(Gus Dur)
Semenjak Ahok naik sebagai Gubernur, menggantikan posisi Jokowi yang naik sebagai kepala negara, umat dibuat gaduh oleh oknum-oknum tokoh atau pemuka agama. Mereka mencoba menggiring umat untuk menolak gubernur ini lebih kepada identitas agama Ahok ketimbang kinerjanya yang luar biasa.
Oleh karenanya, kasus yang menimpa Ahok bukanlah semata kasus penistaan agama. Sebelum ada kasus ini, oknum-oknum tokoh agama, kelompok-kelompok intoleran memang sudah tidak suka Ahok dari awal karena preferensi agamanya. Perkataan Ahok yang dianggap “keseleo lidah” di kepulauan Seribu hanyalah pintu pembuka untuk lebih menolak Ahok secara lebih massif.
Jadilah umat diboyong untuk menolak Ahok. Lewat aksi-aksi turun ke jalan yang berjilid-jilid, umat sesungguhnya telah dimanfaatkan sejumlah oknum-oknum tokoh agama yang mengatasnamakan agama. Jadilah peristiwa atau aksi-aksi ini yang melibatkan –katanya- tujuh juta umat disebut sebagai “kebangkitan umat Islam Indonesia?”
Umat digiring untuk menghadiri masjid-masjid. Memenuhi subuh-subuh, dengan dalih subuh berjamaah, namun, pesan, khutbah dan petuah yang disampaikan tak lebih dari pesan-pesan politik dari para sponsornya. Inikah yang dinamakan “Kebangkitan umat Islam ?”
Umat dibuat lupa, atau sengaja terbuai dengan Kasus Ahok, sementara lupa pada prioritas sesungguhnya. Mereka dilupakan pada kondisi kemiskinan, kebodohan, korupsi yang masih membelit negeri ini. Sayangnya, untuk masalah-masalah yang semestinya mendapatkan ekstra prioritas ini, oknum-oknum tokoh/pemuka agama cenderung diam dan tidak bergerak. Penulis tidak pernah mendengar ada aksi-aksi dalam skala massif yang mengutuk praktek korupsi. Tidak pernah terdengar pelaku korupsi dituduh sebagai penista agama sesungguhnya. Padahal jelas-jelas ketika mereka menaiki sebuah jabatan, sebuah sumpah harus diucapkan di bawah saksi kitab suci.
Lihat saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) giat menyergap oknum-oknum pejabat, anggota dewan, walikota, gubernur, bahkan mantan menteri yang tertangkap tangan sedang melakukan praktek korupsi, suap dan lainnya. Mirisnya, kebanyakan dari oknum-oknum pelaku tersebut muslim. Namun, adakah umat digiring untuk melakukan demo atau aksi mengutuk tindakan atau praktek korupsi mereka ? Adakah mimbar, khutbah, tabligh akbar yang membahasnya ? Padahal persoalan ini lebih penting, lebih prioritas karena mereka nyata-nyata merusak citra Islam. Merekalah penista agama sesungguhnya.
Umat digiring ke dalam ranah politik kepentingan yang mementingan pihak sponsor. Padahal dalam sejarahnya, agama (baca : Islam) justru sering dirusak oleh politik. “Tidak ada yang mencederai agama sehebat politik” ujar Khaled Abou El-Fadl. Politik adalah salah salah satu dari sekian banyak “kepentingan” yang menodai wajah Islam. Islam yang semula lahir demi membebaskan umat manusia dari cengkeraman kebodohan, kejahilan dan penindasan lambat laun menderita gejala yang sama dengan kondisi yang justru ingin dihilangkannya.
Jadi, ketimbang mengurusi Ahok yang sedang bekerja sepenuh hati demi kemaslahatan umat, kita fokus saja pada masalah umat yang lebih prioritas, masalah bangsa yang lebih penting dan genting untuk dicarikan solusinya. Jangan gunakan istilah “kebangkitan Islam” untuk sesuatu hal yang tidak pada tempatnya. Kebangkitan umat tidak dicirikan dengan aksi-aksi ribuan bahkan jutaan lautan manusia ke tengah-tengah jalan. Apa artinya kuantitas, jika kualitas kita sebagai manusia, sebagai umat masih bisa diombang-ambingkan kepentingan sesat dan sesaat.
