Dua Tahun Kepemimpinan Jokowi, Berat Namun Pondasi Semakin Kokoh

 

Oleh: M Fajar Marta
Kemunculan Joko Widodo dalam kancah perpolitikan nasional ibarat dongeng indah yang bisa membuat orang terharu bahkan menitikkan air mata.
Nama harumnya meroket cepat dari mulai menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Namun, sewajarnya dongeng, selalu ada masa kritis, tragis, menyedihkan dalam satu bagian episodenya. Tuhan memang mengatur demikian, sebab tak mungkin kebahagiaan dapat dirasa jika tak pernah merasakan pahitnya kepedihan.
Dalam konteks ekonomi, Jokowi masuk ke Istana pada saat yang tidak tepat. Mantan pengusaha mebel itu menduduki kursi kepresidenan justru saat perekonomian global mulai memasuki siklus menurun yang tidak bisa diprediksi kapan akan pulih kembali.
Pertumbuhan ekonomi global pada tahun penuh pertama Jokowi memerintah yakni 2015, hanya tumbuh 3,1 persen, turun dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 3,4 persen.
Jatuhnya perekonomian global utamanya disebabkan oleh perlambatan ekonomi Tiongkok, penurunan harga komoditas, dan ketidakpastian normalisasi kebijakan moneter AS.
Kondisi ini langsung berdampak pada perekonomian Indonesia. Maklum saja, perekonomian Indonesia masih sangat dipengaruhi lingkungan eksternal.
Ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak eksternal karena strukturnya masih sangat mengandalkan impor; berbasis komoditas; dan pasar keuangannya sangat dangkal.
Tahun 2015, perekonomian Indonesia pun terpuruk. Ekspor jatuh, kredit perbankan menurun, rupiah melemah, aliran dana asing tersendat, dan ujungnya pertumbuhan ekonomi melambat.
Harga-harga komoditas yang jadi andalan ekspor Indonesia turun signifikan. Harga batubara turun dari 75 dollar AS per ton pada 2014 menjadi 57 dollar AS per ton.
Harga minyak kelapa sawit turun dari sekitar Rp 7,5 juta per ton menjadi Rp 6,7 juta per ton. Begitu pula dengan komoditas primadona lainnya seperti karet, nikel, timah, alumunium, kopi, dan tembaga.
Alhasil, ekspor Indonesia sepanjang tahun 2015 hanya 150,3 miliar dollar AS, turun 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 176 miliar dollar AS.
Anggaran negara pun menjadi carut marut. Jika pada masa presiden-presiden sebelumnya, anggaran penerimaan dan belanja selalu dinaikkan dalam APBN-P, saat era Jokowi, anggaran penerimaan dan belanja justru diturunkan.
Pada APBN 2015, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.793,6 triliun dan belanja negara sebesar Rp 2.039,5 triliun.
Lantas dalam APBN-P 2015, pendapatan negara diturunkan menjadi Rp 1.761,6 triliun, sementara belanja negara dipangkas menjadi Rp 1.984,1 triliun.
Kendati sudah direvisi, realisasi penerimaan negara tetap jauh di bawah target, yakni hanya Rp 1.504,5 triliun atau 85,4 persen dari target APBN-P. Adapun realisasi belanja sebesar Rp 1.810 triliun atau 91,2 persen dari target.
Ujungnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2015 hanya 4,71 persen, melambat dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 5 persen.
 
Dua tahun
Hingga dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tepat jatuh pada tanggal 20 Oktober 2016, kondisi perekonomian global dan domestik belum juga membaik.
Ekonomi global bahkan berpotensi tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya disertai dengan penurunan volume perdagangan dunia yang cukup signifikan.
Pertumbuhan ekonomi AS pada 2016 diperkirakan lebih rendah dari perkiraan semula. Sementara itu, masih lemahnya aktivitas investasi dan konsumsi di Eropa, semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi Eropa.
