ilustrasi |
Kaum kolonial memang telah lama hengkang dari segala penjuru nusantara. Negara kita tercinta bahkan baru saja berulang tahun yang ke-71, menghirup udara kemerdekaan dengan perayaan yang begitu meriah di mana-mana. Namun, benarkah kolonialisme benar-benar telah usai bersamaan dengan angkat kakinya kaum kolonial sekaligus dikumandangkannya pekik kemerdekaan?
Jawabannya tentu saja YA, jika kemerdekaan melulu kita baca sebagai lepasnya negeri ini dari terkaman kuasa-senjata , kaum kolonial; merdeka dari ancaman okupasi teritorial yang dilakukan sekawanan orang-orang asing. Tapi sebaliknya, kita akan menjawab “belum”, jika kemerdekaan kita maknai lebih dari sekedar berhasilnya negeri ini menjelma negara berdaulat secara politik. Sebab, setelah gagal meneruskan proyek kolonialisme lewat kuasa-senjata itu, praktik (neo-)kolonialisme sebenarnya kembali dijejalkan ke setiap jengkal ruang kehidupan kita dalam wajah barunya yang beraneka.
Tapi di titik inilah justru persoalan sekaligus “keanehan” negara-bangsa berpenduduk multi-etnik, budaya dan agama ini. Keanehan dan ambiguitas yang sebenarnya memang ditunjukkan oleh hampir semua negara bekas-jajahan saat memasuki era pascakolonial. Sebab, kendati Indonesia telah lama memasuki era kemerdekaan, zaman pascakolonial, tak sulit bagi kita menemukan gejala kontradiktif: mengutuk kolonialisme sebagai kejahatan yang merampas nilai-nilai kemanusiaan sembari secara sadar terus mewarisi produk hukum yang diwariskan kaum kolonial itu.
Memungut salah satu contohnya, agama (bisa dibaca: politik keagamaan)—sebagai salah satu domain yang juga tak bisa mengelak dari taring kolonialisme—hingga hari ini masih saja berjalan dalam bayang-bayang hukum warisan kolonial itu. Polemik dan kehebohan yang belum lama ini kita dengar seputar ajaran agama yang (dianggap) “sesat” dan yang “benar”—gejala politik keagamaan yang sebenarnya serupa belaka dengan “merampas” otoritas Tuhan—adalah contoh paling telanjang masih dipraktikkannya hukum warisan kolonial yang bisa kita rujuk. Pun kepanikan “rezim kebenaran” saat sekelompok cendekiawan Muslim menerbitkan buku Fikih Lintas Agama (2003) dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (2004).
Akibatnya, seperti dengan gampang dapat diterka, ekspresi keagamaan pun akhirnya tidak bisa lagi dilakukan sebagai wujud komitmen soliter seorang hamba dengan sang Khalik yang lepas dari campur-tangan wewenang selain-Nya. Tapi sebaliknya, karena “rezim kebenaran” telah memeriksa, menyeleksi, dan kemudian memilihkan agama yang (dianggap) benar, yang resmi, yang diakui; agama yang dipraktikkan pun harus selalu bersisian rahim dengan “kebenaran resmi” yang telah ditentukan itu.
***
Itulah salah satu sengkarut tema yang bisa ditangkap dan menyatukan pelbagai tema besar dari Islam Pascakolonial ini. sejarah kaum subaltern yang hingga kini masih dibungkam geliat dinamikanya dan diingkari suara serta kepentingannya. Dengan meminjam serakan teori dari tradisi studi-studi poskolonial, buku ini pun menggeledah secara detail momen-momen pertemuan umat Islam Indonesia dengan rezim kolonial serta racikan hukum yang dilahirkannya dalam kebijakan pemerintah kolonial tersebut.
Dengan kata lain,seperti tampak dalam sub-judulnya: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme, dan Liberalisme---berupaya memaparkan dengan tajam sejarah panjang dan pelik hubungan yang saling mengandaikan antara praktik keagamaan, kolonialisme dan ideologi liberalisme, dengan merujuk secara khusus ke akar-akar terbentuknya hukum dan pengawasan agama-agama sejak masa kolonial Belanda hingga era pascakolonial. Sehingga kian benderanglah bahwa Islam yang diperkenalkan dalam kebijakan kolonialisme itu adalah Islam yang telah diatur, diadministrasi, dan dikontrol sesuai selera kolonial.
http://www.nu.or.id/
No comments:
Write komentar