Sunda Wiwitan , Aliran Kepercayaan Nusantara dan Hak Warga Negara yang Dikebiri

 

Portal Newsindo, Ornamen kuning begitu mencolok terlihat, faktor pertama adalah berserakannya janur kuning penanda pasangan–pasangan yang menikah di hari itu, entah mengapa begitu banyak pasangan menghalalkan hubungannya hari itu.
Toh tanggalnya ga cantik–cantik amat. 

Satu lagi yang membuat warna kuning begitu mencolok hari itu adalah bertebarannya baligho Partai Golkar dengan wajah Dedi Mulyadi, jujur saya adalah salah satu pendukung beliau untuk menjadi Jabar 1, tapi tidakkah ini terlalu cepat untuk melakukan ini semua? Selidik punya selidik banyaknya baligho ini dalam rangka menyambut Kang Dedi yang akan melantik Itoc Tohija menjadi ketua DPD tingkat 2 Kota Cimahi. 

Seseorang yang sudah tak asing lagi di telinga penduduk Cimahi, karena beliau salah satu yang turut andil dalam pemekaran Kota Cimahi, dan yang berjasa dalam dinasti politik di Cimahi tercinta. Lupakan orang yang dilantik Kang Dedi, tetapi tempat dimana ia melantik para pengurus Golkar lah yang begitu menarik. Dedi Mulyadi memilih untuk melantik para pengurus di Desa Adat Cirendeu. Desa Adat Cireundeu inilah tempat di mana sebagian besar penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan tinggal. 

Terbersit saat membaca berita saat itu, adik kelas saya yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan. Masih jelas ingatan saya dua tahun lalu, tepat ketika saya berada di kelas dua SMK dan dia kelas satu SMK. Hari itu adalah UAS hari pertama di semester pertama bagi dia. Seperti biasa mata pelajaran agama menjadi pembuka UAS hari itu, semua telah mendapatkan soal dan kertas jawaban kecuali dua orang, saya dan dia. Saya yang telah lama bersekolah di sekolah negeri berinisiatif untuk pergi ke ruangan panitia untuk menanyakan soal Agama Kristen. 

Akhirnya setelah saya kembali ke ruangan, panitia telah menyiapkan soal buat saya, tapi tidak buat dia. Terekam di ingatan saya ekspresi kekecewan, pasrah, dan terasa tak ada daya upaya untuk berbuat. Pengalaman UAS hari pertama ia lewati dengan mengisi soal Agama Islam. Saya minoritas, dia minoritas, saya pun masih ingat pengalaman pertama saya UAS di sekolah ini, tidak memiliki soal agama Kristen, dan hanya terdiam di jam pertama ujian saat itu. Entah mengapa dia harus mengisi soal agama lain? Apa karena dia seorang penghayat kepercayaan? Sulit untuk dapat memahami perasaanya saat itu, kepercayaannya tak dianggap di sekolahnya. 

Mungkin kecewa, mungkin sedih, mungkin marah, entahlah coba tanyakan orang–orang yang tak dianggap juga semacam Yusril yang sudah lama deklarasi bakal maju di Pilkada DKI tapi sampai hari ini belum ada partai yang dukung, atau tanya Juan Belencoso yang rela meninggalkan Liga Hongkong yang begitu nyaman demi dapat bermain di liga yang carut marut di Indonesia tapi sudah di anggap tak ada oleh pelatih. Setelah bernostalgia masa–masa SMK, saya mencoba untuk menghubungi dia, walau butuh usaha mendapatkan kontaknya, akhirnya saya bisa mengobrol dengannya. 

Butuh waktu lama untuk saya memulai obrolan, percayalah pertanyaan yang menyangkut tentang kepercayaan terasa lebih sulit untuk diungkapkan dari pada bertanya tentang dia jomblo atau tidak. Semakin lama suasana canggung mulai hilang. Pertanyaan pertama saat itu adalah masih adakah kendala saat UAS di semester – semester selanjutnya, senang mendengarnya karena mengerjakan soal agama Islam saat itu menjadi pengalaman pertama dan terakhirnya. Kelewat bingung saya, bodohnya saya tak mempersiapkan pertanyaan untuk ditanyakan. 

Akhirnya tak banyak yang saya tanyakan, tapi inilah hasil yang bisa saya dapatkan. “Selama tiga tahun ini, Guru Agama di sekolah bertanya perihal Sunda Wiwitan?” “Sering kang, pun dengan teman–teman saya. Mereka memiliki rasa ingin tau tentang Sunda Wiwitan” “Sekarang kamu sudah punya KTP?” “Sudah.” “Kolom agamanya kosong?” “Saya mah kangjadi di Islamkeun, yang lain ada yang kosong, ada juga yang Sunda Wiwitan.” Cukup lama otak saya mencerna jawaban dari dia. Bagaimana mungkin proses pembuatan KTP ini telah membuat seseorang berpindah kepercayaan. Dan dari obrolan ini juga saya benar–benar menemukan orang dengan definisi Islam KTP. “Inilah pilihan kamu untuk mencantumkan Islam?” “Tidak. Dari tahap RT/RW saya masih bisa memilih sebagai penghayat kepercayaan. Pas di kelurahan bingungnya, soalnya gak ada kolom yang lain, ya udah milih Islam.” Sebuah jawaban yang begitu rasional. Jika saya menjadi dirinya dan dihadapkan dengan kolom agama yang tidak mencantumkan Kristen, saya pun pasti akan memilih Islam. Ya kali dari Kristen saya milih menjadi Buddha yang minoritas juga. 

“Selama ini jika menghadapi segala bentuk formulir yang harus memilih agama, biasanya kamu ngisi apa?” “Makin kesini semakin baik kok, sudah jarang saya temui formulir tanpa kolom lainnya, tetapi beberapa kali saya menemui petugas yang menyuruh saya memilih Islam.” Akhirnya obrolan itu selesai dengan ucapan terima kasih dari saya. Obrolan singkat itu mengajari saya untuk terus bersyukur. Kami sama–sama minoritas, tapi masih diakui oleh negara ini. Bersyukur saya, tak pernah sampai harus mengisi soal agama lain saat ujian. Bersyukur saya, Kristen Protestan masih tertulis di KTP saya. 

Bersyukur saya, mengisi formulir masih menjadi hal yang menyenangkan. Walau memang menghabiskan jenjang SMP dan SMK di sekolah negeri mengubah diri saya yang sebelumnya beragama Kristen menjadi beragama Non–Muslim. Kalimat terakhir mungkin terdengar sedikit egois, tapi saya percaya sedikit perubahan dalam hal memandang perbedaan kelak akan membuat negeri ini lebih baik. Seperti sedikit perubahan dalam semboyan yang berada di kaki Burung Garuda. Dari dulu kita sering mendengar, “Berbeda–beda tapi tetap satu”. Saya rasa kalimat yang lebih baik adalah “Berbeda–beda tapi tetap bersatu”.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/halfback31/sunda-wiwitan-dan-hak-warga-negara-yang-dikebiri

No comments:
Write komentar