Portal Newsindo,Jakarta - Pengungkapan rencana bom bunuh diri dengan sasaran Istana Presiden oleh Dian Yulia Novi (27) pada Sabtu (10/12) lalu membuka babak baru dalam sejarah teror di Indonesia. Untuk kali pertama jaringan teror di Tanah Air menggunakan perempuan sebagai pelaku pembawa bom, atau biasa disebut 'pengantin', untuk meledakan dirinya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan rencana bom bunuh diri oleh Dian adalah modus baru di Indonesia. Tapi, dalam dunia terorisme, menurut, Tito kaum hawa sudah beberapa kali dijadikan pembawa bom untuk menjemput maut, meledakan dirinya dan menyasar orang yang ada di sekitarnya.
“Kita ingat bomnya Rajiv Gandhi, bom bunuh diri, dikalungkan dengan bunga ternyata bunga itu adalah kabel yang merupakan bahan peledak. Yang mengalungkan adalah wanita," kata Tito di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (16/12) lalu.
Rajiv adalah mantan Perdana Menteri India yang tewas pada 21 Mei 1991 di Tamil Nadu, India. Pelakunya adalah Thenmozhi Rajaratnam. Dia diyakini berafiliasi dengan organisasi Pembebasan Macan Tamil Eelam (LTTE) yang akan mendirikan negara merdeka di timur laut Sri Lanka.
Tak hanya di India, menurut Tito, kemudian di Suriah, Irak, Afghanistan, Yordania, juga sangat biasa perempuan jadi pelaku bom bunuh diri. Salah satu alasannya karena wanita dianggap lebih tidak mencurigakan.
Hal yang sama dikatakan Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Arief Dharmawan. Menurut Arief, menggunakan perempuan dan anak-anak, meninggalkan metode klasik teror bunuh diri oleh lelaki dewasa, tengah menggejala di dunia teror khususnya mereka yang terpengaruh oleh kelompok Islamic State (IS).
”Gejala ini sudah biasa di Suriah dan Irak yang dikuasai IS bahkan anak-anak usia 9-10 tahun sudah disiapkan untuk itu. Mereka dipasangi bom lalu bunuh diri. Di Indonesia sudah mulai,” kata Arief, Minggu (18/12) malam.
”Gejala ini sudah biasa di Suriah dan Irak yang dikuasai IS bahkan anak-anak usia 9-10 tahun sudah disiapkan untuk itu. Mereka dipasangi bom lalu bunuh diri. Di Indonesia sudah mulai,” kata Arief, Minggu (18/12) malam.
Pola perubahan ini sejalan dengan perintah juru bicara Daulah Islam/IS yang menyatakan jika mereka yang sudah berbaiat dengan IS tidak lagi perlu hijrah ke tanah Syam di Suriah tetapi cukup melakukan perlawanan di tanah air masing-masing dengan sekuat tenaga dan kemampuan yang ada. ”Di Indonesia, kita cermati, selain Dian terdapat anak-anak mulai usia 13 tahun yang sudah terpapar ide radikal ini dan lalu beraksi pada usia 15-16 tahun,” katanya.
Arief menunjuk pelaku teror di Gereja Santo Yoseph Medan yang baru 18 tahun. Begitu pula dengan aksi pengeboman Gereja Oikumene, Samarinda, dengan pelaku Juanda namun dibantu pula oleh GA (16) dan RT (17).
Dalam beberapa saat ke depan BNPT memprediksi akan ada gejala perempuan dan anak-anak yang digunakan menjadi pelaku bom bunuh diri. Perempuan dan anak-anak, tidak lagi sekadar jadi menjadi pelengkap dan pendamping.
”Ini beda dengan saat teroris masih di (tahun 2000-an) era kelompok Jamaah Islamiah (JI). Kelompok JI itu punya struktur yang jelas. Sebelum melaksanakan amaliah (menyerang sasaran) mereka ada pelatihan, ada pendanaan, ada perencanaan, dan sasaran yang jelas. Matang. Efek bomnya juga besar. Kalau teror saat ini sifatnya acak sekali. Istilahnya seperti mau maling motor, kalau ada motor di depan mata ya gak perlu mikir, langsung diembat,” lanjutnya.
Proses rekrutmen pada anggota teroris saat ini juga tidak serumit di masa lalu. Pada masa lalu rektrutmen melalui proses baiat yang panjang yang biasanya awalnya dimulai dari jalur biologi, jalur ideologi, dan juga jalur pernikahan.
