Usulan agar film itu kembali diputar belakangan kerap digaungkan para ormas keagamaan. Salah satu desakan dilakukan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) M Rizieq Syihab. Dia merasa film itu penting untuk menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut dia, sebelum masa reformasi setiap tanggal 30 September film soal pengkhianatan PKI selalu diputar ulang. "Tapi setelah reformasi disetop itu film," ungkap Rizieq di Jakarta, Sabtu kemarin.
Desakan itu muncul setelah banyak tudingan menyebut dirinya sebagai sosok anti-Pancasila dan pemerintah. Rizieq justru melawan balik. Dia menantang pemerintah untuk mengembalikan aturan kewajiban diputarnya film G30S PKI tersebut.
Apalagi Rizieq menuding belakangan pengetahuan soal pengkhianatan PKI dewasa ini sangat minim. Bahkan itu dihapus dari kurikulum pelajaran.
"Saya protes kenapa itu dihapus kita minta itu ditayangkan kembali biar semua tahu. Gara-gara diprotes saya dianggap anti-Pancasila anti-Pemerintah. Kok pemerintah ini gagal paham melulu," tegasnya.
Film G30S/PKI digarap tahun 1984 dan kemudian wajib ditayangkan di TVRI dan seluruh televisi swasta
setiap malam tanggal 30 September. Film berdurasi hampir empat jam ini biasanya mulai ditayangkan pukul 21.00 WIB. Masyarakat terus diingatkan tentang kengerian terjadi di Lubang Buaya.
Tahun 1998, saat Soeharto tumbang banyak suara mengkritik soal film ini bermunculan. Film G30S/PKI dianggap penuh propaganda Soeharto. Adalah para purnawirawan TNI AU (PPAU), kemudian menyurati Menteri Penerangan Yunus Yosfiah.
Para marsekal atau jenderal TNI AU ini tak terima TNI AU seolah-olah terlibat G30S. "Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah yang menelepon menteri penerangan dan menteri pendidikan. Itulah akhirnya kenapa film itu tidak ditayangkan lagi per 1 Oktober 1998," beber sejarawan Asvi Warman Adam saat berbincang dengan merdeka.com, beberapa waktu lalu.
Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Anhar Gonggong, menilai wacana pemutaran kembali film G30S sebaiknya urung dilakukan. Sebab Anhar melihat pemutaran tayangan film tersebut tidak etis lagi.
"Ya film itu kan banyak yang mengungkapkan bahwa Soeharto melanggar HAM. Jadi bagaimana orang menyaksikan, kalau tayangan kurang etis," kata Anhar saat dihubungi merdeka.com, beberapa waktu lalu.
Meski demikian, Anhar menyerahkan sepenuhnya ke pemerintah dalam mengambil sikap. "Jadi serba susah juga untuk pemerintah. Jadi paling tidak saya usulkan bukan penayangan, tapi ajarkan sejarah yang baik dan benar untuk masyarakat," kata Anhar.
Menurut Anhar, pemerintah sebaiknya menanamkan edukasi masyarakat tentang pentingnya sejarah yakni sejak duduk di kelas IV SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Di mana ajarkan sejarah secara baik dan benar.
"Karena itu, kalau ditayangin lagi? Pemerintah harus menghitung baik buruknya jika ditayangkan lagi. Saya menerima saja keputusan pemerintah, tapi intinya pemerintah harus mengajarkan sejarah yang baik dan benar," terangnya. (MDK/SN)
No comments:
Write komentar