JAKARTA: Sebagaimana diketahui, Arab Saudi kini sedang menggandeng negara-negara yang berlatarbelakang Islam untuk membentuk Koalisi Militer guna memerangi terorisme.
Dan hingga kini, Koalisi Militer Islam yang berbasis di Riyadh tersebut telah beranggotakan 34 negara, baik dari kawasan Teluk, Afrika maupun bagian Asia lainnya. Dan sejumlah negara anggota koalisi militer ini sangat menyayangkan keputusan Indonesia yang menolak bergabung.
“Negara-negara yang disebutkanya telah memutuskan untuk membentuk aliansi militer yang dipimpin oleh Saudi guna memerangi terorisme. Markas operasi gabungan ini akan berbasis di Riyadh untuk mengkoordinasi serangan,” ujar kantor berita Saudi SPA dalam pernyataannya.
Yordania dan Tunisia yang secara terang-terangan meyayangkan Indonesia yang menyatakan menolak bergabung dalam koalisi militer tersebut.
“Ini adalah sesuatu yang harus disadari oleh komunitas internasional, sehingga terorisme harus dilawan bersama, ditindak secara kolektif,” ujar Duta Besar Yordania untuk Indonesia, Walid Abdel Rahman Al Hadid, dalam forum diskusi kebijakan luar negeri, Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta, Rabu (16/12).
Sementara itu Duta Besar Tunisia untuk Indonesia, Mourad Belhassen, juga menyuarakan hal yang sama. Menurutnya, koalisi militer pimpinan Arab Saudi ini bukan merupakan bagian dari proxy war.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menegaskan bahwa Indonesia menganut paham bebas aktif dalam hubungan internasional. Mengikuti koalisi militer juga dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang.
Berikut negara anggota Koalisi Militer tersebut:
- Arab Saudi 18. Mesir
- Bahrain 19. Niger
- Bangladesh 20. Nigeria
- Benin 21. Pakistan
- Chad 22. Palestina
- Cote d’Ivoire 23. Qatar
- Djibouti 24. Republik Federal Islam Comoro
- Gabon 25. Senegal
- Guinea 26. Sierra Leone
- Kuwait 27. Somalia
- Lebanon 28. Sudan
- Libya 29. Togo
- Maladewa 30. Tunisia
- Malaysia 31. Turki
- Mali 32. Uni Emirat Arab
- Maroko 33. Yaman
- Mauritania 34. Yordania
Dibilang mendadak kerena, ternyata, ada beberapa negara yang menyatakan terkejut dengan pembentukan alliansi yang diumumkan pada 15 Desember 2015 lalu.
Selain pembentukannya yang mendadak, aliansi ini pun patut dicurigai mengingat sejumlah negara, seperti Iran, Irak, dan Suriah, tidak masuk aliansi. Padahal, sangat tidak mungkin memerangi ISIS tanpa bekerja sama dengan Suriah dan Irak di mana di kedua negara tersebut ISIS beroperasi. Demikian juga dengan Iran yang memiliki kedekatan dengan Suriah, juga Rusia. Tetapi, ada sesuatu yang lebih mencurigakan untuk diperhatikan terkait dengan pembentukan aliansi “Arab” yang mendadak serta aneh ini, terutama karena aliansi ini mengedepankan kekuatan militernya. Perkembangan terakhir, Sabtu kemarin, 19 Desember 2015, kapal perang Moskva telah tiba di lepas pantai Suriah. Kapal perang terbesar yang dimiliki Rusia ini dikirim sebagai jawaban Kremlin atas insiden ditembakjatuhnya SU 24 milik Rusia oleh F 16 milik Turki pada 24 November 2015. Kedatangan Moskva ini telah menambah kekuatan laut Rusia di perairan Suriah. Sebelumnya, Rusia sudah menempatkan 11 kapal di Laut Mediterania. Merapatnya Moskva di perairan Suriah ini menyusul disiagakannya S-400 oleh Rusia..Penyebaran sistem rudal pertahanan di Pangkalan Udara Hmeimim, Suriah, ini tujuan utamanya untuk melindungi pesawat Rusia agar tak ditembak jatuh lagi.
