Atlantis = Sundaland, itu juga yang diteriakkan oleh Santos dalam bukunya : “ATLANTIS the Lost Continent Finaly found”. Uraiannya cukup ruwet dan berliku-liku dan terkadang seperti tidak masuk akal, tapi ide utama yang dikemukakan sebetulnya simpel dan brilian. Sebelumnya sudah banyak berbagai kandidat Atlantis yang diajukan tapi tidak ada yang benar-benar memenuhi syarat dan anehnya tidak ada satupun yang melirik Sundaland. Apakah memang tidak ada orang yang serius membaca Timaeus dan Critias, atau barangkali disengaja untuk mengecoh orang dengan membuat banyak “decoy-decoy” yang tidak masuk akal apapun tujuannya, Wallahualam. Santos punya kesalahan cukup fatal karena menafsirkan Pulau Atlantis benar-benar tenggelam dalam sehari-semalam, seperti banyak ditafsirkan oleh banyak orang. Oleh karena itu dia mengajukan hipotesa yang seolah-olah sudah benar-benar dia yakini bahwa yang menghancurkan dan menenggelamkan Pulau Atlantis adalah letusan gunung api Krakatau Purba yang kemudian memicu massa es di bumi mencair seketika sehingga menaikkan air laut sampai puluhan meter hanya dalam sehari-semalam. Alasan ini tentu tidak bisa diterima oleh ilmu geologi karena letusan katastrofi tidak membuat es mencair, tapi sebaliknya malah menurunkan temperatur bumi seperti halnya letusan Toba yang menurunkan temperatur bumi beberapa derajat selama 6 tahun. Disamping itu dalam Timaeus-Critias tidak menyinggung fenomena bencana letusan gunung api. Walaubagaimanapun, karya Santos sangat berjasa dalam membukakan ide tentang lokasi Atlantis yang lebih masuk akal ini. Selain itu dia terutama sudah bekerja keras mengumpulkan banyak mitos, tradisi, peta dan catatan kuno, serta berbagai literatur untuk memperkuat bukti bahwa bukan hanya Plato yang mengatakan tentang adanya ‘Tanah Surga Purba – Pusat Peradaban Dunia’ tapi juga diceritakan oleh banyak sumber yang meskipun nama sebutannya berbeda-beda tapi deskripsinya banyak kemiripan dengan deskripsi Atlantis-nya Plato. Misalnya adalah cerita dari ahli sejarah Yunani terkenal yang hidup pada Abad satu sebelum Masehi, yaitu Diodorus Sicculus, tentang “Islands of Heliads” atau Negeri Matahari jauh di selatan di wilayah lautan di Selatan India; atau tentang Negeri “PUNT”orang Mesir yang dikatakan sebagai negeri pertama para leluhurnya yang terletak jauh di timur.
Nama pusat peradaban kuno yang cukup terkenal selain Atlantis adalah LEMURIA atau Tanah Mu (“The Land of Mu”). Kisah Mu pertamakali dikemukakan oleh Le Ploengon (1825-1907) setelah dia kembali dari perjalanannya melihat sisa-sisa reruntuhan peradaban Maya di Yucatan, Mexico. Dari berbagai relief bangunan,artefak, simbol-simbol, dan tulisan hieroglpyhs yang ditemukan di sana Le Ploengon berkesimpulan bahwa peradaban (leluhur) bangsa Maya lebih tua dari peradaban Mesir dan Yunani, bahkan lebih jauh lagi menginduk ke peradaban sangat kuno dari satu daratan yang dulu tenggelam karena bencana. Salah satu leluhur dari daratan tenggelam itu adalah ‘Ratu Moo’ yang membangun peradaban di Mesir dan Yunani. Le Ploengon kemudian menginterpretasikan bahwa daratan yang dimaksud bangsa Maya adalah sama dengan tanah Atlantis di dalam Timaeus dan Critias yang menurut keyakinannya ada di tengah Samudra Atlantic . Le Ploengon adalah juga seorang pioneer dalam penggunaan kamera foto (termasuk teknik foto 3-D) untuk mendokumentasikan reruntuhan Maya tersebut. Dokumen foto-foto nya menjadi data yang sangat berharga karena sekarang banyak sisa-sisa reruntuhan Maya yang sudah rusak atau dimusnahkan (oleh Spanyol). Koleksi Foto-foto, catatan harian dan berbagai catatan-analisa Le Ploengon yang asli sekarang tersimpan di Museum Getty, Los Angeles.