Potensi pelemahan ekonomi juga dialami Tiongkok, sejalan dengan melambatnya investasi, pengeluaran pemerintah, dan masih lemahnya konsumsi.
Di pasar komoditas, harga minyak dunia masih rendah sekitar 45 dollar AS per barrel, masih jauh di bawah harga pada tahun 2014 yang di atas 100 dollar AS per barrel.
Perekonomian global yang masih lemah menyebabkan kinerja ekspor Indonesia terus terpuruk.
Nilai ekspor Indonesia dalam kurun Januari - September 2016 sebesar 104,36 miliar dollar AS, turun 9,41 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2015.
Kredit perbankan per Juli 2016 hanya tumbuh 7,74 persen secara tahunan, terendah dalam 6 tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun masih lambat dan cenderung berada di bawah proyeksi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2016 mencapai 5,18 persen secara year on year (yoy), sementara pada kuartal I 2016 sebesar 4,9 persen.
Kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan sejak 27 Juli 2016 memang meningkatkan kepercayaan pasar terhadap pengelolaan anggaran negara dan perekonomian nasional.
Kendati demikian, anggaran negara masih tertekan. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini memperkirakan penerimaan pajak tahun 2016 hanya akan mencapai Rp 1.320 triliun, atau terjadi shortfall  Rp 219 triliun dari target pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun.
Karena itu, Sri Mulyani akhirnya memangkas belanja negara 2016 sebesar Rp 137,61 triliun. Pemangkasan dilakukan terhadap anggaran pemerintah pusat sebesar Rp 64,71 triliun dan anggaran transfer daerah senilai Rp 72,9 triliun.
Dengan dinamika yang terjadi, pertumbuhan ekonomi tahun 2016 diperkirakan hanya akan mencapai 5,1 persen.
Bank Indonesia juga merevisi turun pertumbuhan ekonomi menjadi 4,9–5,3 persen. Ini merupakan revisi turun kedua yang dilakukan bank sentral. Sebelumnya, BI merevisi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 dari 5,2–5,6 persen menjadi 5–5,4 persen.
Memperkuat ekonomi domestik
Pemerintahan Jokowi tentu saja tak tinggal diam dengan kondisi yang terjadi. Segala upaya dilakukan untuk mengeliminir dampak pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian domestik.
Salah satu rangkaian kebijakan besar yang dilakukan pemerintahan Jokowi adalah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi hingga 13 jilid.
Paket-paket kebijakan tersebut intinya bertujuan untuk memperbaiki iklim bisnis di dalam negeri, mulai dari kemudahan izin berinvestasi hingga kepastian hukum dalam berusaha.
Dampak paket-paket kebijakan itu memang belum signifikan terlihat, namun telah menanamkan pondasi yang lebih kuat untuk pembangunan Indonesia ke depan.
Di tengah pesimisme yang terus menggelayut di langit nusantara, Presiden Jokowi menunjukkan dirinya sebagai pemimpin sejati.
Ia terus menggelorakan semangat optimisme, yang ditunjukkannya dengan terus bekerja sepanjang waktu.
Presiden Jokowi menunjukkan konsistensi dan persistensinya dalam mengawal pembangunan infrastruktur.
Dalam dua tahun pemerintahannya, Jokowi membuktikan ambisinya membangun infrastuktur bukan pencitraan belaka.
Pada masa Jokowi, anggaran infrastruktur memang dinaikkan “gila-gilaan”. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun.
Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata hanya Rp 150 triliun per tahun.
Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.
Sebelumnya, tidak pernah ada presiden Indonesia yang mengunjungi Miangas, pulau perbatasan terluar di utara Indonesia, yang lebih akrab dengan Filipina ketimbang Indonesia.
Namun, Presiden Jokowi pada Rabu (19/10/2016) datang ke pulau itu untuk meresmikan Bandara Miangas.
Dua hari sebelum ke Miangas, Presiden Jokowi mendatangi Provinsi Papua dan Papua Barat untuk meresmikan enam proyek listrik.
