Mengetahui Ada Hakim Yang Satu Ini, Sulit Ahok Bebas di Banding, Jaksa segera Cabut Banding!

 

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menentukan 5 majelis hakim yang akan menangani banding yang diajukan oleh jaksa terkait kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok. Hakim banding Ahok dipimpin oleh Imam Sungudi sedangkan anggotanya Elang Prakoso Wibowo, Daniel D Pairunan, I Nyoman Sutama dan Achmad Yusak. Namun dengan adanya nama hakim Elang Prakoso Wibowo sebagai hakim anggota banding , saya sangat meragukan jika Ahok bisa bebas di tingkat banding, dikarenakan:

Track record hakim Elang Prakoso Wibowo nampak jelas sekali dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin. Di mana saat itu, kuasa hukum Jessica Kumala Wongso mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Elang Prakoso Wibowo sebagai ketua majelis hakim banding bukan malah membebaskan Jessica tetapi malah memperkuat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sesat , ekliru dan telah memvonis Jessica selama 20 tahun pidana penjara.

Padahal saat itu, putusan yang harusnya diambil oleh hakim Elang Prakoso Wibowo adalah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan membuat putusan baru membebaskan Jessica Kumala Wongso dikarenakan Wayan Mirna Salihin bisa dipastikan secara hukum saat itu mati bukan karena racun sianida, melainkan mati karena penyakit yang hingga kini tak terungkap karena tidak ada pemeriksaan mengenai rekam medis mengenai riwayat penyakit yang diderita Mirna selama hidup.

Sianida seberat 0,2 mg/l yang terdapat di lambung korban adalah ditemukan 3 hari setelah kematian, tepatnya setelah korban diformalin 3 liter di bagian pembuluh darah vena bagian paha kanan. Bukti bahwa Mirna mati bukan karena sianida adalahdiperkuat dengan BB IV yang diperiksa Laboratorium Kriminalistik bahwa 70 menit setelah kematian, lambung korban Mirna adalah negatif NaCN/Natrium Sianida. Harusnya berdasarkan fakta dan bukti hukum itu, hakim Elang Prakoso Wibowo membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakata Pusat dan membebaskan Jessica di tingkat banding, tetapi hakim Elang Prakoso Wibowo malah memperkuat putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Jessica selama 20 tahun pidana penjara karena tekanan yang begitu besar pada saat itu.

Berangkat dari salah satu kasus yang pernah ditangani Elang Prakoso Wibowo yang kini menjadi hakim anggota banding dalam kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok, saya tidak ingin terlalu banyak berharap Ahok bisa bebas. Karena yang nyata dan terang-terangan bahwa korban Mirna mati bukan karena racun NaCN saja nyatanya Jessica tetap dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan berencana. Padahal jika saat itu logika hakim Elang Prakowo Wibowo berjalandan tidak tersesat, jika benar Mirna minum kopi yang sudah diaduk atau dicampur dengan sianida oleh Jessica, maka di lambung korban Mirna ada sianida, tapi fakta medisnya 70 menit setelah kematian tak ada sianida di lambung korban Mirna/BB IV, baru ada 3 hari kemudian setelah diformalin. Dan mayat korban pun tidak pernah diotopsi. Karena dalam hukum , jika sudah No otopsi, No crime. Tapi hakim banding yang dipimpin Elang Prakoso Wibowo tetap menyatakan Jessica bersalah tanpa otopsi sekalipun. Jadi, bisa dibayangkan tanpa otopsi pun Jessica tetap dinyatakan bersalah, apalagi Ahok? yang tak ada ada bukti penodaan agama sama sekali. Ujung-ujungnya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara diperkuat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Alhasil, karena menunggu banding, kasus Ahok belum berkekuatan hukum tetap, makin lama lagi dalam penjara karena jaksa masih banding.

Begitu pun dengan kasus Ahok, banyak sekali pertimbangan-pertimbangan hukum yang mengharuskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membebaskan Ahok dari seluruh dakwaan penuntut umum terutama pada pertimbangan hukum, TAPI ITU RASANYA TIDAK MUNGKIN.

Pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam menjatuhkan vonis kepada Ahok:

‘’Terdakwa jelas menyebut surat Almaidah 51 yang dikaitkan dengan kata dibohongi. Hal ini mengandung makna yang negatif, bahwa terdakwa telah menilai dan mempunyai anggapan bahwa orang yang menyampaikan surat Almaidah ayat 51 kepada umat atau masyarakat terkait pemilihan adalah bohong, dan membohongi umat atau masyarakat. Sehingga terdakwa sampai berpesan kepada warga masyarakat di Kepulauan Seribu, dengan mengatakan ‘jangan percaya sama orang’. Yang dimaksud orang di sini adalah jelas menunjuk orang yang menyampaikan surat Almaidah ayat 51.”

