Sri Mulyani Permalukan orang-orang Yang mengatakan Serapan APBD DKI Masa Ahok Rendah

 



Semasa kepemimpinan Ahok, maka kita semua terbuka lebar mengenai banyak hal.

Yang pertama adalah dana CSR yang dulu sepertinya kurang disorot, tapi Ahok memanfaatkan dengan sangat maksimal sehingga hasilnya dapat dilihat dari banyaknya RPTRA yang dibangun tanpa APBD DKI Jakarta sama sekali alias nol. Ini berarti penghematan yang sangat luar biasa. Dengan modal sekecil-kecilnya ahok mampu membangun dengan maksimal.

Yang kedua adalah Ahok membongkar dana siluman yang jumlahnya belasan triliunan yang salah satunya digunakan untuk membeli UPS yang harganya lebih mahal dari rumah mewah. Sekali lagi, tanpa Ahok mata kita selama ini selalu tertutup rapat mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Kembali lagi ke CSR, efek sampingnya adalah penghematan APBD. Tapi apresiasi ini malah dibalas dengan kritikan tidak berdasar karena serapan APBD DKI Jakarta mencapai sekitar 60% (lebih kurang) saja. Dan lucunya, ini dianggap beberapa orang (yang entah lugu atau tidak tahu) sebagai tanda banyak proyek atau pun pembangunan tidak berjalan.

Jika dilogikakan mentah-mentah, ini cukup masuk akal. 40% tidak terpakai berarti ada proyek yang terhenti. Tapi coba baca pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sri Mulyani Indrawati beberapa hari lalu mengungkapkan kesedihannya dengan pengelolaan APBN. Bukan soal penerimaan, melainkan realisasi belanja yang masih jauh dari yang diharapkan. Anggaran belanja memang dihabiskan oleh masing-masing Kementerian Lembaga namun efektivitasnya masih rendah.

Contohnya anggaran pendidikan tahun 2006 yang hanya sebesar 175 triliun dan sekarang mencapai Rp 400 triliun.

“Sekarang sudah lebih dari Rp 400 triliun. Are you enjoying the same quality? Kita tetap melihat bangunan sekolah yang tidak ada atapnya atau anak-anak sekolah yang belum layak,” kata Sri Mulyani.

Begitu juga dengan tunjangan guru yang nilainya mencapai kisaran Rp 25 triliun setiap tahunnya. Akan tetapi, apakah ini meningkatkan kualitas pengajaran?

Mari saya jawab. Sampai sekarang pendidikan di negara kita kalah jauh dengan negara tetangga, apalagi Singapura yang bagai langit dan palung laut. Saya cukup tergelitik, kenapa yang pendidikan yang jadi contoh? Mungkin menyentil seseorang.

Pengelolaan APBN, kata Sri Mulyani tidak hanya tentang bagaimana uang bisa masuk, namun juga keluar dengan tepat. APBN menjadi instrumen penting untuk menyelesaikan kemiskinan yang mengakar di Indonesia.

Pernyataan Sri Mulyani sebenarnya menyentil penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran sehingga efektivitas hasil sangat rendah. Serapan tinggi atau serapan malsimal hingga habis bukan jaminan bahwa tujuan atau sasaran dapat tercapai. Bahkan dalam banyak kasus, terutama di negara kita tercinta ini, serapan yang tinggi sering berakhir dengan dana disunat, dicuri, digelembungkan, bahkan dikorupsi.

Sebelum Ahok ada, mata kita seolah tertutup. Setelah menjabat, barulah banyak ditemukan banyaknya dana siluman yang mencengangkan. Dengan dana CSR saja Ahok bisa menunjukkan hasil yang spektakuler. Jika mau jujur, serapan APBD DKI yang rendah saat ini ternyata jauh lebih banyak hasilnya ketimbang tahun-tahun sebelumnya di mana APBD habis digunakan tapi hasilnya? Ngakak deh.

Satu hal yang terus saya pikirkan sejak Ahok mampu membangun dengan serapan APBD yang rendah, mungkin saja APBD DKI Jakarta tidak perlu sebesar 70 triliun seperti sekarang. Dengan etos kerja tanpa korupsi, dengan suntikan dana CSR yang dimanfaatkan sebaik mungkin, mungkin APBD tidak perlu sebesar sekarang. Ini hanya menurut perkiraan awam saya saja.

Mental korupsi ini yang bikin dana menggelembung tidak karuan. Dana diserap maksimal, tapi kadang tidak nampak hasilnya. Buat apa? Jadi bagi yang bertanya-tanya apalagi nyinyir tidak jelas mengenai serapan yang rendah, lihat saja pembangunan yang terjadi di Jakarta dan bandingkan dengan Gubernur dulu. Itu sudah bisa jadi bukti untuk membantah. Serapan maksimal tidak berarti pembangunan maksimal, terkadang malah korupsi ikut maksimal. Kalau dipakai tidak tepat sasaran, sebanyak apa pun uang takkan cukup, apalagi buat korupsi berjamaah.

Jika Sri Mulyani sedih melihat pengelolaan APBN, rakyat (yang waras) bahkan lebih sedih lagi, karena APBN juga berasal dari uang rakyat.

(Tambahan) Pada tahun 2015, bahkan hingga Juli 2015 APBD hanya terserap 12% saja. Banyak pihak menuding ini dikarenakan Ahok terus berkelahi dengan DPRD DKI. Ahok sendiri menilai rendahnya serapan ini karena banyaknya SKPD yang main mata dengan anggaran dan tidak berani menggunakan anggaran dengan optimal.

Terlebih Ahok menggandeng KPK, Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) dan PPATK serta lembaga keuangan lain untuk mengawasi APBD. Jika apa yang dikatakan Ahok benar, tentunya yang jujur tak takut menggunakan anggaran. Kalau takut, justru mengundang pertanyaan, apakah ada penyimpangan atau tidak. Kalau benar ada, maka inilah yang disebut pemborosan atau uang dipakai tidak pada tempatnya. Efektifkah? Kembali lagi, untuk apa serapan tinggi tapi hasilnya tidak sebanding dengan uang yang dikeluarkan? Bagi yang bergerak di bidang swasta atau punya perusahaan atau bisnis, pasti tahu maksud ini.

No comments:
Write komentar