Kemudian, James Churchward (1851–1936) lebih mempopulerkan lagi ide-nya Le Ploengon tersebut dalam satu seri buku-nya yaitu: Lost Continent of Mu, the Motherland of Man (1926), kemudian di-edit lagi menjadi The Lost Continent Mu (1931), dan seterusnya ditulis dalam buku populer berjudul The Children of Mu (1931) dan The Sacred Symbols of Mu (1933). Churhward meng-klaim bahwa urain didalam buku-bukunya tersebut adalah dari transkrip huruf kuno pada dua buah tablet tanah yang diperlihatkan oleh pendeta tinggi di India (ketika dia sedang berdinas sebagai militer di sana) dan juga dari 2500 tablet batu bertulis dari reruntuhan Maya di Meksiko yang dikumpulkan oleh William Niven. Tapi, konon, 2500 tablet batu itu sayangnya raib ketika sedang dikirim dari Meksiko ke USA. Singkatnya Churchward menguraikan bahwa di Tanah Mu atau Le-MU-ria ada peradaban tinggi bangsa “Naacal” yang berkembang sejak 50.000 tahun lalu sampai 12.000 tahun lalu, yaitu saat musnah karena bencana alam. Ketika terjadi benjana besar tersebut populasi bangsa Mu sudah mencapai 64 juta penduduk dan meninggalkan banyak kota-kota besar dan koloni-nya diberbagai tempat di dunia. Salah satu ciri khusus dari peninggalan bangsa Mu atau Naacal ini adalah simbol (Dewa) Matahari dan (manusia) burung yang terukir diberbagai artefak dan peninggalan megalitik di banyak tempat di dunia, termasuk patung-patung batu besar (Moai) di Pulau Easter, Polinesia. Namun, berbeda dengan interpretasi Le Ploengon, Churhward percaya bahwa daratan besar yang tenggelam dari leluhur bangsa Maya (dan juga bangsa-bangsa lainnya, termasuk Mesir dan Yunani) adalah di tengah-tengah Samudra Pasific, bukan di Samudra Atlantic.
Baik karya Le Ploengon ataupun Churchward dua-duanya banyak dicemoohkan oleh kalangan ilmiah. Yang Menarik, alasan utama kenapa karya mereka ‘dibuang’ adalah karena berhipotesa tentang benua yang tenggelam di tengah samudra , yang satu bilang di Atlantic lainnya di Pasific, karena ini adalah hal yang mustahil untuk dunia ilmiah, khususnya menurut ilmu geologi. Gara-gara interpretasi yang sembrono inilah maka kerja keras mereka yang sesungguhnya menjadi ikut dianggap sampah, sama seperti halnya Santos yang membuat hipotesa konyol tentang letusan gunung berapi yang mencairkan es. Aneh juga kalau dipikir sepintas lalu bahwa mengajukan benua (khayalan) yang tenggelam di tengah Samudra sepertinya dianggap lebih masuk akal dibandingkan mengusulkan daratan yang benar-benar pernah ada, yaitu Sundaland. Tapi harus diingat bahwa ketika zaman Le Ploengon dan Churchward, perihal geologi dari Sundaland belum banyak diketahui dan dipahami orang.
