Surat Terbuka untuk Hakim yang (Katanya) Mulia: Semoga Tidur Anda Nyenyak Malam Ini

 




Majelis hakim yang mulia, izinkan saya, seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia, KTP domisili Jakarta untuk menyatakan rasa prihatin saya kepada Bapak Hakim yang mulia. Majelis sudah memutuskan bersalah Pak Ahok dan memvonis dua tahun. Ini sah secara hukum, namun entah mengapa kami tidak puas.

Awalnya saya berpikir, apakah saya yang baper atau mellow? Namun lama kelamaan saya sadar bahwa kesedihan ini pun dialami oleh teman-teman saya yang lain. Bukan hanya rekan seagama saya, bahkan teman -teman Muslim saya pun juga mengalami kesulitan di dalam batin mereka, menerima vonis dari majelis hakim yang mulia.

Mereka bertanya-tanya mengenai vonis majelis hakim yang mulia, mengapa vonis hakim yang mulia bisa lebih panjang dari tuntutan dari jaksa? Ini di luar nalar dan logika kami. Hal ini tidak menjadikan kami puas dan tetap mempertanyakan keputusan majelis hakim yang mulia.

Secara nalar, mungkin hal ini tidak akan serta merta memberikan jawaban. Maka saya akan mencoba melihat dari aspek emosi. Kami tahu bahwa tekanan begitu besar dirasakan oleh umat Islam dengan perkataan yang diucapkan Pak Ahok di Kepulauan Seribu. Namun dua puluh sidang sebelumnya, seolah tidak memberikan keringanan, bahkan justru memberatkan Pak Ahok.

Pak Ahok secara hukum sudah tidak bisa mengelak dari dakwaan penistaan agama. Namun secara hati nurani, saya percaya majelis hakim yang mulia pun juga pasti terganjal. Tekanan ormas jelas-jelas memberikan dampak dan memengaruhi hasil vonis pak hakim ini. Selama ini kami pikir hukum di Indonesia menjunjung tinggi akan keadilan. Kami pikir hukum di Indonesia tidak akan mungkin diintervensi oleh ormas-ormas radikal.

Baru kemarin kita melihat ketegasan pemerintah eksekutif di dalam membubarkan sepihak ormas radikal HTI. Namun sekarang dengan hasil keputusan para majelis hakim yang mulia mengenai vonis Ahok selama dua tahun ini, kita melihat terkoyaknya beberapa azas yang didirikan susah payah oleh para founding fathers negara Indonesia ini, Pancasila.

Namun keputusan tetaplah keputusan. Ahok pun menerima apapun hasil vonis, dan siap melanjutkan proses hukum sampai selesai. Naik bandingpun dilakukan oleh kuasa hukum Ahok. Ini semua karena vonis para majelis hakim yang mulia, yang terlihat takut kepada tekanan ormas.

Dengan kejadian ini, saya baru sadar, bahwa status “Yang Mulia” itu hanyalah milik Tuhan, bukan milik para majelis hakim.

Kami tahu bahwa tekanan itu dirasakan oleh para umat Islam, termasuk para hakim yang tidak lagi saya sebut “mulia”. Namun tekanan ini seharusnya sudah terklarifikasi oleh banyak sanggahan-sanggahan yang dilakukan oleh Ahok dan kuasa hukumnya. Bahkan termasuk JPU yang setuju bahwa Ahok tidak secara sengaja, melakukan penistaan agama.


Namun sebagai hakim yang menyandang gelar “Yang Mulia”, seharusnya para majelis hakim sadar bahwa tidak mungkin Anda dapat diintervensi oleh apapun yang ada, bahkan oleh Ahok sekalipun. Ketika nurani berkata, biarkanlah nurani Anda bekerja. Jangan tekan hati nurani Anda dengan suatu hal yang berbau politis. Saya tidak ingin suudzon kepada majelis hakim yang (katanya) mulia.

Namun kita tahu bahwa fakta memaksa saya suudzon kepada para majelis hakim yang (katanya) mulia, termasuk kenetralan di dalam memberika keputusan. Maafkan saya para majelis hakim yang (katanya) mulia, Anda sudah kehilangan respek dan kehormatan Anda dari mayoritas warga negara Indonesia. Inilah yang menjadi kesulitan kami untuk mencintai negara Indonesia.

Saya tidak pernah merasa menjadi minoritas, meskipun kakek nenek saya tidak berasal dari Indonesia. Sebelumnya saya tidak pernah merasa saya minoritas hanya karena agama saya bukanlah agama mayoritas. Namun entah mengapa, dengan vonis para hakim yang (katanya) mulia, saya merasa menjadi minoritas.

Tekanan terhadap kaum minoritas begitu berasa, melihat kasus Rizieq dengan ‘baladacintarizieq’-nya yang sampai sekarang belum diurus. Begitu juga kasus Buni Yani yang sekarang sedang berjualan mug untuk menggalang dana proses hukumnya. Juga tidak lain dan tidak bukan kasus-kasus korupsi yang terjadi, bahkan sampai sekarang belum selesai.

Saya percaya, para majelis hakim yang (katanya) mulia ini pasti sadar, di dalam hati kecil Anda, Ahok hanyalah tumbal bagi para penguasa dan pengusaha yang ingin bisnis dan politiknya lancar. Tentu Anda mengenal hukum dan kondisi negara yang mengenaskan ini.

Izinkan saya untuk menceritakan satu kisah epic kepada majelis hakim yang (katanya) mulia. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, ada seorang bernama Yesus dari Nazaret. Di dalam persidangan, Dia tidak terbukti bersalah oleh Pilatus, seorang ahli hukum ternama pada saat itu. Namun di dalam tekanan massa, Pilatus berhasil ditekan dan membuat Yesus harus dihukum cambuk, disalibkan, dan mati di atas kayu salib tersebut

Pada akhirnya tekanan massa membuat Dia bersalah. Lucunya, kematian Yesus membuatNya dikenal bahkan sampai sekarang. Banyak orang yang menganggap Yesus dari Nazaret ini sebagai Tuhan. Tentu Pak Ahok bukan Tuhan, namun Pak Ahok memang menyatakan dirinya dengan jelas sebagai pengikut Yesus. Semoga majelis hakim yang (katanya) mulia bisa mengerti, bahwa sejatinya Anda tidak berbeda dari Pilatus, di mata kami. Semoga tangan Anda bersih dan tidak perlu dicuci segala.

Akhir kata dari saya, warga Jakarta yang cinta keadilan, mengucapkan kepada majelis hakim yang (katanya) mulia. Selamat tidur, semoga malam ini Anda dapat tidur dengan nyenyak, karena putusan yang kalian dapatkan merupakan putusan yang “tidak terbantahkan”.

Betul kan yang saya katakan?

No comments:
Write komentar