Portal Newsindo,Tak ragu lagi sektarianisme yang berkobar di Timur Tengah menjadi salah satu faktor utama konflik, kekerasan dan perang yang marak dalam beberapa tahun terakhir. Sektarianisme yang berlapis-lapis mulai dari sektarianisme agama, budaya, etnis atau kabilah sampai sosial menjadikan kawasan ini sebagai kancah pergolakan dan pertumpahan darah dari waktu ke waktu sejak masa pasca-Nabi Muhammad SAW.
Sektarianisme bisa melingkupi berbagai aspek kehidupan yang jika tidak terkendali dalam tingkat tertentu dapat memunculkan konflik dan kekerasan. Tapi dalam kajian ilmiah-akademik, sektarianisme hampir selalu dikaitkan dengan agama.
Dalam pengertian konvensional, sektarianisme terkait dengan ‘sekte’, yaitu aliran atau pecahan sebuah agama yang menyempal menjadi agama sendiri. Sekte ini boleh jadi mengandung sejumlah ajaran yang sama dengan ‘agama induknya’, tetapi juga mencakup banyak perbedaan mendasar. Sekte juga sering muncul bukan hanya karena perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan, tapi juga disebabkan kontestasi kepemimpinan agama.
Dalam konteks itu, Islam dapat dikatakan relatif aman dari munculnya ‘sekte’ menyempal—menjadi agama terpisah. Apa yang berkembang dalam masyarakat Muslim sejak masa pasca-Nabi Muhammad SAW adalah berbagai aliran pemikiran dalam kalam (teologi), mazhab fiqh, tasawuf, dan politik misalnya, yang mengandung perbedaan-perbedaan tertentu.
Kalau begitu apa sebenarnya ‘sektarianisme’ itu? Dalam pengertian kamus, ‘sektarianisme’ adalah “semangat atau fanatisme dan taklid berlebih-lebihan pada aliran atau mazhab khususnya dalam agama”. Dalam konteks ini ‘sektarianisme’ dalam terminologi Arab disebut sebagai ‘ta’ashub’ yang terkait dengan ashabiyah. Sektarianisme religio-politik lazim disebut sebagai hizbiyah.
Sektarianisme juga merupakan istilah yang mengacu pada ‘intoleransi, dan diskriminasi’. Lebih gawat lagi, juga mengacu pada kebencian yang muncul dengan memegang sikap superioritas keagamaan pada kelompok sendiri atau memandang pihak lain seagama sebagai inferioritas di tengah perbedaan-perbedaan di antara para pemeluk agama yang sama’.
Sekali lagi, meski semula sektarianisme berakar dalam aliran dan mazhab dalam agama, kemudian juga terkait dengan perbedaan dalam sosial, budaya, etnik, sejarah, dan politik. Keadaannya bisa menjadi kian meruyak jika sektarianisme agama beramalgamasi dengan sektarianisme sosial, budaya, etnisitas, dan politik.
Jika sektarianisme agama khususnya dapat menjadi sangat eksplosif dan berbahaya, maka apakah relevan berbicara tentang ‘Islam Tanpa Sektarianisme’.
Dalam konteks itu, harus ada usaha taqrib al-madzahib, atau rapprochement, saling mendekat, islah dan rekonsiliasi di antara berbagai aliran dan mazhab Islam, khususnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) dengan Syi’ah. Kedua mazhab ini telah lama menjadi permainan Wahabi yang terus membakar isu sektarianisme di antara kedua belah pihak.
Selanjutnya hubungan antara Sunni dan Syi’ah menjadi beban sejarah yang tidak jarang dieksploatasi kalangan Wahabi untuk kepentingan mazhab dan aliran sendiri. Mengingat hal itu, jika taqrib al-madzahib ini gagal atau tidak berhasil dengan baik, yang mendapat keuntungan adalah pihak lain yang tidak ikhlas melihat kaum Muslim damai dan maju.
Kelompok-kelompok yang berlatar Salafi dan Wahabi terus melebarkan pengaruhnya ke berbagai lini, termasuk ke dunia penyiaran dan media sosial. Istilah Salafi dan Wahabi adalah sebutan yang dialamatkan kepada kelompok atau perorangan yang menganjurkan “pemurnian” Islam kepada Al-Quran dan hadis – dan menolak tambahan-tambahan lain setelahnya, serta menganggap orang-orang yang tidak mau mengikuti mereka sebagai kafir. [ARN]
arrahmahnews.com
No comments:
Write komentar