Ahok kalah telak dipilkada Jakarta, meski pengumuman resmi dari KPU belum dibacakan. Berdasarkan hitungan cepat, perbedaan yang cukup jauh, tidak akan mungkin bagi Ahok untuk mengejar ketertinggalan. Hitungan-hitungan politik beda dengan hitungan matematika, seperti yang kita lihat, banyaknya partai pendukung tidak menjamin kemenangan untuk Ahok.
Kinerja Ahok yang selama ini sudah sangat baik juga tidak cukup sebagai modal kemenangannya dipilgub putaran kedua. Masyarakat lebih cenderung memilih pemimpin berdasarkan agama, dan berikut 4 hal yang mempengaruhi kekalahan Ahok :
Pertama, kasus penistaan agama yang menimpanya menjadi salah satu hal yang paling berpengaruh terhadap tumbangnya seorang Ahok. Pengumpulan massa secara besar-besaran telah menggiring opini publik yang justru merugikan Ahok. Publik seolah percaya terhadap semua tuduhan yang disangkakan kepadanya.
Tito hampir kuwalahan dengan aksi bela Islam yang terus-menerus dilancarkan oleh Rizieq Shihab beserta antek-anteknya untuk menyerang Ahok. Posisi yang sulit bagi Tito kala itu.
Mau tidak mau, Tito harus segera memutuskan kasus hukum yang dituduhkan kepada Ahok untuk meredam amarah publik dibawah pengaruh Rizieq. Dengan menjadikan Ahok sebagai tersangka, tidak menyurutkan langkah mereka untuk melanjutkan aksinya. Mereka masih belum puas terhadap keputusan Tito.
Mereka ingin Ahok segera ditangkap dan dipenjarakan meski kasus hukumnya masih berlanjut. Tuduhan makar yang dialamatkan kepada Sri Bintang dan kawan-kawan sebelum melancarkan Aksi 212, cukup efektif, terbukti aksi berjalan damai hingga acara selesai.
Untuk memuluskan rencananya, Aksi 313 pun kembali dilancarkan, walaupun pesertanya tidak sebanyak aksi sebelumnya. Kali ini aksi tanpa kehadiran Rizieq, sejumlah kasus hukum yang tengah menimpa, membuatnya tidak berkutik dihadapan publik. Begitu pun dengan Alkhatath, dengan terpaksa ia harus rela diciduk pihak kepolisian karena tuduhan makar sebelum melancarkan aksi tersebut.
Wisata Al-Maidah adalah puncak dari rentetan aksi yang dilakukan oleh Rizieq Shihab beserta antek-anteknya. Meskipun sedikit mendapat ganjalan, tetapi aksi tersebut sudah cukup signifikan untuk memberi soft terapi kepada para pendukung Ahok. Terbukti dari beberapa survei sebelum pemilihan berlangsung sangat kecil selisih elektabilitas kedua pasangan. Namun pada kenyataannya, hasil yang diperoleh Ahok-Djarot sangat jauh dari perolehan suara Anies-Sandi.
Kedua, seperti yang saya bilang diawal, berdasarkan hasil hitungan cepat yang sudah kita lihat bersama, gemuknya partai koalisi pendukung bukan sebagai penentu kemenangan. Itu terbukti dengan kemenangan koalisi Gerindra dan PKS dipilkada yang berlangsung hingga dua putaran. Kesimpulannya, banyaknya partai dalam satu koalisi jika tidak dikomandai dengan baik, hasilnya pun akan buruk.
Bisa dibilang, PKS memiliki strategi jitu dalam hal penggalangan massa. Mesin partai yang dijalankan melalui Eep Saefullah ke masjid-masjid menjadi salah satu penyebab utama kemenangan bagi pasangan Anies-Sandi. Gerak-gerik PKS memang jarang terlihat oleh media, tetapi militansi para kader dan simpatisan partai berjalan cukup baik.
Politik agama dengan ajakan tidak memilih pemimpin non-muslim cukup efektif untuk menyerang karakter Ahok. Dari sini bisa kita lihat, warga lebih takut dengan ancaman mereka, daripada kesejahteraannya sendiri jika memilih Ahok. Politik SARA kembali dibangun dengan menakut-nakuti tidak mensolatkan atau menguburkan jenazah bagi yang memilih Ahok. Suatu hal yang sangat tidak masuk akal dan tidak manusiawi. Akan tatapi biar bagaimana pun pada kenyataannya, Anies-Sandi lah yang keluar sebagai pemenangnya.
