Membaca buku sejarah di bangku-bangku sekolah, seringkali proses tersebarnya Islam di”suci”kan teorinya oleh para penulisnya. Jelas tertulis bahwa Islam tersebar di Nusantara karena teori perdagangan dan hanya dakwah semata, terutama berkaitan dengan legenda walisongo.
Islam sebenarnya sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 654, saat khalifah ke-3 Ustman Bin Affan membentuk armada laut pertama dalam sejarah Islam, dan mengutus para diplomatnya ke segala penjuru dunia termasuk Javadwipa.
Utusan Islam pertama yang sampai di Nusantara adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Dia mendarat di tanah Jawa semasa Mataram Kuno, 654M. Perjalanan inilah yang menyebabkan Muawiyah tidak mengetahui kronologi terbunuhnya Ustman dan termakan fitnah kabar gossip.
Semasa kerajaan Sriwijaya, komunitas Islam sudah ada, tapi Islam tetap tidak tersebar, karena bersifat iklusif dan hanya berkepentingan dagang bukan dakwah. Bahkan karena tertarik tentang Islam, Raja Sriwijaya saat itu (bahkan dipercaya telah memeluk Islam), Sri Indarwaman. Menulis surat permohonan ulama kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Titik balik penyebaran Islam dimulai sekitar tahun 1400M dan mengalami puncaknya ketika kerajaan mughal di India berjaya tahun 1500-an M. Tahun 1400M adalah tahun dimulainya ekspansi Islam oleh Timurlenk.
Timur dengan kekuatan militernya yang luar biasa, menekan setiap kesultanan Islam yang lemah untuk secara aktif menyebarkan Islam . Jika tidak, bakal dibabat habis seperti kesultanan Delhi di India.
Saat India dikuasai oleh keturunan Timurlenk dengan Dinasti Mughalnya, sifat penyebaran Islam di Nusantara menjadi agressif. Dinasti Ming di China sebenarnya adalah sekutu Majapahit, tapi sepertinya ancaman agresi militer dari Timurlenk lebih menakutkan. Timurlenk sendiri meninggal di ketika memimpin pasukan untuk menyerbu China.
Dinasti Ming kemudian membuat perjanjian damai dengan mengundang Shah Rukh Khan (Penerus Timurlenk) ke China setelah wafatnya Timur. Mungkin karena perjanjian inilah, sama sekali tidak nampak bantuan militer China ketika Majapahit digempur sampai mampus oleh Kesultanan Demak.
Maka nggak heran, jika Islam sukses tersebar ke seluruh penjuru Nusantara hanya dalam kurun waktu tiga generasi, 200tahun, 1400-1600Masehi.
Agresi Militer Islam : Friksi Pertama Islam di Jawa
Setelah wafatnya Sultan Trenggana asal Demak Bintoro, yang sukses menyatukan seluruh wilayah (suku) Jawa dalam satu kerajaan Islam dan mendapat legitimasi daripada para Wali/Sunan.
Mulailah muncul friksi antara umat Islam sendiri. Terutama sekali menyangkut faham kemurnian Islam dan fanatisme Jawa. Sejarawan barat menyebutnya sebagai Islam kejawen vs Islam Asketis.
Perbedaan ini muncul dari proses ber-islam. Masyarakat di pesisir Utara, yang berada dipusat perdagangan global, lebih terbuka untuk menerima Islam secara utuh dan meninggalkan segala adat-istiadat Jawa.
Islam di bandar-bandar pelabuhan menjadi semacam gaya hidup bagi kalangan menengah atas. Tidak hanya sekedar beralih agama, tapi juga bisa menaikkan status, menjadi tiket masuk ke “kasta” saudagar asing yang datang dari Turki, India dan China Muslim.
Sedang bagi kalangan bawah, kuli dan buruh. Masuk Islam berarti menaikkan kesejahteraan, karena bisa mengikatkan emosional dengan para majikan. Sedang kaum budak, masuk Islam berarti kebebasan, karena kuatnya desakan dari para wali/sunan untuk membebaskan budak sebagaimana tuntunan Rasulullah.
