Muncul Aliran Sesat Baru ; Pelarangan Shalat Jenazah karena Politik

 


Hiruk pikuk pilkada Jakarta 2017 ini tidak hanya menguji kedewasaan kita dalam berpolitik dan berkebangsaan, tetapi juga kejernihan kita dalam beragama. Akhir-akhir ini beredar sikap keagamaan sebagian orang yang melarang (tidak bersedia) menshalati jenazah muslim yang memilih Ahok-Djarot. Salah satu pasangan yang maju di Pilkada DKI. Sikap ini tentu saja sangat politis, yang secara agama tidak jernih, bahkan bisa menyesatkan.
Pertama, dalam Islam menshalati jenazah muslim adalah fardu kifayah menurut kesepakatan ulama fiqh. Suatu kewajiban, yang jika ditinggalkan, semua umat Islam akan berdosa. Sehingga sikap penolakan shalat jenazah terhadap seseorang bertentangan dengan kewajiban ini, dan akan membuat semua umat Islam menjadi berdosa. Menolak shalat jenazah berarti menolak kewajiban Islam yang menjadi pandangan mayoritas ulama fiqh.
Kedua, definisi muslim yang wajib dishalati ketika wafat, yang paling sederhana, terkait hal ini adalah ahli qiblat. Inilah padangan moderat dari Ahli Sunnah wal Jama’ah, seperti dinyatakan oleh Imam al-Ghazali dalam Faishal at-Tafriqh. Ahli qiblat adalah orang-orang yang shalat menghadap ka’bah sebagaimana kebanyakan umat Islam. Dalam hadis Sahih Bukhari disebutkan:
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِى لَهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ فَلاَ تُخْفِرُوا اللَّهَ فِى ذِمَّتِهِ
“Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, menghadap kiblat yang sama dengan kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah muslim yang memperoleh kehormatan Allah dan Rasul-Nya. Janganlah kamu rusak kehormatannya itu”. (Sahih Bukhari, no. 393).
Ketiga, dalam sebuah hadis lain, dalam Sahih Bukhari (no. 1251), mengurus jenazah merupakan ibadah yang juga berdimensi sosial, untuk menjaga dan melestarikan persaudaraan. Sama seperti menjawab salam, membesuk orang sakit, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin. Penolakan terhadap amalan-amalan ini akan memutus persaudaraan sesama muslim. Dan memutus hubungan sesama muslim adalah haram.
Keempat, yang dilarang dishalati oleh at-Taubah (9: 84) adalah orang kafir, seperti dijelaskan Habib Sayid al-Bakri dalam Ianat ath-Thalibin (juz 2, hal. 135, terbitan Toha Putra Semarang), bukan orang-orang yang berdosa kecil, atau dosa besar yang tidak mengeluarkanya dari keimanan. Seseorang, yang karena pilihan politik dan pilihan calon di pilkada, sama sekali tidak bisa menjadi alasan untuk ditolak dishalati jenazahnya.
Kelima, berangkat dari tafsir Habib Sayid al-Bakri, orang yang menolak menshalati seseorang karena pilihan pilkada, maka ia telah mengkafirkannya hanya karena urusan politik semata. Padahal, mengkafikran sesama muslim adalah dosa yang teramat besar. Dalam sebuah hadis disebutkan:
من رمى مؤمنا بكفر فهو كقتله. (رواه الطبراني).
“Barangsiapa menganggap orang beriman sebagai kafir, maka ia (berdosa) seperti (dosa) membunuhnya” (Riwayat Thabrani, no. 440).
Keenam, jikapun ayat at-Taubah (9: 84) dikaitakan dengan asbabun nuzul pada kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, maka ia adalah gembong orang-orang munafik yang sering membenci Rasulullah Saw, mengumbar kebencian, menentang kebijakan, dan menghadang orang-orang yang mau pergi berjihad di jalan Allah Swt.
Atas dasar ini, pandangan Mazhab Hanafi, seperti dirilis Wahbah Zuhaili, bahwa larangan shalat jenazah lebih ditujukan kepada mereka yang melakukan kerusakan di bumi dan mengancam kemanusiaan.
Seperti merampok dengan kekerasan dan pembunuhan, orang-orang yang dengan senjata yang dimilikinya justru mengobarkan kekerasan dan pembunuhan, serta orang yang secara zalim memerangi pemerintahan yang sah (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 2, hal. 481).
Ketujuh, pandangan bahwa memilih kepala daerah yang non-Muslim dianggap kafir dan tidak boleh dishalati, adalah naif, menjerumuskan, dan menyalahi realitas politik demokrasi di Indonesia.
Karena faktanya, di daerah-daerah lain banyak kepala daerah non-Muslim yang dicalonkan dan didukung berbagai partai Islam dan tokoh-tokoh Muslim.
Pada Pilkada serentak ini, dari 101 daerah, ada 22 daerah yang colonnya non-Muslim dan diusung Partai berbasis Islam (PKS, PPP, atau PBB). Jika PKB dan PAN dianggap partai Islam, maka jumlahnya jauh lebih besar. Kabupaten Kepulauan Sulu, misalnya, calon non-Muslim Hendrata Thes bergandengan dengan Ketua DPD PKS Zulfahri Abdullah dan memenangkan Pilkada.
Sejatinya, pemilihan kepala daerah adalah persoalan murni politik. Tentang bagaimana mencari dan mendukung orang yang dianggap paling layak mengelola pemerintahan. Mendukung atau menolak seseorang dalam pilkada, tidak ada kaitanyaa sama sekali dengan identitas seseorang menjadi lebih mukmin atau berubah menjadi kafir yang tak layak dishalati seketika.
Dus, menolak menshalati jenazah seseorang hanya karena persoalan pilkada adalah pandangan yang tidak jernih dan bisa menyesatkan. Ia merusak sistem demokrasi, sebagai sistem politik modern yang membuka kemungkinan warga negara terbaik dapat dipilih untuk memegang kendali manajemen pemerintahan. Tanpa melihat latarbelakang ras, etnik, golongan, dan agama. Muslim mungkin menjadi kepala daerah yang mayoritas penduduknya non-Muslim.
Begitupun sebaliknya, non-Muslim terbuka menjadi kepada daerah yang mayoritas penduduknya Muslim.
KH Faqihudin Abdul Qodir, MA, Direktur Fahmina Institute, Cirebon, Jawa Barat. [SI]

No comments:
Write komentar