Oleh karenanya, kasus yang menimpa Ahok bukanlah semata kasus penistaan agama. Sebelum ada kasus ini, oknum-oknum tokoh agama, kelompok-kelompok intoleran memang sudah tidak suka Ahok dari awal karena preferensi agamanya. Perkataan Ahok yang dianggap “keseleo lidah” di kepulauan Seribu hanyalah pintu pembuka untuk lebih menolak Ahok secara lebih massif.
Jadilah umat diboyong untuk menolak Ahok. Lewat aksi-aksi turun ke jalan yang berjilid-jilid, umat sesungguhnya telah dimanfaatkan sejumlah oknum-oknum tokoh agama yang mengatasnamakan agama. Jadilah peristiwa atau aksi-aksi ini yang melibatkan –katanya- tujuh juta umat disebut sebagai “kebangkitan umat Islam Indonesia?”
Umat digiring untuk menghadiri masjid-masjid. Memenuhi subuh-subuh, dengan dalih subuh berjamaah, namun, pesan, khutbah dan petuah yang disampaikan tak lebih dari pesan-pesan politik dari para sponsornya. Inikah yang dinamakan “Kebangkitan umat Islam ?”
Umat dibuat lupa, atau sengaja terbuai dengan Kasus Ahok, sementara lupa pada prioritas sesungguhnya. Mereka dilupakan pada kondisi kemiskinan, kebodohan, korupsi yang masih membelit negeri ini. Sayangnya, untuk masalah-masalah yang semestinya mendapatkan ekstra prioritas ini, oknum-oknum tokoh/pemuka agama cenderung diam dan tidak bergerak. Penulis tidak pernah mendengar ada aksi-aksi dalam skala massif yang mengutuk praktek korupsi. Tidak pernah terdengar pelaku korupsi dituduh sebagai penista agama sesungguhnya. Padahal jelas-jelas ketika mereka menaiki sebuah jabatan, sebuah sumpah harus diucapkan di bawah saksi kitab suci.
Lihat saja, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) giat menyergap oknum-oknum pejabat, anggota dewan, walikota, gubernur, bahkan mantan menteri yang tertangkap tangan sedang melakukan praktek korupsi, suap dan lainnya. Mirisnya, kebanyakan dari oknum-oknum pelaku tersebut muslim. Namun, adakah umat digiring untuk melakukan demo atau aksi mengutuk tindakan atau praktek korupsi mereka ? Adakah mimbar, khutbah, tabligh akbar yang membahasnya ? Padahal persoalan ini lebih penting, lebih prioritas karena mereka nyata-nyata merusak citra Islam. Merekalah penista agama sesungguhnya.
Umat digiring ke dalam ranah politik kepentingan yang mementingan pihak sponsor. Padahal dalam sejarahnya, agama (baca : Islam) justru sering dirusak oleh politik. “Tidak ada yang mencederai agama sehebat politik” ujar Khaled Abou El-Fadl. Politik adalah salah salah satu dari sekian banyak “kepentingan” yang menodai wajah Islam. Islam yang semula lahir demi membebaskan umat manusia dari cengkeraman kebodohan, kejahilan dan penindasan lambat laun menderita gejala yang sama dengan kondisi yang justru ingin dihilangkannya.
Jadi, ketimbang mengurusi Ahok yang sedang bekerja sepenuh hati demi kemaslahatan umat, kita fokus saja pada masalah umat yang lebih prioritas, masalah bangsa yang lebih penting dan genting untuk dicarikan solusinya. Jangan gunakan istilah “kebangkitan Islam” untuk sesuatu hal yang tidak pada tempatnya. Kebangkitan umat tidak dicirikan dengan aksi-aksi ribuan bahkan jutaan lautan manusia ke tengah-tengah jalan. Apa artinya kuantitas, jika kualitas kita sebagai manusia, sebagai umat masih bisa diombang-ambingkan kepentingan sesat dan sesaat.
No comments:
Write komentar