Tampak betul, Presiden Jokowi berkomitmen dengan Nawacita yang diusungnya yakni membangun Indonesia dari pinggiran dan memperkuat pemerataan pembangunan antar wilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia, dan kawasan perbatasan.
Sepanjang dua tahun pemerintahannya, Jokowi hampir tak pernah berhenti merancang dan meresmikan proyek-proyek infrastruktur mulai dari jalan tol hingga pembangkit listrik, mulai dari pelabuhan hingga bandara.
Kendati tak terlalu concern terhadap korupsi politik yang sifatnya oligarki, Jokowi menunjukkan perhatian serius terhadap korupsi dan penyelewengan yang dampaknya langsung merugikan masyarakat dan dunia usaha.
Buktinya, Jokowi mengecek langsung operasi tangkap tangan pelaku pungli di Kementerian Perhubungan pekan lalu.
Dalam acara "Satu Meja" yang ditayangkan Kompas TV, Senin (17/10/2016) Jokowi menegaskan satu rupiah pungli pun akan diurusnya jika itu menganggu masyarakat dan kelancaran dunia usaha.
Sebelumnya, Jokowi juga memberi perhatian serius terhadap pungli di Kementerian Perdagangan yang menyebabkan dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok menjadi lama dan tidak kompetitif.
Implementasi tol laut, meskipun masih banyak kendala, juga menunjukkan komitmen Jokowi untuk memperbaiki iklim berusaha, meningkatkan konektivitas, dan pemerataan pembangunan di seluruh pelosok negeri.
Tax amnesty
Atas segala komitmen, konsistensi, dan kerja kerasnya, Jokowi pun kembali menuai kepercayaan. Menjelang dua tahun kepemimpinannya, masyarakat dan pelaku usaha berbondong-bondong mensukseskan program tax amnesty yang dicanangkan pemerintahan Jokowi.
Pada periode pertama tax amnesty yang berakhir September 2016, jumlah harta yang dilaporkan mencapai Rp 3.195 triliun. Dana itu terdiri harta di dalam negeri sebesar Rp 2.177 triliun dan dana di luar negeri senilai Rp 1.019 triliun.
Dari total harta di luar negeri yang dilaporkan sebesar Rp 1.019 triliun, sebanyak Rp 131 triliun dibawa pulang atau direpatriasi ke Indonesia.
Dari seluruh harta yang dilaporkan tersebut, pemerintah memperoleh uang tebusan sebesar Rp 79,7 triliun.
Program tax amnesty masih berlangsung hingga 31 Maret 2017. Sebagian besar masyarakat pun mulai optimis target deklarasi Rp 4.000 triliun, repatriasi Rp 1.000 triliun, dan uang tebusan Rp 165 triliun dapat tercapai.
Sedikit mengagetkan, ternyata begitu besar animo masyarakat mengikuti program tax amnesty. Indonesia pun tercatat sebagai negara paling sukses di dunia yang menjalankan program tax amnesty.
Pondasi kokoh
Perekonomian global diprediksi belum akan pulih tahun 2017. Artinya tekanan eksternal masih akan menghimpit perekonomian Indonesia.
Namun, pondasi perekonomian domestik yang lebih kuat telah ditancapkan pemerintahan Jokowi dalam dua tahun ini.
Bangsa Indonesia memang tersiksa menghadapi sulitnya perekonomian dalam dua tahun terakhir, yang tampak jelas dari anjloknya daya beli masyarakat.
Akan tetapi, masyarakat dapat melihat jalan terang ke depan. Pembangunan infrastruktur, konektivitas, dan pemerataan ekonomi yang konsisten dilakukan pemerintahan Jokowi akan membuat perekonomian domestik bisa lebih diandalkan.
Dengan demikian, negeri ini tak lagi mudah terombang-ambing perekonomian global. Memang sudah sepatutnya bangsa yang besar ini menjadi tuan bagi dirinya sendiri.
Mari kerja, kerja, dan kerja seperti Jokowi.**
Sumber : kompas.com

No comments:
Write komentar