Cerita daratan besar tenggelam lain yang tidak kalah menariknya adalah “Kumari Kandam” yang disebut dalam literatur kuno Sangam-Tamil (tertulis pada awal Masehi), India. Diceritakan bahwa dulu ada Kerajaan kuno Pandiyanyang berada di dataran antara Sungai Besar Pahruli dan Kumari dengan wilayah pegunungan disekitarnya. Kemudian ‘laut yang kejam’ mengambil (=menenggelamkan) dataran dan sungai besar itu sehingga sang raja Pandiyan menaklukan tanah raja Chola dan Chera (di India) sebagai penggantinya. Menarik untuk dicatat bahwa sungai purba besar di Sundaland pun ada dua, yang satu berada di Selat Karimata sekarang dan bermuara ke Laut Cina Selatan, dan satu lagi berada di Laut Jawa sekarang dan bermuara ke timur, yaitu di selatan Selat Makasar. Lokasi dari Tanah Pandiyan itu dideskripsikan berada di ‘selatan’ semenanjung India yang kemudian oleh kongres nasionalis Tamil, Kumari Kandam ini tidak lain adalah LEMURIA, pusat peradaban dunia, dan letaknya di tengah Samudra Hindia. R. Mathivanan, kepala editor “Etymological Dictionary Project dari Pemerintahan Tamil Nadu, meng-klaim bahwa dia bisa memecahkan transkrip kuno dalam artefak Indus yang isinya antara lain menginformasikan bahwa peradaban Kumari Kandam (sebagai leluhur bangsa Tamil) mulai berkembang sejak 50 ribu tahun lalu sampai tenggelamnya karena banjir besar (sejak) 16 ribu tahun lalu; kemudian 6 ribu SM Raja Pandiya dari Kumari Kandam mulai mendirikan kerajaan kedua di tanah barunya, yaitu di wilayah India sekarang, dsb.dst. Yang sangat janggal, kongres tamil ini bersepakat bahwa lokasi Kumari Kandam itu di tengah-tengah Samudra Hindia yang jelas-jelas tidak bisa diterima oleh sejarah geologi karena di situ tidak pernah ada tanah tenggelam ribuan-puluhan ribu tahun lalu. Yang benar, sejarah tektonik mengatakan bahwa pulau India itu 90 JUTA tahun lalu lokasinya memang berada di Samudra Hindia sekarang, kemudian karena proses tektonik lempeng daratan ini melaju ke utara dengan kecepatan sampai 20 centimeter/tahun sampai akhirnya mulai menabrak Benua Asia sekitar 50-45 JUTA tahun lalu yang karenanya pegunungan Himalaya sekarang ada. Jadi kalau dikaitkan dengan geologi maka kisah daratan Kumari Kandam di Samudra Hindia waktu kejadiannya kekurangan tiga angka NOL. Apakah Kongres Tamil waktu itu tidak terpikir untuk melirik ke daratan tenggelam yang lebih masuk akal yaitu Sundaland? Boleh jadi bersikap nehi-nehi terhadap kemungkinan itu karena sampai saat ini Bangsa India dikenal sebagai pembina peradaban Indonesia, masa iya harus mengakui sebaliknya, Wallahualam.
