Penulis: Amran Amier
SAAT banyak orang menertawai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena kekalahan AHY dalam Pilgub Jakarta, kok saya tiba-tiba berpikir lain, bahwa sesungguhnya yang tengah berjalan adalah skenario SBY. Ingatan pada kekalahan SBY dari Hamzah Has pada Pemilihan Wakil Presiden tahun 2001, menguatkan pikiran saya ini.
SBY memang tidak menargetkan Jakarta. Ia tengah mempersiapkan AHY untuk sesuatu yang lebih besar. Dan, untuk itu, AHY harus menjadi kesatria, berjiwa besar dan negarawan muda. Kekalahan adalah ujian yang diharapkan. Dan, AHY bukan dikorbankan, tapi tengah ditempa.
AHY juga sekaligus untuk memecah ombak. Tanpa AHY, bisa jadi Ahok menang satu putaran. Jauhnya elektabilitas Anies dibanding Ahok sebelum penetapan calon gubernur menjadi alasan utama perlunya pemecah ombak.
Dan, SBY kali ini jitu. Ahok hanya mampu mendulang suara jauh di bawah dari setengah pemilih Jakarta yang memberi suara. Saat bersamaan, elektabilitas Anies merangkak naik.
Kini, banyak orang mulai pesimis Ahok menang lalu menjadi Gubernur Jakarta lagi. Elektabilitasnya yang stagnan, elektabilitas Anien yang bergerak naik adalah ketakutan utama pendukungnya. Ini berkat kecerdasan dan intuisi SBY yang tajam. Ia seorang thinking general, bukan?
Berjalannya skenario SBY juga terindikasi saat AHY menyampaikan pidato kekalahan. Pendukungnya malah sudah berteriak AHY for President. Saat bersamaan, jutaan orang yang melihat, termasuk yang bukan pendukung AHY, bahkan pendukung die hard Ahok, termasuk Jokowi, berdecak kagum lalu memuji AHY: kesatria. Sebuah tanda lahirnya rasa suka yang kelak berpotensi menjadi keinginan untuk memilihnya.
Ini artinya, jangankan untuk jabatan politik setara dua bintang, untuk empat bintangpun, AHY sudah mendapat dukungan untuk itu. Jalannya lempang. Hanya tsunami politik yang bisa menghadang.
Apa yang didapat AHY ini adalah sebuah mukjizat bagi seorang mayor. Untuk menjadi jenderal, seorang mayor memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun. Dan, tak ada jaminan AHY mendapatkan itu. Apalagi kian tahun, SBY kian kehilangan pengaruh karena usia renta, juga dinamika kehidupan.
SBY tak mau itu terjadi pada putra sulungnya. AHY harus menjadi jenderal secepatnya. Dan itu tercapai, tak sampai setahun setelah AHY berhenti menjadi tentara aktif. Kini, popularitas, juga elektabilitas AHY jauh mengungguli para jenderal aktif sekalipun.
Itulah hebatnya SBY. Kehebatan ini pernah ia tunjukkan di masa lalu. Hanya tiga tahun setelah ia kalah untuk menjadi wakil presiden, ia kemudian malah menjadi presiden selama sepuluh tahun, dengan catatan apik: mengalahkan atasannya, juga seniornya di tentara. Hebat.
baca juga; bukti warga taat agama adalah ahok menang di petamburan
nasehat Gibran purta Jokowi buat SBY
Saya bukan pendukung SBY. Saya independen hingga akhir hayat. Semoga pikiran saya keliru.***
Penulis adalah mantan Ketua AJI Palu.
No comments:
Write komentar