Pelayanan umum di sebuah negara seperti gas, listrik dan air sering kali dilihat sebagai salah satu indikator keberhasilan perekonomian. Adeltus Lolok yang pernah mengenyam pendidikan S2 di Adelaide (Australia Selatan) menceritakan salah satu pengalaman pribadi berkenaan dengan hal ini. Adeltus yang kini jadi pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Keuangan di Jakarta, menuliskan pengalamannya tentang pelayanan umum itu di Radio Australia.
PAGI itu, seperti biasa saya sedang membantu istri mempersiapkan anak saya yang akan berangkat ke sekolah. Jemputan gratis dari sekolah yang berjarak hanya 1,7 km dari rumah kami akan datang beberapa menit lagi. Tiba-tiba terdengar ketukan yang cukup tegas di pintu depan.
Saat membuka pintu, di depan saya berdiri seorang pria setengah baya yang dengan hormat menyapa, “Selamat pagi pak. Kami mohon maaf sekali. Ada sedikit masalah dengan saluran air ke kompleks ini.”
Rumah kami memang terletak di sebuah kompleks kecil dengan 7 rumah lainnya dengan hanya satu gerbang sebagai pintu keluar masuk. “Okay…lalu bagaimana..,” saya masih bingung untuk menanggapinya. Kalau ada masalah dengan air, lha kan tinggal dikerjain. Kenapa mesti memberitahu saya, pikirku.
“Iya pak, mohon maaf karena kami akan memutus air kira-kira setengah hari. Kami juga akan menggali lubang cukup besar di gerbang sehingga Anda mungkin akan kesulitan mengeluarkan mobil. Bapak silahkan parkir mobilnya di luar saja supaya lebih mudah jika ingin bepergian,” jelas si petugas PAM.
Saya mulai kagum dan sedikit terpana. Kok sampai seperti itu dipikirkan ya.
Belum sempat saya menjawab, ia menyambung lagi, “Sepertinya Anda sedang repot. Saya bisa bantu memarkirkan mobil jika Anda mau.”
“Oh, terima kasih. Saya akan parkir sendiri.” Saya pun bergegas ke garasi yang digunakan bersama oleh ke-delapan rumah di kompleks tersebut. Si petugas PAM tadi lalu mengetuk pintu rumah berikutnya. Sayup-sayup saya mendengar percakapan yang sama.
Saat saya mengeluarkan mobil ke jalan raya, sejumlah petugas PAM beserta kendaraan dan peralatan khusus sudah siap bekerja. Mereka menyapa dengan ramah dan membantu menghalangi kendaraan lain supaya saya bisa memarkir mobil saya di sisi jalan raya yang mulai ramai.
Karena sudah diberitahu akan ada pemutusan aliran air, kami segera mengisi wadah-wadah yang ada sebanyak mungkin. “Hebat ya, Pak. Mau mutusin air setengah hari aja pakai lapor dulu ke warga. Biasanya mah, main putus aja berhari-hari tanpa informasi,” kata istri saya yang rupanya juga terkesan dengan apa yang terjadi.
“Lha, yang biasanya itu, dimana…,” candaku sambil mengantar anak ke mobil jemputan yang sudah menunggu.
Setengah harian itu, air memang mati. Sebelum jam sebelas, air sudah jalan kembali. Iseng-iseng saya cek keluar, para petugas PAM sudah tidak ada. Bekas galian mereka pun sudah kembali rapi. Mereka sepertinya berusaha juga menanam kembali rumput-rumput yang tadinya tercabut. Ketika saya menceritakan kisah itu ke teman-teman yang lain, mereka tersenyum mahfum.
“Ya, maklum mas baru datang sih jadi masih heran. Kalau di sini mah, urusan pelayanan umum kayak air, listrik, kendaraan umum, pendidikan...itu gak boleh ada cacat. Pemerintah Australia selalu merasa malu jika tidak bisa melayani warganya dengan baik,” kata Joko, si ahli akuntansi dari Kementerian Keuangan yang sedang kuliah di University of Adelaide.
“Lha, kemarin saja bis terlambat 15 menit dari biasanya, semua penumpang digratiskan,” timpal Amelia, si kutu buku asal Bandung yang kuliah di kampus yang sama. “Tuh, lihat si oma naik kursi roda, santai aja menyeberang karena memang jalan disiapkan juga untuk orang cacat sekalipun.”
Menomorsatukan Warga
Sejumlah kisah pun bermunculan, bagaimana pemerintah Australia selalu menomorsatukan warga dalam segala hal.
“Pokoknya kalo di sini mas, jangan sampai ada makhluk yang namanya manusia yang gak sekolah atau gak bisa ke rumah sakit. Semua difasilitasi. Kalau anak sudah 5 tahun, harus segera didaftar ke sekolah. Kalo gak, orang tuanya bakal kena sanksi,” timpal Sari, ibu dosen asal Aceh sedang kuliah doktoral di Flinders University.
“He-eh, biayanya pun murah ya. Bayangin, anak saya sekolah SD hanya bayar Rp1,5 juta setahun! Gak beli apa-apa lagi. Cuma beli tas doang. Buku-buku semua dari sekolah,” kataku takjub.
“Nah, itulah mas contoh pemerintah yang mengelola negaranya dengan baik. Pajak ditinggikan, tapi hasilnya memang dirasakan oleh rakyat. Infrastruktur dibuat, layanan dibagusin untuk rakyat juga. Jadi pemerintah itu ya benar-benar melayani, menyediakan, bukan sekedar ngatur,” jelas Aji yang berprofesi sebagai dosen di Surabaya.
Rasanya pembicaraan siang itu berisi sekali dan banyak memperkaya pandangan saya tentang pemerintahan yang baik (good governance) yang selama ini banyak menjadi bualan di seminar-seminar. Pikiran saya pun terbang ke tengah lautan dimana sejumlah besar orang rela mempertaruhkan nyawa, menempuh lautan ribuan kilo dengan perahu reyot demi mencapai Australia. Tak heran bila negeri ini selalu berada dalam daftar 10 besar negara paling nyaman di dunia.
Bulan lalu saya kembali terngiang dengan peristiwa di atas. Pasalnya, salah seorang teman yang mungkin juga tak kalah kaget (atau kagum) mengunggah gambar cek senilai $90 (sekitar Rp900 ribuan) di facebook.
Rupanya cek tersebut pembelian dari perusahaan operator listrik (PLN) Australia. Ia pun berkisah tentang sebuah pohon yang tumbang di depan rumah mereka sehingga aliran listrik di kawasan tersebut terganggu. Perusahaan listrik segera datang dan membereskan masalah tersebut. Listrik hanya mati sekitar setengah harian, lalu kembali normal.
Beberapa hari kemudian, semua rumah yang terkena pemadaman karena pohon tumbang tersebut mendapat kompensasi alias ganti rugi atas kejadian tersebut. Cek senilai $90 kurang lebih sama dengan pembayaran listrik selama sebulan untuk rumah ukuran sedang di Australia. Jadi, gara-gara listrik mati setengah hari, rakyat dibebaskan bayar listrik sebulan! Gimana kalau listriknya byar-pet atau mati berhari-hari ya?
Kisah ini tentu saja bukan soal listrik dan air. Tetapi tentang bagaimana menjadi pemerintah yang berwibawa tanpa melupakan kewajiban sebagai penyedia layanan berkualitas bagi masyarakat. ( Kompas.com )
No comments:
Write komentar