Ketiga, blundernya pembagian sembako, dianggap hal yang utama penyebab kekalahan Ahok-Djarot. Masifnya isu sembako yang tertangkap oleh beberapa media mainstraim, telah menggiring opini publik untuk menyerang Ahok-Djarot. Tingkat kepercayaan publik mulai turun sehari sebelum pencoblosan dimulai, akibat isu tersebut. Memang benar, tidak ada yang tahu pasti siapa yang melakukannya. Akan tetapi berdasarkan data-data yang diliput oleh media, serta baju kotak-kotak yang dipakai oleh oknum yang melakukannya semakin menjelaskan, itu merupakan relawan Ahok-Djarot.
Keempat, orasi yang pernah disampaikan Prabowo dalam kampanye politik pemenangan Anies-Sandi menjadi bagian terakhir yang cukup berpengaruh terhadap kemenengan mereka. Prabowo dengan sangat lantang menyampaikan, bahwa kemenangan Anies-Sandi dipilkada DKI menjadi kunci utama kemenangan Prabowo dipilpres 2019 mendatang.
“Jika ingin Prabowo menang dipilpres 2019 nanti, maka bapak ibu harus pilih Anies-Sandi untuk Jakarta.” ujarnya kala itu.
Secara tidak langsung faktor simbol politik yang ada pada sosok Prabowo Subianto memberi pengaruh positif pada pasangan Anies-Sandi. Kemenangan Anies bergantung pada Prabowo, maka dalam politik simbol kemenangan Ahok sangat bergantung pada Jokowi. Hal yang sangat susah untuk dilakukan seorang Jokowi kepada Ahok, ia tak bisa sebebas Prabowo yang secara terang-terangan menyatakan dukungannya pada Anies. Jabatan RI-1 yang ia emban, membuat Jokowi netral kepada siapa saja ketika dihadapkan dengan publik.
Dengan kemenangan Anies-Sandi, besar kemungkinan kampung intoleran akan bertambah satu lagi, setelah Banten dan Jawa Barat. Kemenangan Anies-Sandi adalah kekalahan bagi kaum Nasionalis melawan kaum Radikalis. Sehingga dengan berhasilnya Prabowo menguasai Jakarta, menjadi ganjalan tersendiri bagi Pakdhe untuk melanjutkan dua periode kepemimpinannya.
Sehingga, Pakdhe harus mulai mengamankan posisinya dari sekarang. Selain Jakarta, Jawa Barat adalah salah satu pintu gerbang utama yang paling berpotensi untuk membawa kemenangan Pakdhe dipilpres 2019 mendatang. Pakdhe harus menyiapkan pion-pionnya dari sekarang untuk mengambil alih Jawa Barat dari tangan kaum radikal.
Siapakah yang akan dipilih Pakdhe untuk merebut Jawa Barat di 2018 mendatang? Mari kita simak,,
Jawa Barat merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak. Badan Pusat Statistik ( BPS ) menyatakan, ada sekitar 52 juta jiwa lebih yang tinggal di Jawa Barat. Dari data tersebut, kurang lebih sekitar 33 juta jiwa yang terdaftar sebagai pemilih tetap ( DPT ). Melihat jumlah penduduk yang terus bertambah dari tahun ke tahun, Jawa Barat dinobatkan sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia, sampai dengan saat ini.
Jawa Barat memiliki kultur penduduk mayoritas muslim dan penduduk terbanyak berada di kawasan pedesaan. Hal itu sangat wajar, mengingat 60 persen dari Jawa Barat berupa Kabupaten. Dasar pendidikan masyarakat pedesaan tergolong masih cukup rendah, sehingga mereka cenderung mudah untuk dipengaruhi. Bagi penganut paham radikalisme, Jawa Barat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan sebagai kendaraan politik.
Dan hal itu sudah dibuktikan oleh Ahmad Heryawan ( Aher ) yang sekarang menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat selama dua periode berturut-turut. Bersama dengan Partai politik yang ia naungi, Aher berhasil mengambil hati sebagian besar masyarakat Jawa Barat untuk memilihnya kala itu. Aher tidak tampak besar di media massa dan media sosial. Tetapi ia menguasai pedesaan melalui masjid-masjid, pengajian dan majelis.
Dengan posisi Aher sebagai orang nomor satu di Jawa Barat, akan semakin memudahkan jalannya untuk membangun pondasi politik Partainya sendiri. Dalam hal ini PKS. Di pemerintahan provinsi Jawa Barat, jabatan-jabatan penting diisi oleh orang-orangnya Aher, sehingga urusan-urusan yang berbau politik akan lebih mudah dikomunikasikan. Maka tak heran jika PKS bisa tumbuh dan berkembang disana.
Masa jabatan Aher akan berakhir di tahun 2018. Sesuai dengan peraturan pemerintah, seorang kepala daerah tidak boleh mencalonkan kembali ketika sudah menduduki jabatan selama dua periode berturut-turut. Sepuluh tahun berkuasa sebagai gubernur Jawa Barat, membuat Aher semakin percaya diri untuk membangun politik dinasti.
