Keberanian Haji Djarot, Masuk di Kerumunan Pendukung Anies-Sandi yang Garang

 


Koko putih lengan panjang, dengan kopiah yang menempel di kepalanya. Ia berjalan dengan menebar senyum ke setiap orang. Ia berjalan santai tanpa tekanan, menghadapi massa yang dari tadi menyorakinya. Suasana ribut yang sarat ejekan terhadap dirinya, ia hadapi seperti saat bertemu warga. Ia tak terprovokasi, ia tak pernah merubah air mukanya.
Ia adalah Haji Djarot Saiful Hidayat. Calon wakil gubernur dari Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap penista agama oleh orang-orang yang kini tengah menyorakinya.
Sekelebat terdengar teriakan “kafir…” Juga terdengar seorang ibu-ibu yang terteriak “hidup tiga pak..” Haji Djarot hanya menyalami sang ibu dari jauh, sembari memberikan senyumnya yang paling meneduhkan, hingga gigi-gigi putihnya kelihatan.
Sepanjang jalan di pelataran Masjid At-Tin, Haji Djarot terus saja menerima caci maki para pendukung Anies dengan lapang dada. Ia sama sekali tak terpancing. Tidak jelas cacian yang mereka teriakan. Karena bukan satu dua orang lagi. Tapi banyak orang yang meneriaki Haji Djarot.
Ada seorang anak muda. Ia sengaja kekapkan tangannya di mulut untuk menghasilkan teriakan yang lebih nyaring di tengah bisingnya suasana. Ia berteriak sekuat tenaga “woi… anak babi.. usir..”
Haji Djarot telap melangkah dengan pasti. Ia tidak terlalu mempedulikan mereka yang terus menyorakinya. Ia tetap pada tujuannya datang ke Masjid At-Tin, TMII, Jakarta Timur, yakni untuk menghadiri undangan acara Haul Soeharto.
Saya tak bisa membayangkan. Di pelataran “Rumah Allah” orang-orang yang berseragamkan “pakaian takwa” lengkap, bisa-bisanya melemparkan ujaran-ujaran tidak sopan dan tidak berakhlak. Kalau di jalanan silahkan saja. Menyebutkan semua penghuni kebun binatang Ragunan pun silahkan saja. Tapi ini di Rumah Allah, malah dijadikan kesempatan untuk mencaci maki orang yang mereka tidak suka.
Di kawasan masjid saja, orang-orang ini dengan gagah berani mampu melemparkan secara membabi-buta ujaran-ujaran kebencian yang jauh dari norma akhlak. Apalagi jika di jalanan. Mereka bisa lebih garang dari ini.
Padahal, orang-orang ini mencitrakan diri mereka sebagai yang paling agamis dan yang paling islami. Tapi, nilai-nilai agama juga nilai-nilai Islam seperti jauh panggang dari api. Apakah saya salah jika menyimpulkan, mereka itu cuma berlaga agamis dan islami. Padahal, esensi dari Islam yang mengatakan “Muslim adalah yang orang lain selamat dari tangan dan lisannya” sangat jauh dari kehidupan orang-orang itu.
Orang-orang tersebut sungguh memalukan. Bahkan kampungan. Mereka seperti datang dari suatu tempat antah-berantah, menyaksikan sebuah keanehan dalam dinamika kehidupan yang baru mereka jumpai. Lalu, sifat aslinya keluar. Berteriak tak karuan. Membawa nama-nama binatang. Mirip manusia pritimif yang tak pernah bersentuhan dengan peradaban.

Tidak hanya saat masuk saja. Saat Haji Djarot meninggalkan acara sebelum acara selesai. Perlakuan yang sama juga ia rasakan. Ia kembali diteriaki “kafir” dan segala macam umpatan-umpatan khas bumi datar yang percaya monas mampu menampung 7 juta manusia.
Malahan, Haji Djarot sempat ditimpuki oleh botol air. Perilaku tak beradab ini, di Rumah Allah, sungguh sangat memalukan. Terbuat dari apa nurani mereka hingga tak tahu bersikap yang sopan itu seperti apa. Meski Haji Djarot adalah lawan dari Anies-Sandi, sebagai pendukung Anies, seharusnya kalian bisa bersikap santun. Bukankah Anies itu santun?
Saya justru heran. Mengapa Haji Djarot dikatakan “kafir” hanya karena ia Cawagub dari Ahok? Ini kan aneh rasanya. Secara, Haji Djarot sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima, sudah sempurna tuntutan Islamnya. Kekafiran jenis apa yang ada di dalam diri Haji Djarot?
Belum tentu yang berteriak-teriak itu sudah menyempurnakan tuntutan Islamnya. Toh, paslon yang mereka dukung pun (Anies), belum sempurna tuntutan keislamannya. Anies kan belum pergi haji, umrah mungkin sudah.
Padahal, apa yang menghalangi Anies untuk berangkat haji? Harta? Kesehatan? Larangan dari pihak Saudi? Semuanya kan sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Mengapa belum juga menunaikan tuntutan kelima dalam rukun Islam?
Saya benar-benar salut dengan aksi Haji Djarot kemarin. Ini membuktikan bahwa seorang pemimpin tidak takut meski harus bertandang ke wilayah orang yang membencinya hingga tujuh turunan. Seorang calon pemimpin harus berani berhadapan dengan mereka yang tidak suka padanya.
Bukan kali ini saja Haji Djarot bertindak seberani ini. Sebelumnya, Djarot juga mendatangi sebuah masjid yang diisukan melarang menshalatkan jenazah mereka yang pro Ahok-Djarot.
Ini contoh pemimpin sejati. Berani untuk menghadapi keadaan yang paling sulit sekalipun.[swd]

No comments:
Write komentar