Pada 3 Oktober 2016 lalu, 12 orang eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) mengadu kepada Ombudsman perwakilan Jawa Tengah. Perkara yang menjadi keluhannya adalah stigma dan diskriminasi dalam masalah pelayanan administrasi dan kependudukan. Juga stigma yang diterima dari lingkungan sosial dimana mereka tinggal.
Eks anggota Gafatar yang berasal itu berasal dari Kabupaten Semarang, Kudus, Jepara, Banyumas, Kota Semarang, dan Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta, itu beberapa hari sebelumnya mengadakan pertemuan dengan segenap elemen masyarakat sipil. Tujunnya adalah menginventarisir persoalan apa saja yang menimpa mereka, sehingga benar-benar menjadi data yang terverifikasi.
Mereka yang mengadu semuanya adalah yang sempat bertransmigrasi ke Kalimantan Barat untuk bertani. Namun, belum genap satu tahun berada disana, tepatnya di Mempawah, mereka diusir, tanahnya dirampas dan harta benda yang mereka miliki dijarah.
Beberapa peristiwa yang dianggap sebagai tindakan diskriminatif antara lain terjadi pada proses evakuasi pemulangan dari Kalimantan ke kampung halaman. Kurang lebih 100 orang mantan anggota Gafatar ditampung di salah satu gudang semen di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat, dimana kondisinya sangat tidak layak untuk dijadikan tempat penampungan karena didalam gudang semen tersebut banyak sekali debu. Banyak anak-anak yang kemudian mengalami gangguan pernapasan.
Peristiwa lain terjadi pada saat pemulangan dengan menggunakan Kapal perang milik TNI Angkatan Laut. Kapasitas kapal yang sejatinya hanya cukup menampung 500 orang, tetapi dipaksakan mengangkut kurang lebih 1000 orang. Terang saja, hal ini berakibat pada berkurangnya pasokan air minum dan banyak yang kemudian mengalami dehidrasi sehingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit, setelah sampai di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
Meski mungkin bersifat subjektif, tapi keluhan ini perlu didengarkan. Yakni, peristiwa ketika mereka difoto dengan memegang papan bertuliskan nama dan tempat tanggal lahir mereka. Dan itu diberlakukan kepada semuanya, dewasa hingga anak-anak. Selain itu ada juga perlakuan diskriminatif ketika mereka hendak membuat E-KTP, namun diminta membuat surat pernyataan bahwa sudah keluar dari Gafatar. Dan banyak lagi hal lain yang ditengara sebagai perlakuan kurang menyenangkan yang diterima oleh eks-Gafatar.
Persoalan lain yang juga sangat mengganggu adalah terbitnya surat keputusan tentang Organisasi Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar. Surat keputusan bersama (SKB) itu diteken Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri bernomor 93 Tahun 2016, Kep-043/A/JA/02/2016 dan No. 223-865 Tahun 2016.
SKB yang dikeluarkan pada tanggal 29 Februari 2016 berisi tentang (i) pelarangan terhadap eks pengikut Gafatar untuk menceritakan dengan sengaja di muka umum tentang ajaran yang dianggap menyesatkan (ii) menghentikan penyebaran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama (iii) apabila para pengurus, anggota dan simpatisan tidak mematuhi dalam poin pertama dan kedua, maka ada sanksi hukum tersendiri (iv) semua lapisan masyarakat agar mememelihara keamanan, dan ketertiban dalam menjaga ketenteraman kerukunan umat beragama. SKB juga mengimbau lapisan masyarakat agar tidak melakukan perbuatan melawan hukum terhadap para pengurus, pengikut, dan simpatisan Gafatar (v) kejaksaan akan memberi sanksi kepada masyarakat yang tak mengindahkan larangan tersebut.
Substansi SKB Gafatar ini mirip dengan SKB Menteri Agama No 3 tahun 2008, Jaksa Agung Nomor Kep- 033/A/JA/6/2006, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 199 Tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada penganut, anggota dan/atau pengurus Jemaat Ahmadiyah dan warga masyarakat. Rute yang dilalui pemerintah sebelum mengeluarkan SKB juga kurang lebih sama. Ada penyesatan, penghakiman oleh masa dan rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam bentuk fatwa.
Menurut juru bicara eks anggota Gerakan Fajar Nusantara Wisnu Windhani, organisasi ini sendiri sesungguhnya telah membubarkan diri secara nasional pada bulan Agustus tahun 2015. Ini artinya bahwa SKB yang dibuat Jaksa Agung dan dua menteri ini sesungguhnya tidak jelas ditujukan pada siapa.
Selain soal keyakinan keagamaan, latar belakang munculnya pelarangan terhadap Gafatar juga karena dianggap sebagai metamorphosis dari al-Qiyadah al-Islamiyah yang dianggap hendak mendirikan negara. Sehingga, jika disederhanakan, ada dua perspektif tentang pelarangan Gafatar, masalah agama dan politik.
Jika masalahnya adalah tentang agama, maka SKB tidak bisa dibenarkan sebagai alat justifikasi bagi pemerintah untuk menentukan sesat atau tidaknya sebuah aliran keagamaan. Dan tuduhan kalau Gafatar ini metamorphosis dari al-Qiyadah, sudah ditolak baik oleh eks pengurus maupun mantan anggotanya.
Kalaulah benar mereka akan mendirikan negara, maka yang mestinya dilakukan oleh negara adalah bukan membuat SKB. Presidenlah yang berhak membubarkan sebuah organisasi. Dan, seperti ditegaskan oleh mantan pengurus dan anggota Gafatar sendiri, pendirian organisasi ini tidaklah dimaksud untuk makar atau mendirikan negara baru.
Beberapa orang yang pernah tergabung dalam Gafatar bercerita kepada saya, bahwa SKB ini selain tidak jelas ditujukan kepada siapa, namun sangat mengganggu bagi mereka. SKB ini akan dengan mudah menjerat mereka yang dulunya pernah tergabung dalam eks-Gafatar sebagai orang yang “…menceritakan dengan sengaja di muka umum tentang ajaran yang dianggap menyesatkan.”
Karenanya posisi SKB ini sesungguhnya agak membingungkan (sudah kehilangan obyek), tetapi juga potensial dijadikan sebagai alat untuk membatasi dan mendiskriminasi warga negara.
Oleh: Tedi Kholiludin http://elsaonline.com/
No comments:
Write komentar