Di wilayah majapahit, pedalaman dan pesisir selatan jawa, komunitas Islam sudah ada di Majapahit sejak Abad-14. Proses islamisasi berlangsung dengan adaptasi budaya, yang kemudian memunculkan Islam Kejawen. Secara agama mereka adalah muslim, tapi tetap mengamalkan adat istiadat jawa terutama yang dipengaruhi agama Hindu-Budha.
Tome Pires pada tahun 1515M mencatat tentang perilaku Islam Kejawen sebagai:
“Ada sekitar 50.000 pertapa di Jawa. Berpuasa, tidak minum tuak dan tidak kawin. Mereka memakai tutup kepala dan kadang ada logo bintang lima berwarna putih. Orang-orang ini juga disembah oleh orang Islam, dan mereka sangat percaya pada ramalan mereka. Memberinya sedekah, dan sangat gembira jika didatangi. Mereka berjalan berpasangan”
Setelah kematian Sultan Trenggana yang sukses merobohkan identitas terakhir kebesaran Majapahit di Daha-Kediri. Perpecahan diantara Orang Islam mulai tampak menyangkut “bid’ah” Jawa ini.
Mula-mula perpecahan terjadi dikalangan para wali, tentang perlu tidaknya melestarikan kebudayaan Jawa dengan adopsi modifikasi Islam. Perpecahan mulai menjadi arena pertempuran ketika kepentingan politik untuk memperebutkan tahta turut campur.
Alhasil, berdirilah Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Sutawijaya (Penembahan Senopati) di Pajang Mataram. Ketika akhirnya harus adu tanding di medan laga. Demak Bintoro (Pajang) runtuh tanpa sisa digantikan dengan kekuasaan Mataram.
Dalam kekuasaan mataram inilah, terjadi pembalikan sejarah walau tidak secara frontal. Jawa yang awalnya diislamisasi, berganti menjadi Islam yang di”jawa”nisasi. Sebab utama yang mampu melestarikan kebudayaan jawa sampai sekarang, tapi tetap tidak kehilangan identitas sebagai muslim.
Sultan Agung yang bertahta di Mataram paska era Panembahan Senopati, adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam proses jawanisasi Islam. Setelah dengan bengis menghancurkan benteng terakhir Islam asketis di Jawa Tengah, Tembayat. Sultan Agung dengan otoriter memaksakan fahamnya.
Lalu sultan Agung mengarahkan militernya ke Giri-Kedaton sebagai benteng terakhir Islam asketis dan pusat perlawanan paling gigih dari pemaksaan faham jawanisasi Islam. Setelah sukses menaklukkan, Sultan Agung berhasil mencuri simpati dengan mengawinkan Putra Mahkota Kedaton Giri dengan putrinya demi legitimasi kekuasaanya, 1636M
Selain usaha militer, demi terbangunya suatu sintesis yang efektif antara tradisi jawa, Islam dan kultus raja. Sultan Agung juga membuat kalender Jawa yang dimulai dari tahun 78M, lalu mengadakan ritual-ritual seperti, grebeg suro.
Berabad-abad sesudahnya, nggak mengherankan jika Islam Jawa ini disebut sebagai ahli bid’ah, sesat, tidak murni dll. Padahal sebenarnya, friksi itu hanya sebuah “replay” dari sejarah runtuhnya zaman Demak Bintoro.
Jika menaati wejangan Sunan Ampel yang bersumber dari al-Qur’an surah al-mumtahanah (60) ayat 8 :”Allah tidak melarang kamu berkawan dengan orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Hendaklah kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Adil”
Mungkin Demak Bintoro bisa berumur lebih panjang.
Daftar Bacaan:
1. Anthony Reid, South East Asia on the 1450-1680, Yale University.
2. Sjamsudduha, Walisanga Tak Pernah Ada, JP Books.
3. Mohammad Alias Aadil, Sirat-i-Hazrat Usman-i-Ghani, Mushtaq Ahmed Lahore
4. Dr. Purwadi, Falsafah Militer Jawa
5. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Mizan
6. Wikipedia.org
No comments:
Write komentar