Penolakan Menyolatkan Jenazah Kejadian Memalukan Yang Tak Perlu Terulang, Ahok Tawarkan Rumah Susun ke Keluarga Nenek Hindun

 


Jakarta - Setelah bertemu dengan keluarga Nenek Hindun, cagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengatakan dia menitipkan doa untuk almarhumah Nenek Hindun. Ahok juga sempat menawarkan rumah susun untuk keluarga Nenek Hindun.

"Saya titip doa supaya dilapangkan jalan kuburnya Bu Hindun," kata Ahok setelah bertemu dengan keluarga Nenek Hindun di Jalan Karet Karya II, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (13/3/2017).

Dalam pembicaraannya dengan keluarga Nenek Hindun, Ahok mengatakan dia menawarkan rumah susun untuk keluarga Nenek Hindun. Namun tawaran Ahok tersebut ditolak oleh pihak keluarga. Ahok menyebut alasan penolakan adalah lokasi bekerja keluarga Nenek Hindun yang dekat dari rumah saat ini.


"Ya ngobrol sajalah, ini kan kontrakan juga. Masalah kita itu, kontrakan lebih mahal dari bangun rumah susun," ujar Ahok.

"Nggak mau pindah (ke rusun), orang kerjanya dekat. Nggak mungkin rumah padat ini kita gusur," imbuhnya.

Ahok berharap kejadian Nenek Hindun tidak terulang di masa yang akan datang. Dia ingin kejadian ditolaknya jenazah Nenek Hindun untuk disalatkan di Musala Al-Mu'minun tidak dikaitkan dengan politik di Jakarta. Ahok juga mengatakan media tidak lagi membesar-besarkan kasus tersebut. Dia menyebut kejadian yang dialami oleh keluarga Nenek Hindun sebagai hal yang memalukan.

"Saya kira sudah banyak imbauan. Saya kira sudahlah, kita ikuti ajaran agama saja yang benar, jangan dipolitisir. Teman-teman media juga jangan tulis lagi. Tutup saja kasus ini. Ini adalah hal yang memalukan buat bangsa kita. Nggak usah cerita-cerita lagilah," harap Ahok.

"Yang penting sekarang kita doakan supaya almarhumah dilapangkan jalan kuburnya," tutupnya.

Sebelumnya diberitakan, Sunengsih (46), putri Hindun, menuturkan ibunya meninggal pada Selasa (7/3) lalu. Jenazah Nenek Hindun disalatkan di rumah atas saran pengurus Musala Al-Mu'minun, yang berada di dekat rumahnya.

"Saya ngomong ke Ustaz Syafi'i (pengurus musala, red), 'Pak Ustaz, ini ibu saya minta disalatkan di musala bisa nggak?' Pak Ustaz langsung jawab, 'Nggak usah, Neng, percuma. Udah di rumah aja. Entar saya pimpin'. Memang benar sih dia pimpin, saya bilang, 'Ya udah'," tutur Sunengsih saat ditemui di rumahnya, Jl Kramat Raya 2 Gang CC RT 9 RW 5, Kelurahan Karet, Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu (11/3).

Meski menerima jenazah ibunya disalatkan di rumah, Sunengsih menyimpan penyesalan karena tak bisa memenuhi keinginan ibunya disalatkan di musala. Terlebih setelah muncul isu Musala Al-Mu'minun memang menolak mensalatkan jenazah pendukung dan pembela penista agama.

Sunengsih beranggapan jenazah ibunya ditolak disalatkan di musala. Soal kabar bahwa penolakan itu karena ibundanya memilih Ahok, Sunengsih menyesalkan jika memang itu alasannya.

"Kalau itu (penolakan karena pilih Ahok, red) iya benar, maka ini saya bilang disangkutpautkan ke situ. Memang pada waktu pilkada itu TPS 14 kita semua ke sana, yang nggak bisa ibu, karena sakit nggak bisa jalan," ujar Sunengsih.

Dua hari setelah jenazah Hindun dimakamkan, cerita Sunengsih ini mengalir dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga lurah dan camat. Lurah dan camat sampai datang ke rumah Sunengsih, yang kemudian mengadukan kabar soal penolakan mensalatkan jenazah di Musala Al-Mu'minun.

Namun tetangga Sunengsih, Syamsul Bahri, menuturkan cerita berbeda. Dia mengatakan warga membantu mengurus jenazah Hindun. Warga juga datang untuk melayat.

