pernyataan Jokowi soal agama dan politik Membuat DPR kebakaran Jenggot,itu Kan Sudah Ketetapan Pemerintah yang Dulu-dulu

 

Jokowi di Tapanuli Tengah. ©humas gubernur sumut

Dua kiai Nahdlatul Ulama (NU) beda pandangan soal pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang minta agama dipisahkan dengan politik. KH Said Aqil Siradj setuju dengan pendapat Jokowi, tapi KH Ma'ruf Amin menilai, agama dan politik justru harus saling menopang.

Pernyataan Jokowi ini rupanya tak cuma menjadi polemik di kalangan pemuka agama. Di DPR, soal politik dan agama juga turut menjadi perbincangan.

Wakil Ketua DPR ZonFadli  menilai, agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial politik. Dia menegaskan, agama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia melingkupi seluruh aspek kehidupan baik ekonomi, politik, hingga hukum.

"Agama dalam masyarakat Indonesia sudah menjadi realita sosial sekaligus politik, yang tak dapat dipisahkan. Secara historis, semangat ini sudah sejak awal diakui para pendiri negara ini," kata Fadli melalui keterangan tertulisnya, Rabu (29/3).

Fadli bercerita, dulu wakil presiden pertama Muhammad Hatta pernah mengingatkan Presiden RI kedua Soeharto agar RUU Perkawinan harus disesuaikan dengan masukan umat Islam. Menurutnya, Bung Hatta menyatakan muslim berjuang membela tanah air bukanlah suatu pilihan, namun merupakan tugas hidup.

"Ini menandakan agama melekat dalam masyarakat kita," tegasnya.

Politisi Partai Gerindra melanjutkan, dalam poin pertama dasar Negara, Pancasila juga menyebutkan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa. Fadli menilai, prinsip ini menandakan agama dan politik tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Upaya memisahkan agama dan politik justru akan menimbulkan masalah.

"Justru pemisahan agama dan politik bisa menimbulkan masalah. Apalagi kalau menganggap agama sebagai candu seperti Karl Marx atau racun seperti kata Mao Tse Tung. Agama adalah tuntunan hidup bagi umatnya dan dijamin oleh konstitusi," tandasnya.

Sementara Politikus Partai Golkar, Zainuddin Amali mencoba meluruskan maksud Jokowi. Dia mengatakan, Jokowi berharap tidak ada yang menggunakan agama untuk menekan lawan politik.

"Tapi kewajiban kita sebagai umat beragama kita jalankan. Tapi jangan mempertentangkan itu apalagi membuat itu menjadi alat untuk penekan satu sama lain," kata Amali.

Ketua Komisi II DPR ini menyebut, empat pilar kebangsaan bisa menjadi rujukan untuk mengantisipasi gesekan dalam Pemilu. Untuk itu, Ketua Komisi II DPR ini menyarankan agar semua warga negara menjalankan tugasnya sesuai koridor empat pilar kebangsaan itu.

"Ini normal biasa saja, enggak ada yang istimewa dari situ sepanjang pegangan kita, ya MPR kan selalu sampaikan bahwa 4 pilar itu harus menjadi pegangan kita. Enggak ada, soal ideologiya ideologinya Pancasila, enggak boleh ada pikiran atau kita bermimpi kita mau ganti-ganti dengan ideologi lain," tegasnya.

Amali mencontohkan, saat dia menjalankan ibadah, maka segala jabatan politis akan ditinggalkan.

"Misalnya saya kan enggak dilarang misal waktu Zuhur saya saat, kan gitu kan. Tapi setelah itu saya kembali beraktivitas lagi sbagai anggota DPR kan suatu hal yang biasa. Jadi, saya tidak membawa bahwa saya harus salat kemudian aktivitas di DPR harus berhenti, kan itu enggak ada," sambung Amali.

Pernyataan Jokowi ini juga mengundang komentar dari Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, sejak Indonesia merdeka, politik dan agama tidak bisa dipisahkan.

Yusril memaparkan, beberapa sejarah pemikiran politik tanah air dan keterkaiatan hubungan agama dan negara yang terkandung dalam debat-debat bersejarah. Menurut Yusril, debat hubungan agama dengan negara yang menjadi topik hangat dalam sidang BPUPKI ketika the founding fathers merumuskan falsafah bernegara, dan berujung dengan kompromi, baik melalui Piagam Jakarta 22 Juni maupun kompromi tanggal 18 Agustus 1945. Kompromi ini melahirkan kesepakatan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara yang merupakan salah satu contoh kuatnya keterkaitan hubungan agama dan negara.

Debat kembali terulang dalam sidang Konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang merupakan upaya mencari jalan tengah supaya dapat diterima oleh semua golongan. Dekrit Kembali ke UUD 45 akhirnya diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955, termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang menerimanya sebagai 'sebuah kenyataan' meski di Konstituante partai itu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Yusril menambahkan, dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara, maka Negara Indonesia adalah jalan tengah antara Negara Islam dan Negara Sekular. Yusril mengutip perkataan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI yakni 'negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan.' Negara berasaskan falsafah Pancasila, menurut Yusril, adalah kompromi yang dapat menyatukan antara pendukung Islam dan pendukung Sekularisme.

"Jalan tengah yang bersifat kompromistis ini tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan pemisahan politik dengan agama oleh Presiden Jokowi," jelas Yusril.

Dia beranggapan, ajakan Presiden diungkapkan tanpa pemahaman mendalam tentang latar belakang historis dan implikasi politik yang berpotensi menimbulkan debat filosof tentang landasan negara Indonesia.

Dalam penjelasannya, Yusril mengilasbalik isi pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 tentang ke-Tuhan-an ditempatkan dalam urutan kelima sesudah empat sila yang lain. Sila Ke-Tuhan-an, Menurut dia, sila tersebut dapat diperas menjadi ekasila, yakni Gotong Royong.

Selain itu, dalam kompromi tanggal 22 Juni dan 18 Agustus 1945, sila Ketuhanan ditempatkan pada urutan pertama, yang menandai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah fondasi utama dalam kita membangun bangsa dan negara. Jika dilihat dari konteks historis, Yusril beranggapan secara filosofis mustahil untuk memisahkan agama dari negara, dan memisahkan agama dari politik.

"Saya dapat mengatakan bahwa ajakan Presiden Jokowi itu bersifat a-historis, atau tidak punya pijakan sejarah sama sekali," ujar dia.

Dalam membangun bangsa dan negara yang masih banyak ditandai dengan prilaku korupsi para pemimpin dan politisinya, Yusril berasumsi usaha untuk memperkuat etik keagamaan dalam berpolitik akan menjadi sangat penting. Pada akhir keterangannya, Yusril mengatakan teringat ucapan filosof Jerman, Immanuel Kant yang mengatakan, 'barangsiapa mencari sistem moral yang paling kukuh, maka dia tidak akan mendapatkannya melainkan dalam ajaran agama'.

"Saya berkeyakinan pandangan Immanuel Kant ini sejalan dengan falsafah negara kita sebagai negara Pancasila," jelas Yusril.[rnd][merdeka]

No comments:
Write komentar