Sampai saat ini bencana katastrofi yang menghancurkan Atlantis, dari sudut pandang ilmiah, tetap masih merupakan misteri yang harus diteliti serius. Timaeus dan Critias hanya mengatakan bahwa bencana itu dimulai dengan satu malam diguyur hujan yang sangat lebat kemudian datanglah bencana gempa dan banjir atau tsunami, diikuti oleh gejala penurunan tanah. Apakah maksudnya gempa tektonik? Di Sundaland gempa dan tsunami besar hanya bisa dihasilkan oleh zona subduksi, atau disebut juga sebagai “megathrust”, seperti halnya yang menyebabkan tsunami Aceh tahun 2004, Pangandaran tahun 2006 dan tsunami di Pagai, Mentawai tahun 2010. Apabila Kota Metropolis Atlantis itu berada di dekat Selat Sunda, maka sumber gempa mautnya kemungkinan besar adalah megathrust dengan skala sangat besar di wilayah Selat Sunda, katakanlah sampai 9.5 SR atau lebih, sehingga memecahkan batas lempeng dari mulai barat Sumatra – Selat Sunda – sampai ke Selatan Jawa. Apakah goyangan dari gempa seperti ini cukup untuk merontokkan Atlantis dan membangkitkan tsunami yang menenggelamkan Kota Metropolisnya? Mungkin saja, tapi taksiran saya mungkin harus dibarengi dengan longsoran besar di bawah laut di dekat Selat Sunda untuk bisa membangkitkan tsunami sampai lebih dari seratus meter. Dan boleh jadi juga keberadaan kanal-kanal air di wilayah dataran Atlantis ini menjadi jalan bagi gelombang tsunami untuk merambat jauh ke daratan. Perlu ada pemodelan tsunaminya untuk bisa lebih kuantitatif dan pasti. Gempa Megathrust di zona Subduksi Sumatra-Selat Sunda-Jawa juga dapat menyebabkan penurunan tanah atau “tectonic subsidence” di wilayah Selat Sunda ke timur. Jadi hipotesa ini kelihatannya cocok dengan deskripsi dalam Dialog Plato. Kalau benar ada gempa raksasa yang pernah terjadi di wilayah Selat Sunda, maka hal ini cukup menakutkan karena segmen megathrust di wilayah Selat Sunda statusnya “seismic gap” (tidak pernah mengeluarkan gempa besar) dalam perioda yang sangat panjang, alias dicurigai sudah mengumpulkan energi yang sangat besar sehingga siap memuntahkan energinya seperti pada masa purba untuk menghancurkan wilayah Kota Metropolis saat ini, yaitu Jakarta.
Walaupun demikian hipotesa bencana letusan gunung api tetap tidak bisa sama sekali diabaikan. Dengan asumsi bahwa keterangan dalam Dialog Plato tidak lengkap sehingga tidak menyinggung ada fenomena ini, atau barangkali saja ada dalam Dialog Plato yang terputus atau hilang. Selain itu gempa tektonik bisa juga memicu letusan gunung api. Gunung api serta bumbungan letusannya ke angkasa banyak diasosiasikan oleh orang dengan istilah “Pillars of Heracles”. Dari jejak kaldera yang terlihat sekarang bisa disimpulkan bahwa Krakatau Purba dulu lebih besar dari Krakatau yang meletus dahsyat tahun 1883. Bahkan, ada yang menduga diameternya sampai 50 km melewati Gunung Sibesi – Rajabasa, Pulau Sangiang – Anyer – Komplek Krakatau yang aktif sekarang. Letusan yang menghasilkan kaldera sebesar ini tentu benar benar katastropik, tidak hanya memusnahkan Atlantis tapi merupakan bencana global seperti halnya Letusan Toba sekitar 70.000 tahun lalu. Namun, sejarah geologi letusan Krakatau pada masa purbakala masih gelap, sehingga saat ini kita hanya bisa berandai-andai saja.
Selain gunung api, orang bisa juga berhipotesa bahwa gempa yang dimaksud dalam Dialog Plato bukan gempa tektonik ataupun vulkanik, tapi karena ada tumbukan meteor besar. Kalau ini yang terjadi, tsunami yang dibangkitkan bisa sangat besar, sampai ratusan meter. Tumbukan meteor juga menimbulkan dampak iklim global yang mematikan, seperti halnya yang pernah terjadi 60juta tahun lalu yang memusnahkan hampir semua mahluk hidup di dunia termasuk dinosaurus. Singkatnya, bencana yang pernah menghancurkan Atlantis di masa Pra-Sejarah adalah hal yang masih harus diteliti dan dicari fakta-faktanya.
