Masih segar di ingatan kita, tepat sebulan yang lalu, ketika Densus 88 Antiteror Polri, menembak mati 6 teroris yang berada di Tuban Jawa Timur. Berkaca pada peristiwa tersebut, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, dianggap oleh Komnas HAM, melakukan praktik judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan).
Menurut salah satu anggota Komnas HAM, Maneger. Menurut Maneger, peristiwa pembunuhan polisi terhadap terduga teroris beberapa waktu lalu sebelumnya, belum mampu mengubah pola pikir Polri di dalam penanggulangan terorisme.
Diberitakan di dalam keterangan polisi secara tertulis maupun konferensi pers, kontak senjata mau tidak mau harus dilakukan karena terduga juga membawa senjata tajam dan ingin melarikan diri.
“Komnas HAM sudah mengingatkan agar tidak ada lagi ‘Siyono-Siyono’ berikutnya. Tapi, nyatanya muncul lagi. Mau sampai kapan? Berapa nyawa lagi?” ujar Maneger.
Maneger Nasution, Komisioner Komnas HAM
Namun Komnas HAM tetap rasanya bersikukuh bahwa orang-orang semacam ini masi “diduga”. Seolah-olah belum terjadi, mereka menganggap Polisi terburu-buru menangkap teroris. Logika yang paling cupu yang pernah saya ketahui di dalam tubuh komnas HAM.
Jadi apakah kejadian yang melanggar HAM orang banyak harus terjadi dahulu, baru polisi boleh memburu mereka? Jika memang Komnas HAM memikirkan hal konyol semacam ini, tentu membuat situasi justru menjadi situasu.
Padahal Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Frans Barung Mangera mengatakan bahwa keberhasilan melumpuhkan para terduga teroris itu menjadi hal penting bagi pihaknya untuk kemudian bisa melacak dan lumpuhkan kelompok teroris lainnya. Selain menembak mati alias membuat para manusia berotak radikal tersebut mampus, petugas gabungan juga menangkap satu orang lainnya.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto menganggap ada kemiripan bom meledak di Kampung Melayu, dengan bom panci di Cicendo, Bandung akhir Februari 2017 juga. Kedua kejadian ini sama-sama menggunakan alat dan bahan ledak yang sama, yaitu bom panci (pressure cooker bomb). Ia mengatakan bahwa bom yang meledak di Kampung Melayu memiliki daya ledak yang lebih tinggi karena berisi gotri, dan tentu akan menghasilkan efek explosion yang jauh lebih besar.
Selain itu, kemungkinan motif kedua peristiwa itu sama, yakni mengincar polisi. Pada teror bom di Bandung, para pelaku mengincar sejumlah tempat yang dihuni polisi, seperti Polda Jawa Barat, Polres Cianjur, pos lalu lintas di Buah Batu, dan pos polisi di Gegerkalong.
Bayangkan saja, bom tersebut bisa memisahkan dada dari perut para pelaku. Keterpisahan dada dari perut, merupakan suatu hal yang sulit dibayangkan, mungkin seperti membayangkan sejauh sorga dari neraka, itulah keterpisahan antara setan bertubuh manusia, dan Tuhan.
Aksi protes dari Komnas HAM saat itu dianggap sebagai reaksi cepat dari Komnas HAM, merasa bahwa hak hidup para teroris perlu diperjuangkan. Inikah yang dinamakan hak asasi manusia, ketika hak-hak hidup orang banyak jadi korbannya?
Semakin lama, rasanya justru kepercayaan publik kepada Komnas HAM semakin hilang. Banyak sekali blunder-blunder yang dilakukan di dalam tubuh Komnas HAM, yang justru cenderung membela hak orang yang jelas-jelas salah. Menuding cara polisi di dalam menggerebek gay di KG, membela terduga teroris, apa jangan-jangan nanti membela Rizieq dengan penistaan terhadap Pancasila?
Peristiwa bom panci yang berhasil diledakkan di Kampung Melayu juga menjadi tamparan keras untuk Komnas HAM. Bersuaralah kalian, panci sudah berbunyi, Komnas HAM harus bertindak membela hak-hak para keluarga yang ditinggal mati oleh anak mereka.
Komnas HAM harus memperjuangkan hak para orang tua dan keluarga untuk mendapatkan kasih sayang dari anak mereka yang digadang-gadang menjadi tulang punggung keluarga kelak. Terlihat sangat politis, apa yang dikerjakan oleh Komnas HAM. Membela ulama yang merasa di kriminalisasi, namun mereka sepertinya tidak membuka kemungkinan bahwa ada kriminal-kriminal yang di ulama-kan.
Di manakah Komnas HAM yang pada saat itu sempat teriak-teriak kepada polisi karena membunuh enam terduga teroris, ketika sekarang diperhadapkan dengan dua teroris yang nyata-nyata menghabisi lima belas nyawa, baik dari warga sipil dan kepolisian? Di manakah Komnas HAM yang pada saat Ahok dizalimi karena kecacatan pasal penodaan agama di tubuh hukum Indonesia? Keberadaan Komnas HAM saat ini menjadi duri dalam daging di dalam pemberantasan terorisme dan radikalisme. Bajingan yang bersembunyi di balik tubuh Komnas HAM membuat situasi menjadi situasu, hanya karena membela hak asasi segelintir teroris, dan mengorbankan hak manusia lainnya.swd
No comments:
Write komentar