"Waktu itu saya baru pulang dari kantor, berita duka terdengar di musala-musala RW 5. Itu pergerakan secara otomatis, kalau warga RW 5 itu untuk berita duka cepet gotong royongnya. Saya bersama pengurus masjid, Ustaz Syafi'i, langsung ambil pemandian mayat di masjid lainnya, kita dorong, kita siapkan, kita hubungin pemandi mayat," tutur Syamsul.

"Pemandi mayat orang PKS, tapi mereka nggak lihat pilihan, yang mandiin, papan, sampai ambulans mereka menghubungi Golkar dan PDIP itu nggak ada, lagi penuh. Akhirnya dari timses Gerindra. Dari RW punya inisiatif untuk memanggil ambulans. Akhirnya datang, ambulans Anies-Sandi. Itu kan tidak melihat perbedaan, tetap dukung, karena itu kan warga kita," sambungnya.

Soal jenazah Hindun yang tidak disalatkan di musala, Syamsul memberi penjelasan. Menurut dia, waktunya tak memungkinkan.

"Ustaznya salatin dan warga ikut salatin. Untuk klarifikasi bahwa musala tidak mau mensalati itu salah. Karena waktu yang membuat seperti itu. Kenapa? Meninggal pukul 13.30 WIB. Pemandian jam 17.00 WIB, pemandiannya, rempah-rempahnya itu butuh waktu. Abis dari pemandian selesainya jam 17.30 WIB masuk ke rumah, karena kebetulan rumahnya gangnya sempit. Warga ngelayat langsung pulang, karena kalau tidak langsung pulang rumahnya penuh," ujar Syamsul.

"Sampai situ mandiin, kafanin, doain, keluarga cium itu ada proses waktu. Kira-kira selesainya jam 18.00 WIB kurang. Cuaca waktu itu sudah gelap, mau hujan besar. Kalau kita ke musala lagi, itu akan memakan waktu, jangan sampai ke kuburan itu malam. Akhirnya inisiatif ustaz dan tokoh-tokoh abis mayat ditutup langsung disalatin di situ. Kebetulan kalau di musala jemaah kita belum pada pulang kerja, ada yang berdagang," sambung Syamsul.

"Sampai selesai salatin jam 18.00 WIB lewat, langsung ke ambulans biar nggak kemaleman. Sesudah di ambulans pas perjalanan di Kuningan macet, sampai di Kuningan hujan besar itu jam 18.30 WIB. Sampai selesai jam 19.00 WIB kurang. Ada warga yang ikut, ada yang nggak ikut, karena ada yang punya keperluan, jadi saya klarifikasi warga pada ikut, tokoh-tokoh juga ikut, termasuk Ustaz Piih (Syafi'i, red) dan pengurus musala," sambungnya lagi.

Ketua RT 9 RW 5, Abdurrahman (40), mengamini semua cerita Syamsul Bahri. Dia mengatakan warga ikut membantu mengurus jenazah Hindun. Dia juga menyatakan ikut membantu mengurus surat-menyurat kematian Hindun. Soal salat jenazah, Abdurrahman mengatakan bisa di musala, bisa juga di rumah. Soal salat jenazah di rumah merupakan hal biasa, menyesuaikan dengan kondisi.

"Semua, RW sini, kalau ada kejadian meninggal di rumah, kalau salat bisa di rumah, bisa di musala. Almarhumah Bu Hindun di rumah karena waktunya mepet kali ya," tutur Abdurrahman.

Abdurrahman memang tak ikut terlibat langsung dalam mengurus jenazah Hindun. Namun dia ikut membantu mengurus surat-menyurat, termasuk soal sosialisasi di RW. Dia juga ikut membantu pembagian tugas mengurus jenazah.

Soal spanduk penolakan mensalatkan jenazah yang sempat dipasang di Musala Al-Mu'minun, Abdurrahman tak mau bicara banyak. Dia mengatakan itu merupakan inisiatif warga. Namun dia mengaku tak tahu siapa yang memasang. "Dalam arti perbedaan, tidak ada masalah memang berbeda-beda. Spanduk ada, ya itu jemaahnya atas persetujuan jemaah yang massa Islam mungkin," ujarnya.
(bis/van)

No comments:
Write komentar