Seolah-olah tidak ingin kekuasaannya pindah tangan ke orang lain, Aher kembali menunjuk istrinya sendiri sebagai salah satu calon gubernur Jawa Baarat. Netty pun memberi sinyal positif untuk pencalonannya nanti. Melalui pernyataannya, ia mengungkapkan siap untuk maju di Pilkada Jawa Barat, jika ada partai politik yang mengusungnya. Dan berikut pernyataan Netty :
“Sebagai warga negara yang baik kalau masyarakat melihat saya ada kemampuan kemudian dapat dukungan dan diusung partai politik serta hak saya sebagai warga negara dijamin undang-undang, Insya Allah saya siap,” ungkap Netty.
Aher sangat mendukung istrinya, ia yakin kedekatannya dengan Partai Gerindra sebagai pasangan koalisi sehidup semati, mampu membawa pencalonan istrinya menuju Pilkada Jabar. Apalagi Gerindra sendiri sudah menyatakan tidak akan mendukung Ridwan Kamil untuk maju di Pilkada Jabar. Meski sebelumnya Ridwan Kamil sendiri merupakan Walikota besutan Partai Gerindra.
Aher paham bahwa kondisi ini sangat sulit baginya, mengingat PKS sebagai partai yang berbasis Islam, sangat melarang dan bahkan mengharamkan pencalonan pemimpin perempuan. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan visi dan misi PKS selama ini. Aher tidak peduli dengan reaksi publik, yang penting istrinya bisa menjadi Gubernur atau paling tidak Wakil Gubernur. Apa pun akan dilakukan Aher untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dengan modal elektabilitas dan kepercayaan masyarakat selama ini, Aher yakin dapat memberi pengaruh positif pada pencalonan istrinya. Tapi harapan Aher tidak semudah yang dia bayangkan, istrinya akan dihadapkan dengan tokoh-tokoh Jabar lainnya yang tak kalah mumpuni. Seperti Dedi Mulyadi yang saat ini menjabat sebagai Bupati Purwakarta atau Ridwan Kamil, seorang Walikota Bandung.
Siapa tak kenal dengan Ridwan Kamil atau yang biasa disapa Emil, sepak terjangnya di Bandung sudah tidak bisa diragukan lagi. Ditangan Emil, kondisi kota Bandung jauh lebih tertata dari kepemimpinan sebelumnya. Kemampuan dibidang arsitektur yang ia miliki dan gaya kepemimpinan santai, humoris, namun tetap tegas, mampu mengubah wajah kota bandung menjadi lebih cantik.
Sehingga tak heran, jika pria yang memiliki pengikut lebih dari 6 juta pengikut di akun instagram itu sempat digadang-gadang menjadi salah satu calon gubernur DKI. Dan hal itu pulalah yang membuatnya dipanggil ke istana negara oleh Jokowi bersama dua tokoh lainnya, yaitu Ganjar Pranowo dan Ahok. Dalam politik simbol, seolah Jokowi tak rela jika Emil maju di Pilgub DKI. Jokowi tak ingin putra-putra terbaiknya dibenturkan demi kepentingan politik. Hal ini sangat masuk akal, karena masing-masing daerah membutuhkan sosok seperti mereka. Ahok lanjut bertarung di Jakarta yang berakhir pada kekalahannya, Ganjar bertahan di Jawa Tengah, dan Kang Emil sendiri untuk dipersiapkan di Jawa Barat.
Anggapan ini dikuatkan kembali dengan hadirnya Jokowi ke Jawa Barat pada Rabu ( 12/4/17 ) malam, minggu lalu.
Ceritanya begini :
Pertama, Jokowi paham betul dengan situasi politik saat ini, isu agama yang digoreng dan digiring melalui media sosial oleh Buni Yani pada akhir september tahun lalu, telah berhasil memantik reaksi publik. Dengan dikomandoi langsung oleh Rizieq Shihab, aksi bertema bela Islam itu mampu mengumpulkan massa dengan jumlah yang tak sedikit. Mereka datang beramai-ramai ke Jakarta untuk menuntut Ahok dipenjara atas dugaan penistaan agama.
Aksi yang berjalan sampai berjilid-jilid itu telah mengakibatkan kerugian negara hingga puluhan miliyar rupiah. Selain itu, kegaduhan yang timbul dari aksi tersebut berpengaruh juga terhadap stabilitas politik yang secara otomatis mempengaruhi ekonomi negara. Investor asing secara berbondong-bondong akan menarik sahamnya dari Indonesia, karena mereka menganggap situasi negara sedang tidak aman.