Selanjutnya, kronologi kejadian tenggelamnya Atlantis pada 11.600 tahun lalu yang dikatakan dalam Dialog Plato sangat menarik karena pada masa itu pengetahuan geologi tentang adanya Zaman Es dan kenaikkan muka airlaut dari 20.000 tahun BP sampai 8000 tahun BP belum ada. Jadi bagaimana orang bisa ‘berkhayal dengan cerdik’ dengan menempatkan waktu musnahnya peradaban Atlantis pada perioda terjadinya kenaikkan muka airlaut global tersebut? Ada tiga kali pulsa perioda kenaikkan air laut yang relatif sangat cepat, yaitu yang disebut sebagai Melt Water Pulse (MWP) 1a, 1b, 1c pada sekitar 15.000-14.000 BP, 13.000-12.000 BP dan 11.000-8.000 BP. Timing 11.600 tahun lalu kira-kira ada diantara MWP 1b dan 1c. Data detail tentang sejarah geologi kenaikkan muka airlaut sejak 20.000 tahun lalu di Sundaland masih sangat minim sehingga resolusinya masih rendah. Denga kata lain seberapa cepat air laut bisa naik karena es meleleh, atau keberadaan naik air laut yang tiba-tiba pada MWP 1a,b,c masih harus diteliti lebih lanjut. Apalagi kalau misalnya ada kenaikan air laut tiba-tiba yang sangat besar tapi hanya “spike” alias banjir besar dalam perioda yang singkat (karena surut lagi), maka hal ini tidak akan terekam dalam sejarah geologi kecuali kita punya rekaman data alam yang resolusinya tinggi, misalnya harian, mingguan, bulanan, atau juga tahunan. Rekonstruksi yang ada sekarang adalah kenaikkan muka air laut yang resolusinya rendah, dan bukan berasal dari data di Laut Jawa.
Jadi apa kesalahan hipotesis Sundaland adalah Atlantis? Tidak ada cela bahwa Sundaland memenuhi semua kriteria yang diberikan Plato, meskipun tentu saja semua itu harus diteliti dan dicari fakta-fakta di lapangannya. Mungkin yang bisa dianggap kekurangan Sundaland sebagai Atlantis adalah karena ‘fakta’ bahwa sejarah Nusantara baru diketahui mulai sekitar Abad 4 Masehi. Zaman sebelum itu oleh para arkeolog dianggap masih primitif. Meskipun nyatanya banyak tinggalan megalitikum yang hebat-hebat dari zaman pra-sejarah di Indonesia yang masih misterius asal-usul dan umurnya, termasuk tinggalan megalitik yang sangat berlimpah di wilayah Pagar Alam, atau batu-batu Menhir besar yang menakjubkan di Lembah Bada, Sulawesi Tengah. Itu baru yang terlihat di permukaan, belum yang masih tertimbun dibawah tanah. Dengan kata lain belum ada data (yang cukup) tentang peradaban di zaman pra-sejarah tidak bisa diartikan menjadi tidak ada peradaban di zaman pra-sejarah. Hal sama juga menyangkut keberadaan peradaban Athena purba dalam Dialog Plato karena dari pengetahuan arkeologi yang diyakini “mainstream”, tidak ada peradaban di Yunani 11.600 tahun lalu, bahkan di Eropa atau di seluruh dunia. Jadi ini masalah dunia. Meneliti keberadaan peradaban tinggi pada zaman pra-sejarah Indonesia adalah satu tahap yang sangat penting.
Pendapat umum kalangan arkeologi di Indonesia meyakini bahwa populasi manusia dan peradaban Nusantara berasal dari daratan besar Cina yang dibawa oleh imigran via Taiwan ke selatan sekitar 6000-5000 tahun lalu. Namun, Teori “Out of Taiwan” yang dipelopori oleh Peter Bellwood ini sekarang sudah mulai banyak dianggap tidak cocok dengan berbagai hasil penelitian dan temuan baru sehingga mulai dikembangkan teori tandingannya yaitu “Out of Sundaland” yang sebaliknya mengatakan bahwa asal mula peradaban dari bangsa-bangsa didaratan Asia (dan juga dunia) adalah dari Asia Tenggara atau Sundaland. Salah satu yang terkenal mendukung “Out of Sundaland” ini adalah Stephen Oppenheimer dengan berbagai makalah ilmiah dan juga buku populernya “Eden in The East”. Awalnya Oppenheimer tergerak untuk meneliti ini karena dia melihat Asia Tenggara adalah wilayah yang mempunyai keragaman dan kekayaan budaya yang tiada duanya di dunia, sehingga kenapa selama ini para ahli memandangnya sebelah mata dan seperti percaya buta begitu saja dengan Out of Taiwannya Bellwood yang memposisikan budaya Asia tenggara hanya sebagai cabang sekunder dari peradaban daratan Asia.
