Indonesia Rawan Pembekuan Demokrasi Potensi "CAPRES TUNGGAL" Kian Menguat

 



Pemerintah mulai mengantisipasi potensi munculnya calon presiden tunggal dalam Pemilihan Presiden 2019 mendatang.

Aturan untuk menghindari munculnya capres tunggal dirumuskan pemerintah dalam revisi Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Berdasarkan draf RUU Pemilu yang didapatkan Kompas.com dari Komisi II DPR, ada sejumlah pasal yang dibuat untuk mencegah munculnya capres tunggal.
Pertama, dalam Pasal 189 ditegaskan bahwa jumlah keseluruhan pasangan calon yang diusulkan partai atau gabungan partai politik minimal berjumlah dua pasangan calon.
Lalu, dalam Pasal 203 ayat (4) diatur, dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon, KPU memperpanjang jadwal pendaftaran pasangan calon selama tujuh hari.
Sementara, Pasal 203 ayat (5) mengatur sanksi tegas apabila parpol peserta pemilu tidak ikut mengusung pasangan calon.
Pasal tersebut berbunyi: "Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik tidak mengajukan bakal Pasangan Calon maka partai politik bersangkutan dikenakan sanksi tidak mengikuti Pemilu berikutnya."
Aturan di atas baru usulan pemerintah yang diajukan ke DPR.
Berikutnya, pemerintah bersama Komisi II DPR akan membahas RUU tersebut sebelum disahkan menjadi UU.
Calon tunggal di Pilkada
Fenomena calon tunggal sempat muncul pada penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2015.
Setelah tahapan pendaftaran ditutup, masih ada tujuh daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon.
Ketujuh daerah itu adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kota Mataram, Kota Samarinda, dan Kota Surabaya.
Satu-satunya calon yang mendaftar di tujuh daerah itu adalah petahana.
KPU sempat memperpanjang waktu pendaftaran di tujuh daerah tersebut. Namun, pada akhirnya, masih ada tiga daerah yang memiliki calon tunggal, yakni Blitar, Timor Tengah Utara, dan Tasikmalaya.
Sesuai dengan peraturan KPU, Pilkada di tiga daerah itu pun harus ditunda berbarengan dengan Pilkada serentak 2017.
Putusan MK
Namun, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa daerah dengan calon tunggal tetap bisa menggelar Pilkada.
MK mengabulkan permohonan uji materi pasal yang mengatur calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. 
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis.
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain itu, MK menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum.
Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada.
Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
Akhirnya, sesuai putusan MK, Pilkada dengan calon tunggal pun tetap digelar.
Masyarakat cukup memilih setuju atau tidak setuju pada calon tunggal itu di surat suara.
Tanggapan soal sanksi untuk parpol

Soal sanksi untuk parpol yang tak mengusung capres, aturan baru yang diajukan pemerintah ini mendapat tanggapan dan respons beragam dari sejumlah elite parpol.
PDI-P sebagai parpol utama pendukung pemerintah mendukung usulan tersebut.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menuturkan, hal tersebut didasari oleh kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional parpol dalam menyiapkan calon pemimpin.
Ia menilai, sanksi layak diberikan ketika hak dan kewajiban tersebut tak dipergunakan oleh parpol.
Hanya, sanksi yang dijatuhkan harus melalui kesepakatan bersama sebagai proses politik.
"Ini gagasan yang menarik dari pemerintah. PDI-P sebagai partai dalam pemerintahan menghormati keputusan pemerintah," kata Hasto saat dihubungi, Rabu (28/9/2016).
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menyambut positif usulan pemerintah terkait pemberian sanksi bagi parpol yang tak mengusung calon presiden-calon wakil presiden.
Ia bahkan mengaku pernah mengusulkan hal itu untuk Pilkada, namun belum bisa diterapkan.
Pemilu Presiden dianggap bisa menjadi momentum untuk memulai aturan tersebut.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Roy Suryo menilai, usulan pemerintah terkait sanksi itu sangat wajar dan logis.
Apalagi, jika alasannya adalah untuk menghindari adanya pasangan calon tunggal pada Pilpres.
Namun, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandarmemastikan partainya menolak aturan tersebut.
Ia menilai aturan itu membatasi hak parpol.
"Enggak boleh, itu hak politik kok. Mau ngusung mau enggak, itu hak (parpol) yang melekat," kata Muhaimin.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Mulfachri Harahap juga menganggap usulan pemerintah pada Rancangan Undang-Undang Pemilu bisa mereduksi hak-hak partai politik.
Ketua DPP Nasional Demokrat Martin Manurung menilai, sanksi bagi parpol yang tidak mengusung calon tidak diperlukan.
Pengusungan calon presiden, kata Martin, merupakan hakikat parpol dalam kontes demokrasi di Indonesia.
Sementara, Sekjen PPP Arsul Sani meminta pemerintah menjabarkan konsep aturan secara rinci.
Jika tujuannya hanya untuk mencegah calon tunggal, maka secara teoritis tetap terbuka kemungkinan hanya ada calon tunggal ketika semua parpol mengusung capres yang sama.
Sekjen DPP Partai Hanura Berliana Kartakusuma mengatakan, perlu ada kajian mendalam terkait usulan pemerintah itu.
Alasannya, Pemilihan Presiden 2019 merupakan yang pertama kalinya digelar serentak bersama pemilu legislatif sehingga formula sanksi bagi parpol masih harus dirumuskan.

No comments:
Write komentar