JAKARTA – Kekasih kita, baginda Nabi Muhammad Saw. pergi berhijrah meninggalkan kota Mekkah menuju Madinah. Entah ombak seperti apa yang ada di dada beliau, ketika menjauh dari kota yang ia cintai, ia menoleh ke belakang memandang kota Mekkah dari kejauhan dan bersabda pilu kepada tanah airnya itu:
ما أطيبك من بلد , وأحبك إلي , ولولا أن قومك أخرجوني منك , ما سكنت غيرك
Artinya: Tidak ada negeri yang lebih baik dan paling aku cintai daripada kamu, kalaulah sekiranya kaumku tidak memaksaku untuk keluar dari sini tentu aku tidak akan tinggal ditempat lain. (HR at-Tirmidzi no: 2926). Beliau berkata: Hadits ini hasan shahih.
Namun, kurang dari 1500 tahun kemudian sejak kejadian tersebut, ada seorang Nasrani memeluk agama Islam, sampai di sini kita bersyukur atas keislamannya.
Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, dia mendadak jadi “ustadz”. Ketika mendapat simpati atas keislamannya dari banyak orang, tiba-tiba ia berucap: “Nasionalisme tidak ada dalilnya!.” Ucapan senada juga diucapkannya pada banyak forum dengan kalimat berbeda namun substansinya sama; tinggalkan demokrasi, tinggalkan pancasila, beralih-lah ke khilafah.
Ucapan seperti ini adalah kebodohan luar biasa yang membuat rusaknya tatanan. Bodoh jika untuk dirinya sendiri tak masalah, tapi jika kebodohan itu membuat kerusakan, wajib untuk dihentikan.
Pertanyannya, mau ikut Nabi Muhammad yang begitu mencintai tanah airnya, atau ikut muallaf yang harusnya banyak belajar tapi ternyata lebih banyak berkoar?
Dalam sirah nabawi, tidak ada ceritanya Kanjeng Nabi melanggar dan mengkhianati kesepakatan dalam bentuk apapun. Di Madinah, Kanjeng Nabi membuat kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Kesepakatan yang disetujui tidak hanya oleh orang Islam, tapi juga Yahudi, Nasrani, Majusi dan Agama Pagan. Juga dari suku atau kabilah apapun jika tinggal di Madinah harus menjaga kesepakatan ini. Ketika ada orang Islam yang melanggar konstitusi dalam piagam Madinah itu, Kanjeng Nabi akan tegas memberi sanksi, hal ini juga beliau lakukan kepada Non Muslim yang melanggar.
Perbuatan Kanjeng Nabi tersebut, dalam internal umat Islam dijadikan sebagi dalil bahwa dengan orang kafir-pun kita harus menjunjung kesepakatan yang telah disetujui. Di negeri kita ini, founding fathers negara kita yang notabene banyak juga dari kalangan ulama meneyetujui kesepakatan bernama Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Haram hukumnya melanggar kesepakatan ini.
Baik, mari berangan-angan, misalnya kita ikuti saja cacat logika HTI dan teman-temannya, bahwa Pancasila adalah ideologi kafir, taghut, berhala dan lain sebagainya, apakah lalu dengan seenaknya merubah “sistem kafir” ini? Tentu tidak.
Para ulama banyak yang membahas ini, misalnya Ibnu Qudamah dalam al-Mughni-nya menjelaskan: “Muslim yang tinggal di negara orang kafir dalam suasana aman, maka harus mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak adalah tindakan yang dilarang dalam Islam!”
Jadi, HTI yang berteriak seolah memperjuangkan syariat, dengan sendirinya ketika mengajak kepada makar terhadap negara Indonesia lalu menawarkan sistem khalifah adalah perbuatan yang keluar dari syariat.
HTI memperjuangkan khilafah, ISIS juga demikian, MMI juga demikian, tapi kok konsep khilafahnya berbeda-beda? Artinya, mereka yang berteriak soal khilafah di negeri ini menawarkan sistem mentah yang rawan kerusakan.
Pancasila mungkin bukan ideologi terbaik untuk dijadikan dasar negara ini, tapi setiap sila-nya sama sekali tidak bertabrakan dengan syariat Islam. Dan dalam naungan negara yang berdasarkan Pancasila inilah, setiap agama bebas menjalankan agamanya, makan sate mudah, mau kawin empat istri pun tak dilarang. Jadi, jangan coba-coba bikin onar dengan ganti sistem mentah seperti khilafah.
Sekali lagi, ikut Kanjeng Nabi yang memberikan contoh memegang teguh kesepakatan atau ikut HTI yang mengajak melanggar kesepakatan? (ARN/dutaislam)
No comments:
Write komentar