“Dengan demikian, dari ucapannya tersebut terdakwa telah menganggap surat Almaidah ayat 51 itu sebagai alat untuk membohongi umat atau masyarakat, atau surat Almaidah ayat 51 itu sebagai sumber kebohongan. Dan dengan adanya anggapan demikian, maka menurut pengadilan, terdakwa telah merendahkan, melecehkan dan menghina surat Almaidah ayat 51, kitab suci agama Islam.”

‘’Menimbang, surat Al-Maidah ayat 51 adalah ayat alquran dalam surat Almaidah. Dengan demikian surat Almaidah ayat 51 adalah bagian dari Alquran, kitab suci Agama Islam, yang dijaga kesuciannya dan dipercaya serta diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Siapapun yang menyampaikan ayat Alquran, sepanjang ayat itu disampaikan dengan benar, maka hal itu tidak boleh dikatakan membohongi umat atau masyarakat’’.

‘’Dan karena Surat Almaidah ayat 51 itu adalah bagian dari kitab suci Alquran, maka dengan merendahkan, melecehkan dan menghina Almaidah ayat 51 sama halnya merendahkan, melecehkan dan menghina kitab suci Alquran’’.

‘’Oleh karena ucapan terdakwa di hadapan warga masyarakat Kepulauan Seribu itu telah merendahkan, melecehkan dan menghina kitab suci Alquran, yang merupakan kitab suci umat Islam, maka dalam hal ini menurut pendapat pengadilan, bahwa ucapan terdakwa yang mengatakan ‘jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu tidak bisa pilih saja, iya kan dibohongi pakai surat Almaidah 51 macam-macam itu’ adalah merupakan ucapan yang pada pokoknya telah mengandung sifat penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia’’.

Vero didampingi Fify Lety Indra dan tim pengacara menunjukkan surat yang ditulis tangan oleh Ahok, Selasa 23 Mei 2017 (detik.com)

Mengapa Pengadilan Tinggi DKI Jakarta harus membebaskan Ahok?

Pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama di atas telah telah lancang dan memperlihatkan adanya kekeliruan yang nyata, karena Judex Facti justru mempertimbangkan merendahkan kitab suci tapi kemudian Ahok dinyatakan bersalah karena melakukan penodaan agama padahal KUHPidana tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan penodaan agama sehingga penerapan Pasal 156 a huruf a KUHPidana oleh Judex Facti kepada Ahok terlalu kebablasan dan dipaksakan;
Pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama dalam membuat mempertimbangkan perbuatan Ahok telah merendahkan kitab suci, berarti Judex Facti telah membuat norma baru dalam Pasal 156 a huruf a KUHPIdana, karena Pasal 156 a huruf a KUHPidana tidak mengadung norma merendahkan kitab suci;
Bahwa dalam pertimbangan-pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama yang dianggap benar oleh Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan adanya penodaan agama yang membuat Ahok dijatuhi pidana penjara karena penodaan agama ‘’. . . “ dan dengan adanya anggapan demikian, maka menurut pengadilan, terdakwa telah merendahkan, melecehkan dan menghina surat Almaidah ayat 51, kitab suci agama Islam.” ;
Bahwa dalam pertimbangan hukumnya, Judex Facti jelas dan terang tidak konsisten dalam mempertahankan pertimbangan hukumnya, karena dalam beberapa pertimbangan hukum di atas dinyatakan bahwa Ahok merendahkan kitab suci, lalu kemudian pada kesimpulan Judex Facti langsung membelokkannya dan menyimpulkanya sebagai penodaan agama, yang tak pernah ada dalam pertimbangan-pertimbangan Judex Facti tapi tiba-tiba muncul penodaan agama. ‘’ . . . Oleh karena ucapan terdakwa di hadapan warga masyarakat Kepulauan Seribu itu telah merendahkan, melecehkan dan menghina kitab suci Alquran, yang merupakan kitab suci umat Islam, maka dalam hal ini menurut pendapat pengadilan, bahwa ucapan terdakwa yang mengatakan ‘jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu tidak bisa pilih saja, iya kan dibohongi pakai surat Almaidah 51 macam-macam itu’ adalah merupakan ucapan yang pada pokoknya telah mengandung sifat penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama yang dianut di Indonesia’’.
Bahwa pertimbangan hukum merendahkan kitab suci memperlihatkan telah terjadi kekeliruan Judex Facti dalam mempertimbangan unsur-unsur dalam Pasal 156 a huruf a KUHPidana, karena dalam Pasal 156 a huruf a KUHPidana tidak memiliki unsur merendahkan kitab suci sebagaimana yang menjadi pertimbangan Judex Facti yang selalu mengulang-ulang merendahkan kitab suci tanpa menyinggung sedikit pun muara dari kesimpulan akhirnya , penodaan agama;
Bahwa dengan adanya pertimbangan Judex Facti mengenai merendahkan kitab suci, maka itu adalah kesimpulan Judex Facti yang tidak berlandaskan hukum sama sekali karena mempertimbangkan menghina kitab suci adalah bertentangan dengan asas legalitas (vide: Pasal 1 ayat 1 KUHPidana);
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum positif di Indonesia hanya mengatur dan merumuskan tentang Pasal 156 a huruf a KUHP tentang penodaan agama, sedangkan merendahkan kitab suci belum diatur dalam KUHPIdana Indonesia karena masih berbentuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang belum disahkan oleh DPR-RI;