Sebelumnya, pada awal Oktober 2015 Rusia telah menerjunkan pasukannya, termasuk pasukan elit Spetsnaz, untuk memerangi ISIS. Diterjunkannya militer Rusia tentu saja bukan hanya untuk memerangi ISIS dan kelompok teroris lainnya yang beroperasi di Suriah melainkan juga mendukung Suriah dalam menghadapi pasukan pemberontak Suriah (FSA: Free Syrian Army). Penempatan pasukan Rusia di Suriah tentu saja menjadi penghalang Amerika dan sekutunya yang sejak lama bernafsu menggulingkan Assad. Sebagaimana yang telah diungkapkan, pasokan persenjataan FSA didapat dari Amerika. Sebagian dari pasokan persentaan tersebut diteruskan lagi oleh FSA kepada ISIS dan beberapa kelompok teroris lainnya, seperti Al Qaeda dan Nusra. Terungkapnya skandal ini menjadi jawaban atas mentahnya serangan Amerika dan sekutunya terhadap basis-basis ISIS. Berbeda dengan Amerika dan sekutunya yang selama berbulan-bulan gagal menghancurkan ISIS, hanya dalam beberapa hari Rusia berhasil memporak-porandakan basis-basis ISIS.
Jadi jelas, di Suriah tengah berhadap-hadapan antara Rusia dan Suriah melawan ISIS dan FSA yang keduanya didukung oleh Amerika berserta sekutunya, termasuk Arab Saudi dan Turki. Insiden SU-24 Vs F-16 menjadi titik penting dalam konflik Suriah. Insiden tersebut menciptakan front baru antara Rusia melawan Turki. Dalam konfrontasinya dengan Turki, Rusia memanfaatkan strategi komunikasi dengan secara frontal membeberkan keterkaitan Turki dengan ISIS. Tentu saja strategi ini menekan pemerintahan Erdogan, apalagi setelah partai oposisi Turki turut membenarkan informasi Rusia tersebut. Rusia memang tidak berniat menyerang Turki, tetapi meningkatnya kekuatan militer Rusia di Suriah berpotensi menimbulkan benturan antara keduanya. Sebenarnya, bukan hanya dengan Turki, tetapi juga dengan negara NATO lainnya. Turki yang merupakan anggota NATO tidak mendapat dukungan dari negara anggota lainnya.
Tetapi, sikap NATO ini benar, sebab jika NATO ikut campur dalam konflik dengan Rusia, bisa dipastikan perang nuklir bakal meletus. Insiden SU-24 Vs F-16 memang telah menggeser peta kekuatan di Suriah. Pasukan Amerika dan sekutunya kini tidak lagi leluasa melancarkan operasi-operasi militernya di Suriah. Sebaliknya, Rusia bukan saja telah berhasil mengambil alih “komando” atas perang melawan ISIS, tetapi sekaligus menguatkan kembali kekuasaan Assad. Perubahan situasi ini membuat kenyamanan Amerika di kawasan Suriah terganggu. Amerika yang mulai mengurangi agresinya di Suriah sejak kedatangan Rusia, dipastikan akan mundur secara teratur.
Dari pergeseran situasi Suriah yang berlangsung cepat inilah tercetus gagasan pembentukan aliansi “Arab”. Itu sebabnya aliansi aneh ini dibentuk secara mendadak. Sama dengan Amerika dan sekutunya, tujuan aliansi “Arab: ini pun sama: memerangi ISIS di Suriah dan Irak. Maka, bisa dikatakan aliansi ini dibentuk sebagai strategi untuk menguasai kembali Suriah, termasuk menggulingkan Assad. Dan, jika terjadi benturan dengan Rusia ketika operasi berlangsung, maka negara anggota aliansilah yang akan berhadapan dengan Rusia, bukan Amerika, bukan pula NATO. Pemerintah Indonesia pasti tidak menginginkan negaranya dimanfaatkan sebagai boneka dalam konflik Suriah. Dengan demikian, penolakan Indonesia atas ajakan bergabung dalam aliansi aneh bentukan Arab Saudi sudah sangat tepat.
sumber:
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gatotswandito/tidak-mau-diadu-domba-indonesia-menolak-gabung-aliansi-aneh-arab_5677ae62be22bd1505c50119
sumber:
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/gatotswandito/tidak-mau-diadu-domba-indonesia-menolak-gabung-aliansi-aneh-arab_5677ae62be22bd1505c50119
http://dm1.co.id/indonesia-tolak-gabung-koalisi-militer-islam/
No comments:
Write komentar