Rekrutmen teroris masa kini lebih sederhana. ” Mereka percaya kalau lelaki jihad dengan bom bunuh diri maka akan mendapat ganjaran didampingi 72 bidadari di surga. Ini juga belum jelas apakah kalau perempuan bunuh diri, lalu apa akan diganjar hal yang sama atau tidak. Dalam kasus Dian, dia menurut saja sama suaminya (Nur Solihin, Red). Dia hanya orang yang semangat beragama. Enak banget nikahnya online, tanpa wali,” bebernya.
Munculnya pelaku teror model Dian dan pelaku lain belakangan ini juga karena beberapa faktor. Misalnya di Samarinda karena pelaku dijauhi masyarakat sehingga stres dan begitu pula dalam kasus Dian yang disebutnya ayahnya dalam keadaan sakit. Dian juga disebut tidak punya uang, sehingga amat mudah dipengaruhi. “Juga faktor kemiskinan dan kurang pendidikan. Ini harus diatasi karena menjadi mudah untuk diindoktrinisasi,” katanya.
Berkaitan dengan jaringan teror yang saat ini eksis di Indonesia, mantan Kapolres Klaten, Jawa Tengah ini menambahkan, saat ini bukan berarti jaringan lama sudah habis tuntas. Beberapa jaringan teror ada yang masih eksis. Yang paling aktif adalah Jamaah Ansar Daulah (JAD) yang dimotori Amman Abddurahman dan juga Bahrum Naim.
Ditambahkan Arief, ada beberapa organisasi radikal yang dekat dengan kelompok teror seperti Jamaah Anshoru Sunnah (JAS), Jamaah Anshoru Tauhid (JAT), dan Jamaah Anshar Khilafah Daulah Nusantara (JAKDN). Ini ditambah dengan beberapa ormas yang juga bersinggungan dengan kelompok-kelompok itu.
”Soal ormas radikal saya susah berbicara karena mereka secara fakta dibiarkan hidup di negeri ini. Makanya kita perlu cepat merevisi UU Teror dan UU lain yang berkaitan. Revisi ini hampir satu tahun belum juga jadi. Mbulet soal wewenang dan kekuasaan. Ini harus jadi perhatian,” tegasnya.
Kelompok IS atau sebelumnya adalah Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) merupakan kelompok militan ekstremis jihadis Salafi atauWahhabi. Pada 29 Juni 2014, kelompok ini menyatakan dirinya sebagai IS sekaligus kekhalifahan dunia yang dipimpin oleh khalifah Abu Bakr al-Baghdadi. IS mengklaim kendali agama, politik, dan militer atas semua muslim di seluruh dunia.
Bahrun Naim dipercaya telah masuk sebagai pendukung IS.
Menurut Sekjen PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, eskalasi kelompok teroris ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan situasi politik yang terlalu didominasi kelompok besar dan tidak mengakomodasi kelompok-kelompok kecil.
"Terorisme itu adalah suatu cara dari suatu kelompok yang merasa dirinya tertekan untuk melakukan perlawanan. Maka, selama ketidakadilan masih terjadi maka aksi-aksi itu akan terus berlangsung dalam bentuk yang berbeda-beda oleh pelaku yang berbeda-beda,"katanya, , Senin(19/12).
Menurut Mu’ti, teror di Indonesia awalnya diduga dilakukan oleh jaringannya Al-Qaeda yang kemudian berkembang. Kini, muncul jaringan baru yang merupakan simpanan dari IS. Melihat perkembangannya, menurut Mu’ti, selain IS teror juga dilakukan oleh banyak organisasi di luar IS. Karena itu dalam persoalan terorisme harus dilihat kasus per kasus. “Tidak bisa digeneralisasi,” katanya.
Selanjutnya, Abdul mengatakan, untuk mengatasi dan memberantas jaringan dan aksi terorisme, semua pihak harus memahami untuk berkolaborasi meskipun secara yuridis adalah tugas polisi. "Tidak bisa selalu mengandalkan pendekatan militer tetapi harus dibarengi dengan upaya pendapatan yang bersifat ketahanan sosial, misalnya menciptakan keadilan, memberikan jaminan sosial, seperti memberikan mereka akses untuk mengaktualisasikan diri secara positif," katanya.
Dalam upaya ini, pemerintah diharapkan bekerja sama dengan seluruh elemen bangsa terutama dengan ormas-ormas yang memiliki basis massa yang cukup besar seperti Muhammadiyah dan NU.
Kampus dan sekolah juga perlu dilibatkan mengingat banyak anak muda yang tergerus ideologi radikal. "Adanya kolaborasi karena kecenderungan pelaku-pelaku adalah kelompok-kelompok masih sangat belia. Mereka baru lulus SLTA dan kuliah atau yang menarik adalah banyak mereka yang punya background profesional. Bahkan pelakunya malahan perempuan seperti yang terjadi di Bekasi. Ini tidak bisa diselesaikan oleh polisi saja," ujarnya.
No comments:
Write komentar