Tidak ada sebenarnya yang aneh dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait tidak bolehnya kafir menjadi pejabat di Indonesia. Karena pernyataan Ahok tersebut didasari oleh sikap penolakan kaum intoleran dan pengusung khilafah yang sangat rutin berdemo menolak dirinya.
Fenomena kotak pandora terkait kepuasan warga Jakarta atas kinerja Ahok di atas 70 persen namun yang menginginkannya menjadi pemimpin hanya 42 persen. Apalagi yang menyebabkan hal tersebut kalau bukan massifnya demo menolak Ahok pemimpin kafir dan politisasi masjid yang mengarahkan umat memilin pemimpin muslim.
Bisa dibayangkan jika sebagian besar masjid menyampaikan hal tersebut dan itu disampaikan melalui toa masjid yang radiusnya bisa kiloan meter. Belum lagi spanduk yang bernada SARA dan menolak menshalatkan jenazah pendukung Ahok. Sangat menyeramkan.
Pada akhirnya Ahok memang kalah. Kalah karena dia kafir dan itu sangat telak memukul keyakinan Ahok dan saya serta semua yang disebut kafir oleh para kaum intoleran dan anti NKRI di negeri ini untuk menjadi pejabat di Indonesia. Padahal, semangat untuk mengabdi bagi kami-kami ini sempat dihidupkan oleh Bapak Pluralisme Indonesia, Gus Dur.
Kini usaha Gus Dur untuk menegakkan hak Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali apa agama dan keturunannya mulai pudar. Pilkada Jakarta menjadi pemicu kembalinya kaum minoritas hanya jadi penonton di negeri ini. Ahok jelas kalah karena SARA bukan karena kinerjanya.
Benarkah tidak ada lagi peluang bagi kaum minoritas untuk menjadi pejabat di negeri ini?? Benarkah hanya mimpi di siang bolong kalau kaum minoritas bisa jadi Gubernur Jakarta, Wakil Presiden, dan Presiden di negeri ini?? Secara tertulis bisa, tetapi secara iklim masyarakat masih menjadi pertanyaan besar.
Lalu apa tanggapan PKS yang paling sering dikaitkan dengan gerakan politik SARA?? Tentu saja dengan sangat normatif dan diplomatis, mereka menyampaikan bahwa pernyataan Ahok tidak tepat. Dan seperti biasa, meminta Ahok membuat suasana teduh dari perbuatan politik SARA mereka.
“Ahok punya hak jadi apapun di negeri ini,” kata Mardani melalui pesan singkat kepada kumparan (kumparan.com), Kamis (4/5).“Konstitusi kita tegas semua jabatan publik terbuka bagi Warga Negara Indonesia,” sambungnya.“Jangan kita angkat ucapan yang memecah belah. Mari kita teduhkan suasana,” ungkap Mardani.
Bayangkan saja enaknya PKS menyampaikan hal seperti itu. Mereka dan kroninya bebas bicara SARA bahkan di tempat ibadah, giliran Ahok menyinggung hal yang memang adalah fakta, malah meminta untuk meneduhkan suasana. Kenapa tidak bicara soal meneduhkan masjid dan spanduk-spanduk SARA saat Pilkada Jakarta?? Sudah kejadian seperti ini baru bicara tentang teduh-teduhan.
Kelakuan PKS ini setali tiga uang dengan pasangan calon yang mereka dukung dan konsultan handal mereka Eep Saepulloh. Saat SARA bermain dan demo tolak Ahok karena kafir beraksi mereka diam dan bahkan cenderung seperti mendukung dengan pernyataan-pernyataan tidak melarang dan mendukung aksi-aksi demo nomor togel.
Bahkan kampanye di masjid pun tidak tabu dilakukan Anies. Beberapa kali Anies tertangkap melakukan aksi kampanye di tempat ibadah, tetapi tidak pernah ada keseriusan bawaslu dan KPU memberikan sanksi. Wajarlah karena ada indikasi Bawaslu dan KPU berat sebelah.
Kalau Gus Dur masih hidup, dia bakalan menangis melihat hancurnya NKRI dan kesempatan kaum minoritas menjadi pejabat di negeri ini gara-gara politik SARA dan politisasi Masjid. Hal yang sepertinya tidak lagi begitu kuat dilanjutkan gerakannya oleh anak-anak Gus Dur dan PKB.
Kini, pertanyaan dan tantangan besar dihadapkan Ahok kepada kita semua para pencinta NKRI. Masihkah ada peluang kaum minoritas menjadi pejabt di negeri ini?? Apakah negara ini secara tersurat NKRI tetapi secara tersirat adalah negara beragama?? Jawabannya ada pada pundak kita masing-masing sebagai anak negeri. Kalau hal ini terus dibiarkan, maka tidak lama lagi NKRI hanya tinggal nama. Percayalah..
Salam NKRI.
“Mau jadi gubernur aja susah, ini lagi mau jadi wapres. Kafir mana boleh jadi pejabat di sini,” kata Ahok
No comments:
Write komentar