Penelitian Oppenheimer yang keahlian dasarnya adalah seorang dokter dan ahli biomolekuler menunjukkan bahwa nenek moyang dari kebanyakan bangsa Indonesia yang hidup sekarang sudah tinggal di sini sejak 50.000 tahun lalu. Kemudian dari penelusuran arkeologi, anthropologi, linguistik, dan bahkan sampai berbagai tradisi dan mitos-mitos, Oppenheimer berkesimpulan bahwa Sundaland atau Asia Tenggara sekarang adalah pusat budaya Austronesia dan polinesia. Teknologi peternakan dan pertanian sudah ada di Sundaland jauh sebelum orang-orang dari Taiwan datang ke Nusantara, 6000-5000 tahun lalu. Bahkan teknologi pelayaran itu pertama dikembangkan di Bumi Nusantara antara 16.000 – 8.000 tahun lalu. Dia berpendapat bahwa kemampuan berlayar ini ‘terpaksa’dikembangkan untuk menghadapi tiga episoda banjir besar. Pendapat ini ditunjang oleh hasil pemetaaan DNA yang mengindikasikan ada penyebaran populasi di wilayah Sundaland ketika tiga kali episoda banjir tersebut. Ekspansi populasi dan peradaban dari Sundaland akibat iklim global dan kenaikkan muka airlaut ini juga sejalan dengantemuan-temuan penelitian lintas disiplin keilmuan dari Universitas Leeds, Belanda yang dipimpin oleh Martin Richards, professor pertama di bidang “archeo-genetics”. Jadi singkatnya, Oppenheimer dan sejumlah pendukung Teori “Out of Sundaland” memang tidak langsung mengkaitkan temuannya dengan isyu Atlantis atau LEMURIA dan untuk pembahasan ilmiah memang tidak perlu dikait-kaitkan; namun opsi Sundaland sebagai pusat peradaban yang lebih tua dari peradaban yang dibawa oleh “Out of Taiwan” ini akan membuka pintu lebih lebar untuk menguak tabir misteri Atlantis.
Pembuktian langsung bahwa ada peradaban (tinggi) di zaman pra-sejarah adalah apabila ditemukan monumen besar dan hebat dari zaman pra-sejarah, seperti dikatakan Plato bahwa sebagai bukti dari Atlantis maka disuruh mencari “sacred monument” yang biasanya didirikan di dekat mata-mata air di wilayah pegunungan (A-38). Siapa tahu Situs Megalitik Gunung Padang adalah salah satu kuncinya. Akhir kata, menarik untuk menyimak kata-kata mutiara dari Dr. J. Robert Oppenheimer, Direktur Project Manhattan – Bom Nuklir USA di bawah ini terasa mengena untuk mendorong pemikiran-pemikiran baru dalam sains dan penelitian, termasuk yang kontroversial atau bahkan yang terlihat tidak masuk akal sekalipun:
“There must be no barriers to freedom of inquiry. There is no place for dogma in science. The scientist is free, and must be free to ask any question, to doubt any assertion, to seek for any evidence, to correct any errors. Where science has been used in the past to erect a new dogmatism, that dogmatism has found itself incompatible with the progress of science; and in the end, the dogma has yielded, or science and freedom have perished together”. (J.R. Oppenheimer, 1949).
baca juga;KEBENARAN ATLANTIS DALAM DIALOG TIMAEUS DAN CRITIAS bag.1
No comments:
Write komentar