Selain Rumadi, diskusi menghadirkan Andi Syafrani (alumnus UIN Syarif Hidayatullah dan Victoria University, Australia), dan Bonar Tigor Naipospos (Setara Institute). Panitia tidak mengundang perwakilan dari MUI.
Menurut Rumadi, peran politik yang dimainkan MUI seharusnya terbatas seperti dalam fiqh siyasah (fiqih politik), yaitu segala sesuatu yang mendekatkan manusia pada kebaikan dan menjauhkan dari kerusakan. "Itu saja," kata Rumadi.
Dengan demikian, Rumadi mengatakan, fungsi MUI adalah memastikan bagaimana masyarakat bisa baik, tidak terpecah-belah, dan menjauhkan manusia dari kerusakan. "Jangan politik yang terkait dengan soal perebutan kekuasaan. Dan yang saat ini aroma perebutan kekuasaannya cukup kuat," kata dia mencontohkan sikap MUI dalam Pilkada DKI.
Senada dengan Rumadi, Bonar Tigor mengatakan MUI harus membawa politik yang bisa menjembatani perbedaan, menjaga perdamaian, mengokohkan kerukunan antar umat beragama, dan meningkatkan kebangsaan. Namun dalam kasus Pilkada DKI, Bonar melihat MUI ikut terseret dalam politik kekuasaan.
Dia mencontohkan, saat Ahok minta maaf atas ucapannya soal Al-Maidah ayat 51, Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menyatakan menerima permintaan maaf. Namun beberapa jam kemudian, secara kelembagaan, MUI mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan Ahok telah menista agama. "Itu diduga kuat merupakan hasil pertemuan dengan Agus Harimurti yang datang ke kantor Ma'ruf Amin," kata Bonar.
Alih-alih terlibat dalam politik praktis, Bonar menyarankan MUI lebih baik mengambil sikap bagaimana implementasi surat Al-Maidah ayat 51 dalam negara Pancasila. Sikap MUI itu akan jadi pegangan umat Islam dalam berpolitik. "Itu lebih elegan, lebih baik," kata Bonar.
Sementara Andi Syafrani lebih banyak membahas posisi MUI yang dianggap sebagai lembaga yang unik. MUI adalah lembaga swasta yang diberi kewenangan negara melalui undang-undang. Contohnya adalah kewenangan MUI dalam sertifikasi halal. "Ini posisi yang unik. MUI sebagai LSM, tapi satu-satunya LSM yang masuk dalam sistem hukum Indonesia," kata Andi.
AMIRULLAH
nasional.tempo.co
No comments:
Write komentar