Desakan agar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur DKI Jakarta setelah habis masa cuti kampanyenya, menjadi polemik.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun pun mengajak agar semua pihak melihat permasalahan tersebut dengan jernih.
Permintaan penonaktifan tersebut dikaitkan dengan status terdakwa kasus dugaan penistaan agama yang disandang oleh Ahok.
Bicara soal pemberhentian sementara kepala daerah, aturannya ada dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
"Kalau bicara tentang penonaktifian atau pemberhentian sementara, maka acuannya pasal 83 ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata Refly saat berbincang dengan detikcom, Jumat (10/2/2017).
Jika berpatokan pada pasal tersebut, lanjut Refly, maka tidak ada alasan untuk memberhentikan Ahok dari jabatan Gubernur DKI.
"Karena, pasal itu mengatakan bahwa mereka yang didakwa melakukan kejahatan yang ancaman hukumannya paling singkat 5 tahun, lalu akan diberhentikan sementara. Selain itu juga mereka yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara, atau melakukan tindakan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," jelas Refly.
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyebutkan:
"Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Dikaitkan dengan kasus Ahok, terang Refly, mantan Bupati Belitung Timur itu didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara.
Selain itu, Ahok juga didakwa dengan Pasal 156 a soal Penodaan Agama yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.
"Berdasarkan '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda pendapat. Di dalam pasal 83 (UU Pemda) itu, dikatakan paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk. Karena kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan," jelasnya.
Meski demikian, lanjut Refly, ada juga tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun, terdakwanya bisa langsung dinonaktifkan dari jabatan gubernur. Namun, hal itu juga tidak bisa dikenakan kepada Ahok.
"Pasal tersebut sudah menyatakan secara spesifik untuk hal-hal tersebut, bahwa korupsi berapapun ancaman hukumannya akan diberhentikan sementara. Sama juga dengan tindak pidana terorisme, makar dan kejahatan terhadap NKRI," kata Refly.
Untuk itu, Refly menegaskan dirinya tidak sependapat jika pasal 83 UU Pemda itu diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI.
"Yang jelas dia bukan (melakukan) korupsi, makar dan terorisme," katanya.
"Kalau memakai pendekatan hukum an sich, saya mengatakan tidak ada alasan untuk menonaktifkan atau memberhentikan sementara (Ahok,-red). Tapi, kita tahu, soal Ahok ini adalah soal yang sangat politis dan tidak hanya soal hukum, antara yang pro dan kontra sama kuatnya. Tapi marilah kita melihat pasal 83 ayat 1 (UU Pemda) itu secara jernih. Pendapat saya tidak ada alasan kalau berpatokan pada pasal itu. Tapi memang tentu Presiden Jokowi berada pada titik dilema, yang paling populer adalah menonaktifkan, karena dianggap akan netral. Kalau tidak menonatifkan dianggap tidak netral," tambah Refly.
sumber: detik.com
No comments:
Write komentar