MI/BARY FATHAHILAH
POPULI Center menyoroti kondisi intoleransi yang terjadi di DKI Jakarta. Lembaga itu mendapati, sekitar 71% warga Ibu Kota menilai intoleransi sudah dalam taraf mengkhawatirkan.
Peneliti Populi Center, Usep S Ahyar mengatakan penyumbang mencuatnya intoleransi salah satunya adalah masa kampanye Pilkada DKI. Menurut dia, masa kampanye yang terlalu panjang justru minim kontribusi dalam pendidikan politik.
"Yang ada malah masyarakat makin memainkan isu SARA yang mengkhawatirkan," kata Usep dalam diskusi di Kantor Setara Institute, Jakarta Selatan, Kamis (23/3).
Selama masa kampanye, kata dia, banyak berita bohong alias hoax yang beredar. Selain itu, muncul juga dominasi simbolik yang bisa diartikan sebagai tekanan politik.
Dominasi simbolik, lanjutnya, terjadi ketika ada sebuah pendapat yang boleh jadi berasal dari seseorang yang punya kepentingan atau kekuasaan, sampai kemudoan diamini oleh awam.
Karena itu, Usep mengaku pernah mengkritik soal masa kampanye Pilkada DKI yang terlalu panjang ini. Menurutnya kampanye di DKI tak ubahnya ajang 'tawuran' antar warga. 'Memperpanjang kampanye, sama dengan memperpanjang tawuran," katanya.
Faktor lain, menurut Usep, menguatnya politik identitas selama Pilkada DKI. Misalnya, politik yang mengacu pada identitas tentu seperti agama. "Padahal kan dalam bernegara agama tertentu tidak ada hirarki, datanya nominal kalau dalam bahasa statistik," lanjut Usep.
Menurut peneliti Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, temuan itu menunjukkan ada pergeseran sosial di Jakarta. Warga DKI khususnya, kata dia, mulai tidak sadar dengan keberagaman yang ada. Fenomena ini, menurut dia, terjadi sejak rezim Orde Baru runtuh. (MTVN/X-12)
No comments:
Write komentar