Jika dibiarkan terus-menerus hal ini justru dapat membahayakan posisi negara. Jokowi sangat marah atas kejadian ini, lewat pernyataannya Jokowi mengungkapkan “Saya akan menindak tegas bagi siapa saja yang berani makar terhadap negara, sudah cukup banyak energi yang kita habiskan untuk hal-hal yang tidak produktif”, ujar Jokowi. Beruntung, lewat tangan Tito, dalang dibalik aksi massa tersebut berhasil diciduk karena tuduhan makar. Tindakan tegas dan sigap yang diambil Tito sangat efektif untuk meredam aksi massa tersebut, terbukti di aksi selanjutnya terlihat lebih kondusif dan sepi peminat.
Kedua, Jokowi tidak ingin aksi demo besar-besaran terulang kembali dan terjadi di daerah lain. Dari pantauan dilapangan, dalam aksi tersebut didominasi oleh kaum sumbu pendek dan sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa Barat.
Seperti yang kita tahu, Jawa Barat merupakan satu-satunya provinsi pemasok Islam radikal terbesar di Indonesia. Dibawah kepemimpinan Aher, Islam radikal sengaja dipupuk, dibiarkan tumbuh dan berkembang. Dan hal ini yang mendasari keinginan Pakdhe untuk mengganti sosok pemimpin dari kalangan Nasionalis. Tepat sekali, jawabannya adalah Ridwan Kamil.
Hadirnya Jokowi pada Rabu kemarin di Bandung, menjadi pertanda awal isyarat dukungan Jokowi kepada Emil. Kenapa demikian? Untuk menyambut seorang Presiden, harusnya Aherlah yang lebih berperan disini, bukan Emil yang merupakan bawahannya. Hal ini seolah menunjukkan komunikasi politik mulai dibangun antara Pakdhe Jokowi dengan Kang Emil.
Seolah Pakdhe ingin menunjukkan, bahwa dukungannya kepada Emil tidak main-main. Dia sadar kemenangan Kang Emil di Pilgub Jabar menjadi salah satu penentu kemenangannya di Pilpres 2019 mendatang. Kita tahu bahwa pada aksi massa 411 dan 212 kemarin, banyak sekali massa yang dikoordinir dari Jabar. Dan itu rentan sekali dimanfaatkan untuk menggoyang Jokowi ketika mendekati Pilpres. Dengan tumbangnya Ahok dipilkada DKI, pertahanan pusat rentan sekali terbuka. Untuk itu dia harus mengamankan posisinya dari sekarang.
Ketiga, seperti permainan catur, tak-tik permainan Pakdhe memang terlihat santai, tetapi sekali melangkah Pakdhe mampu menggoyah benteng pertahanan lawan. Hal ini bisa kita lihat dengan kunjungannya di Bandung yang berlangsung hingga dua hari. Dibalik kunjungan tersebut, Pakdhe tidak hanya sekedar memberi isyarat dukungan kepada Kang Emil. Disini Pakdhe mulai membangun komunikasi dengan sejumlah tokoh atau pun ulama yang ada di Jawa Barat.
Belajar dari pengalaman Pilpres 2014 lalu, Pakdhe kalah telak di Jabar. Pakdhe kalah langkah dengan Prabowo kala itu. Lewat pendekatan agama dan militansi PKS sampai ke pelosok-pelosok Prabowo berhasil mengungguli perolehan suara Pakdhe.
Untuk itu, pendekatan dengan tokoh agama se Jawa Barat menjadi agenda yang sangat penting bagi Pakdhe. Tidak hanya itu, dalam kunjungannya kemarin, Pakdhe juga ikut solat Subuh berjamaah bersama warga Bandung. Jokowi seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang muslim sejati. Dihadapan warga Bandung, Jokowi seolah ingin menepis terhadap tuduhan komunis yang pernah dialamatkan kepadanya.
Keempat, dalam politik simbol, pendekatan yang dilakukan Pakdhe kepada Emil, memberi sinyal PDIP untuk segera mengusung Emil di Pilgub Jabar. Sehingga semakin kelihatan, pertarungan Pilpres nanti akan membawa koalisi yang sama. PDIP dengan koalisinya melawan Gerindra-PKS dan koalisinya. Ini sekaligus menjadi koalisi permanen yang dimainkan di DKI, di Jabar dan di Pilpres 2019.
“Kemenangan Kang Emil di Jabar, menjadi salah satu kunci kemenangan Pakdhe di Pilpres 2019 mendatang”
Begitulah permainan simbol angin yang sedang dimainkan oleh Pakdhe Jokowi. Terasa tapi tidak bisa diraba yang bisa bikin lawan-lawannya pusing karena masuk angin.
Selain Kang Emil, ada Kang Dedi Mulyadi yang tak kalah mumpuni. Sosok Kang Dedi akan saya bahas dituliskanku selanjutnya,
No comments:
Write komentar