Portal Newsindo, Rais Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi berpendapat, seseorang boleh saja meyakini kebenaran akan agamanya sendiri, namun tidak selayaknya ia gemar menghakimi agama orang lain.
Menurutnya, penghakiman atau penilaian terhadap sebuah agama atau keyakinan hanya bisa dilakukan di akhirat, bukan di dunia. Karena itu dalam Al-Qur’an ada istilah “yaumiddîn” yang bagi Kiai Masdar lebih pas diterjemahkan dengan arti “hari agama”, bukan “hari pembalasan”.
“Karena pada waktu itulah agama-agama akan diadili oleh Allah,” tuturnya dalam Dialog Kebangsaan bertajuk “Pancasila sebagai Ideologi Pemersatu Bangsa” di gedung PBNU, Jakarta, Jumat (28/10) malam.
Kiai alumni Pesantren Krapyak ini mengatakan, hal tersebut juga selaras dengan kandungan makna kalimat basmalah yang dalam dunia pesantren di Jawa arrahman diberi arti kang moho welas asih ing donyo lan akherat (yang maha welas asih di dunia dan akhirat) dan arrahîm diartikan kang moho welas asih ing akherat beloko (yang maha welas asih di akhirat saja).
Terjemahan itu, kata Kiai Masdar, menunjukkan kecerdasan pesantren dalam memberi makna arrahman dan arrahim yang kerap diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai “yang maha pengasih lagi maha pemurah”. Terjemahan yang terakhir ini, menurutnya, membuat perbedaan makna antarkedua asmaul husna itu semakin kabur. Terjemahan ala pesantren membawa konsekuensi bahwa dalam kehidupan di dunia semua orang memiliki kesetaraan dalam menerima rahmat dari Allah, meski diakhirat kelak rahmat sejati orang mukminlah yang akan mendapatkannya.
“Pandangan pesantren tentang kehidupan beragama itu sudah sangat jelas. Keanekaragaman adalah sebuah keniscayaan. Tidak suka menghakimi orang lain,” ujarnya yang dalam kesempatan itu juga mengutip Surat al-Maidah ayat 48 bahwa Allah bisa saja menghendaki umat yang seragam, tapi hal itu tidak dilakukan sebagai ujian bagi manusia.
Indonesia, lanjut Kiai Masdar, memiliki keistimewaan dibanding negara-negara lainnya. Umat Islamnya paling banyak namun keanekaragamannya juga paling banyak. “Hampir seluruh agama besar di Indonesia hidup, belum lagi keyakinan-keyakinan lokal yang jumlahnya bisa ratusan,” katanya.
Dengan kemajemukan yang demikian itu, ia berpendapat bahwa penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menjaga diri dari sikap gemar menghakimi keyakinan dan keagamaan lain. Kemudian fokus pada kualitas dan kapasitas diri sendiri.
Malam itu hadir juga Rais Syuriyah PBNU KH Zakky Mubarak, Katib Syuriyah H Nurul Yakin Ishaq, dan hadirin dari berbagai komunitas dan organisasi. (Mahbib)
“Pandangan pesantren tentang kehidupan beragama itu sudah sangat jelas. Keanekaragaman adalah sebuah keniscayaan. Tidak suka menghakimi orang lain,” ujarnya yang dalam kesempatan itu juga mengutip Surat al-Maidah ayat 48 bahwa Allah bisa saja menghendaki umat yang seragam, tapi hal itu tidak dilakukan sebagai ujian bagi manusia.
Indonesia, lanjut Kiai Masdar, memiliki keistimewaan dibanding negara-negara lainnya. Umat Islamnya paling banyak namun keanekaragamannya juga paling banyak. “Hampir seluruh agama besar di Indonesia hidup, belum lagi keyakinan-keyakinan lokal yang jumlahnya bisa ratusan,” katanya.
Dengan kemajemukan yang demikian itu, ia berpendapat bahwa penting bagi umat Islam di Indonesia untuk menjaga diri dari sikap gemar menghakimi keyakinan dan keagamaan lain. Kemudian fokus pada kualitas dan kapasitas diri sendiri.
Malam itu hadir juga Rais Syuriyah PBNU KH Zakky Mubarak, Katib Syuriyah H Nurul Yakin Ishaq, dan hadirin dari berbagai komunitas dan organisasi. (Mahbib)
Sumber : nu.or.id
No comments:
Write komentar