Melihat Nasib Pasukan Orange Tanpa Ahok

 

Seorang nenek tua, lusuh, lunglai, terduduk tanpa harapan di atas trotoar jalan. Wajahnya kusut, melebihi kusutnya nasib yang kini menghampirinya. Berseragam hansip, entah ia pungut dari mana itu, menggantikan seragam “orange” kebesarannya. Pasrah, hanya itu ikhtiar terakhir yang bisa ia tempuh.
Wajahnya yang keriput tapi bersemangat sempat masuk berita. Saat ia shalat di pinggir jalan. Saat ia masih gagah melawan usia yang tengah renta, untuk mempertahankan sebuah mukjizat dari langit. Tapi itu dulu. Sebelum Pak Basuki cuti. Kini, mukjizat berupa UMP tadi terenggut. Pergi bersama kepergian Pak Basuki untuk memperjuangkan Jakarta dua periode.
Nenek Tinah cuma salah seorang dari mereka yang tidak beruntung mengabdi sebagai “pasukan orange”. Ada banyak lagi orang yang gagal melanjutkan kontraknya dengan alasan yang tidak masuk akal. Katanya, pengelola kehabisan punya kuota. Kuota terbatas menyebabkan orang lama seperti Nenek Tinah dan yang lainnya harus ikhlas terganti oleh orang baru.
Katanya. Untuk menjadi “pasukan orange” ada tesnya. Ada nilai minimum yang harus didapat. Ini aneh bin ajaib. Orang mau bersihin got dan gorong-gorong apa perlunya lagi tes-tes. Bukankah pekerjaan seperti itu tak diperlukan disiplin ilmu tertentu?
Saat tes diberlakukan. Didapat nilai tinggi di atas batas minimum. Puluhan orang tetap tidak diterima. Padahal, mereka adalah orang lama yang lebih berpengalaman. Ada apa ini? Apakah ada “konkalingkong” di tubuh panitia penerimaan?
Mereka mengadu kepada Plt Gubernur, Sumarsono. Mereka memberitahu Plt Gubernur bahwa kontrak mereka tidak dilanjutkan disebabkan mereka tidak bisa bermain futsal. Sontak, Plt Gubernur kaget. Selain tidak bisa bermain futsal, mereka menduga ada faktor “titipan” yang meskipun skor mereka tinggi, tapi tetap saja tidak bisa melanjutkan kontrak.
“Alasannya katanya enggak bisa main futsal, harus bisa futsal. Ini mau PHL apa futsal? Ada juga kemudian mereka melaporkan bahwa ada KKN di bawah, nah makanya ini Saber Pungli harus turun ke bawah kalau begini jadinya,” kata Sumarsono.
Faktanya, dinas kebersihan adalah dinas yang sering mendapat aduan. Ini memunculkan pertanyaan, ada apa disana? Ini membuat kita menduga-duga, apakah ada permainan untuk memainkan anggaran senilai 2,5 triliun setahun itu?
Sebelum era Jokowi-Ahok. Masalah pengelolaan sampah begitu semraut. Baik itu sampah di kali, di got, maupun di jalan raya. Beberapa kali terjadi pergantian kepala dinas karena kinerjanya tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya dibentuklah “pasukan orange”. Mereka digaji sesuai UMP dan diberikan BPJS. Hidup mereka dijamin meski mereka hanya lulusan SMP. Sebab, syarat untuk menjadi pasukan orange memang mudah. Ijazah SMP (minimal) dan KTP Jakarta.
Tentu. Ini membawa angin segar bagi para petugas kebersihan yang nasibnya dulu tak jelas. Upah rendah tanpa adanya jaminan kesehatan. Upah mereka dipangkas oleh orang di atasnya. Hingga, orang beranggapan menjadi petugas kebersihan adalah adalah pilihan terakhir karena tak ada lagi pekerjaan.
Itu dulu. Kini, orang beramai-ramai menjadi bagian dari pasukan orange. Pekerjaan yang hanya mengandalkan tenaga dengan upah yang sangat manusiawi. Ahok sangat memperhatikan kesejahteraan para petugas kebersihan ini. Dengan syarat mereka mau bekerja sesuai dengan target.
Saat Ahok cuti. Banyak permasalahan muncul di Ibukota. Salah satunya ini, tentang rekrutmen petugas harian lepas (PHL) atau pasukan orange. 200 orang baru masuk, tanpa pengalaman kerja, menggantikan petugas lama. Padahal, saat dites mereka memiliki nilai yang cukup. Malah, kalau diukur dari pengalaman kerja, petugas lama justru lebih mengerti tentang target kerja. Kecuali, memang petugas lamanya bermasalah.
Ditinggal dua bulan saja, Jakarta jadi semraut seperti ini. Nasib mujur seorang Nenek Tinah dapat harus terenggut begitu mudahnya tanpa kehadiran Ahok. Belum lagi puluhan orang yang menggantungkan hidupnya di balik seragam orange kebanggaan mereka. Ada prinsip keadilan yang hilang. Yang tidak bisa dijelaskan oleh oknum-oknum tertentu, yang mereka begitu leluasa bermain-main saat Ahok tak ada.
Ini baru masalah kecil seputar pasukan orange yang merasa diperlakukan tidak adil. Bagaimana dengan hal-hal lain yang lebih besar? Bagaimana membuat birokrasi di Jakarta profesional? Bagaimana masyarakat merasa dilayani dengan baik? Semua masalah ini perlu tangan-tangan yang terbukti berpengalaman. Jangan jadikan Jakarta sebagai kelinci percobaan.
Saya tidak tahu. Bagaimana nasib Nenek Tinah sekiranya Ahok gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk yang kedua kalinya? Apakah ia akan menjadi pemulung atau pengemis tanpa kepastian hidup yang jelas? Saya berdoa semoga ini tidak terjadi.

No comments:
Write komentar