Ketentuan Pasal 156 a huruf a KUHPidana:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

Ketentuan Pasal 343 RUU KUHPidana:

‘’Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau merendahkan agama, Rasul, Nabi, Kitab Suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Kategori IV’’.

Dengan demikian, undang-undang sudah secara tegas tidak menyebut ada unsur merendahkan kitab suci dalam Pasal 156 a huruf a KUHP. Penerapan Pasal 156 a huruf a KUHPidana tidak boleh menggunakan penafsiran yang sebebas-bebasnya, karena pertimbangan Judex Facti dari merendahkan kitab suci lalu kemudian berubah dalam kesimpulan menjadi penodaan agama, menujukan Judex Facti telah menafsirkan terlalu luas Pasal 156 a huruf a KUHPidana, padahal KUHPidana tidak memberi pengertian apa yang dimaksud dengan penodaan agama tapi Judex Facti telah lancang dalam membuat pertimbangan hukum.

Jadi anda bisa bayangkan, Ahok divonis dengan pasal penodaan agama tetapi oleh hakim malah dituduh merendahkan kitab suci? Hakim sudah keluar/melenceng jauh dari Pasal 156 a huruf a KUHP dalam menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Ahok. Dengan melihat pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta seharusnya dapat membebaskan Ahok karena hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah membuat keputusan yang cacat hukum dan melanggar asas legalitas.

Tapi dengan adanya nama hakim anggota Elang Prakoso Wibowo dalam perkara banding kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok, saya tidak ingin berharap banyak apalagi terlalu banyak, karena track record hakim yang satu itu sudah nampak sekali dalam kasus kematian Mirna dan tak bisa disangkal siapa pun juga, apalagi menyangkal tanpa argumentasi hukum.

Argumen bahwa Mirna mati bukan karena sianida dalam uraian di atas adalah untuk mengingatkan sekaligus membuktikan bagaimana track record hakim Elang Prakoso Wibowo yang kini menjadi hakim anggota dalam kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok. Track record itu penting jika dihubungkan dengan banding yang masih belum dicabut penuntut umum hingga hari ini.



Sehingga saya berharap penuh kepada penuntut umum agar cabut saja banding itu , masih ada waktu untuk mencabut banding sebelum diputus Pengadilan Tinggi (vide: Pasal 235 ayat (1) KUHAP). Bulan depan pun masih bisa dicabut permohonan banding itu walau berkas banding sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Dan, tolong dipertimbangkan betul aspek kemanfaatan banding sebagaimana yang pernah dinyatakan Jaksa Agung beberapa waktu yang lalu, karena banding itu sudah tak ada gunanya lagi.
Biarkan Ahok menjalani 2/3 dari masa hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara hingga Ahok bisa bebas bersyarat. Karena jika penuntut umum ngotot banding, Ahok akan makin lama lagi di dalam tahanan, makin lama lagi bebasnya, karena kasusnya belum berkekuatan hukum tetap akibat adanya banding yang diajukan penuntut umum. Cabut saja banding itu, kasian Ibu Vero, Nico, Daud dan Nathania. Mereka pasti kangen dengan pak Ahok. Mohon, sudahi banding ini jaksa.swd

No comments:
Write komentar