekadar persoalan bagaimana orang/kelompok/partai mencapai kekuasaan dengan cara dan waktu yang tepat.
Dengan demikian, di sini tidak ada persoalan moral. Karena itu, kalau politisi cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, itu dimaklumi karena memang tidak ada aturan dan hukum yang mengatakan pencapaian kekuasaan harus dilakukan dengan cara yang bermoral.
Partai politik Islam seharusnya lebih berkualitas dari itu. Ada ekspektasi bahwa untuk mencapai tujuan, caranya pun menurut Islam harus halal. Komitmen dan pertimbangan moral adalah keniscayaan.
Begitu juga, ketika politisi Islam berhasil mencapai kekuasaan atau memiliki posisi politik, dia diharapkan memanfaatkan kekuasaan dan posisi itu bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya. Dia seharusnya menggunakan kekuasaan untuk kepentingan seluruh umat manusia sebagai bagian dari pengabdian pada Allah.
Karena itu politisi Islam seharusnya berbeda dengan politisi lainnya dalam hal: bagaimana mencapai kekuasaan dan apa yang dilakukan setelah dia memiliki kekuasaan.
Ini tidak berarti bahwa politisi lain tidak bisa menjadi baik. Tapi politisi non-agama tidak melandaskan diri pada kewajiban berdasarkan perintah Allah. Kalau dia berbuat baik, itu bisa saja dilakukannya karena hati nurani dan kesadaran politiknya, atau karena sekadar untuk membangun imej agar dia terpilih dalam Pemilu. Politisi Islam berbuat baik karena dia wajib berbuat baik. Bukan karena alasan lain, tapi karena demi menjalankan perintah Allah.
Yang membedakannya adalah: Islam.
Karena itu para politisi Islam sebenarnya berperan menentukan dalam membentuk kepercayaan banyak orang tentang Islam. Para politisi Islam dijadikan rujukan ketika orang berbicara tentang apakah agama sebenarnya adalah sebuah kekuatan yang bisa membawa masyarakat menjadi lebih baik. Politik secara alamiah dianggap kotor. Maka ketika ada politisi Islam, dia diharapkan hadir berbeda: dia diharapkan menjadikan politik yang kotor itu menjadi bersih.
Kalau agama benar adalah ajaran yang diturunkan Tuhan maka seharusnya mereka yang beragama memiliki perilaku baik. Kalau orang Islam menyatakan Islam adalah rahmat bagi sekalian alam maka pernyataan itu harus dapat dibuktikan sesuai hipotesis ‘semakin kuat keagamaan seseorang, semakin kuat komitmen orang itu membangun dunia yang sejahtera’.
Karena kepercayaan itulah, PKS didukung kalangan muda terdidik di kota-kota besar. Para pendukungnya ini muak dengan para pelaku politik senior yang dianggap korup, busuk, kotor dan mengabaikan perintah Allah. Para pendukung ini rela berjihad untuk menegakkan sebuah partai Islam baru yang diharapkan akan membawa kebangkitan Islam bukan cuma di Indonesia, namun juga di dunia. Mereka berpikir selama ini politik Indonesia menjadi begitu berantakan karena pada dasarnya politik di Indonesia tidak mendasarkan diri pada ajaran Allah. Mereka percaya bahwa PKS akan menjelma menjadi partai politik yang memberi teladan tentang bagaimana seharusnya menjadi khalifah di muka bumi: menomorsatukan kesejahteraan bersama seraya mengabaikan syahwat individual.
Harapan ini yang dikhianati para pemimpin PKS.
PKS justru memberi bukti bahwa mereka yang membawa nama Islam adalah sama buruknya –atau bahkan lebih buruk– daripada mereka yang sekuler, yang tidak menggunakan landasan agama sebagai dasar bertindak mereka. Politisi PKS juga banyak yang korup. Pimpinan PKS juga menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk memperkaya diri dan mengejar nafsu seks. Pimpinan PKS juga menyuap, melakukan propaganda hitam, menyebarkan kebohongan, atau menyingkirkan sesama umat Islam yang dianggap membahayakan kekuasaan mereka.
PKS justru membuat orang tidak percaya tentang keluhuran Islam.
PKS justru partai yang sukses menjadikan Islam sebagai bahan tertawaan.
Dan tidak ada tanda sedikit pun itu akan berubah.
Sumber : beritateratas.com
No comments:
Write komentar