Sejarah tertulis mencatat bahwa sampai tahun 1513 masih berdiri kerajaan majapahit, walaupun wilayah kekuasannya jauh lebih kecil di banding ketika di masa kejayaannya.
Pertama, dari Tome Pires (orang portugis yang mengunjungi Jawa sekitar tahun 1513) yang menulis dalam catatannya, Suma Oriental bahwa saat itu masih ada Raja Jawa Hindu yang bernama Batara Vigiaya (Bhre Wijaya), dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram (Bhre Mataram) yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara
Kedua, tahun 1486, Raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri. Dan masih menyebut dirinya sebagai “Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri prabhu natha.” Wilwatikta adalah Majapahit dalam bahasa Sanskerta. Penyebutan “wilwatiktapura” mengindikasikan bahwa sang raja berdiam di Majapahit, sebagaimana Raja Hayamwuruk juga di sebut “tikta-wilwa-pura-raja” dalam negarakertagama (pupuh 73:1). Penyebutan Janggala Kadiri memberi petunjuk majapahit yang masih bersatu, sebagaimana prasasti pamintihan yang di keluarkan Raja Dyah Suraprabhawa tahun 1473, menyebut dirinya sebagai “siratah prabhu wisesa i bhumi jawa magaprakaram janggala mwa kadiri”. Ini tidak bertentangan dengan informasi dari Tom Pires bahwa pada waktu itu (tahun 1513) ibu kota kerajaan Hindu Jawa ada di Daha. Pusat kota mungkin telah di pindah lebih selatan dari Majapahit ke Daha antara tahun 1486 dan 1513 untuk menjauhi kekuatan muslim saat itu di bagian pantai utara seperti Surabaya. Yang tentunya berbahaya jika pusat kota Majapahit terlalu dekat dengan kekuatan yang kala itu makin berkembang dan makin besar.
Bukti otentik tertulis (berupa prasasti maupun tulisan) tentang Majapahit yang ditulis pada akhir abad-15 sangatlah sedikit. Sumber yang lain adalah transkrip pararotan yang di tulis tahun 1613 (1535 tahun Saka). Namun demikian perlu di ketahui bahwa pararotan di tulis hampir seratus tahun setelah peristiwa yang di ceritakan berakhir. Sehingga jika ada perbedaan informasi maka prasasti yang di tulis ketika pelaku sejarahnya masih hidup tentunya lebih valid informasinya. Selanjutnya kita juga punya catatan dari Tom Pires. Kalau prasasti maupun pararotan bersifat lebih istanasentris, maka catatan Tom Pires adalah dari sudut pandang masyarakat umum saat itu. Dan yang tak kalah penting catatan ini di tulis oleh saksi hidup pada masa itu yaitu tahun 1513, tentunya dengan pemahaman dia sebagai orang asing yang tidak begitu paham bahasa daerah Jawa. Tapi terlepas dari sejauh mana keakuratan tulisannya (dari yang dia dengar dan pahami saat itu), tetap catatan ini tetap menjadi bukti otentik yang layak untuk di jadikan rujukan analisis.
Sekilas Suma Oriental – Bagian catatan Tom Pires ketika mengunjungi Jawa tahun 1513
Suma Oriental adalah buku yang ditulis oleh seorang Portugis bernama Tome Pires pada tahun 1512-1515. Buku ini terdiri atas 6 jilid, dimana dua jilid pertama berisi tentang wilayah antara Mesir dan Malabar, dan 4 jilid berikutnya berisi tentang wilayah Bengali, Asia tenggara, China dan Jepang. Buku ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tome Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Barat saat itu. Pada tahun 1513, ia mengunjungi Jawa. Dua tahun kemudian berencana pulang ke Portugis. Namun tidak jadi karena di utus sebagai duta pertama Kerajaan Portugis ke China.
Sesuai pemahaman Tom Pires saat itu, secara umum pulau Jawa terbagi menjadi dua kekuasaan besar yaitu Sunda dan Jawa. Perbatasannya adalah Chi Manuk (Chemano). Pelabuhan Calapa (Sundakalapa) saat itu sudah menjadi pelabuhan terbesar di pulau Jawa yang di datangi pedagang dari berbagai daerah di Asia tenggara. Tom Pires menceritakan daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa . Jika di mulai dari perbatasan dengan Sunda yaitu Chi Manuk (chemano) ke arah timur adalah Cherimon (Chereboam), kemudian Japura, Losari (Locarj), Tegal (Teteguall), Semarang (Camaram), Demak (Demaa), Tidunan (Tidumar), Japara, Rembang (Ramee), Tuban (Tobam), Sidayu (Cedayo), Grisee (Agacij), Surabaya (Curubaya), Gamda, Blambangan (Bulambuam), Pajarakan (Pajarucam), Chamta, Panarukan (Panarunca), dan yang terakhir Chamdy. Tom Pires mengatakan bahwa daerah-daerah tersebut di pimpin oleh “Pate” (mungkin “Adipati” – red). Di samping itu Tom Pires juga menyebut seorang Raja Jawa Hindu saat itu yang ibukota kerajaannya adalah di Daha. Dan sorang yang sangat berpengaruh terhadap sang raja maupun penguasa daerah yang lain, yaitu “Gusti Pate” (mungkin Patih kerajaan Majapahit saat itu). Juga di ceritakan bahwa Raja Hindu Jawa telah kehilangan banyak wilayah dan sudah tak memiliki kontrol kekuasaan yang luas. Namun yang pasti kerajaan Hindu Jawa ini masih berdiri dan memiliki seorang raja, bahkan di ceritakan kalau sang raja hendak keluar untuk sesuatu keperluan, maka akan di beritakan di kota, kemudian raja akan keluar dengan iring-iringan prajurit, istri dan selir-selirnya menaiki kereta. Juga Guste Pate mengiringi sang raja. Jika ada yang menghalangi jalan di depan iring-iringan sang raja tersebut maka bisa di bunuh kecuali kalau anak-anak berumur 10 tahun ke bawah.
Membaca catatan Tom Pires, kita seakan-akan melihat peta kekuatan politik, sosial dan ekonomi saat itu. Tahun 1513, sebagian besar pesisir utara telah memeluk Islam, di bawah masing-masing “Pate” mulai dari Cherimon sampai Surabaya. Hindu Jawa saat itu masih kuat di Blambangan dan tentunya pusat kerajaan di Daha. Kerajaan tidak terletak di pinggir pantai tapi di pedalaman (mungkin sekitar Kediri saat ini). Dan pantai pelabuhan terdekat sekaligus sekutu yang masih setia dengan kerajaan adalah Tuban. Di ceritakan ada perjanjian bahwa Guste Pate akan membantu penguasa Tuban jika ada serangan dari luar. Yang menarik adalah penguasa Tuban saat itu sudah memeluk Islam, dan diceritakan bahwa kakeknya beragama Hindu tapi kemudian masuk Islam. Tampaknya Tuban memang penting bagi kerajaan Hindu Jawa yang terletak di pedalaman, karena roda perekonomian dan perdagangan dengan dunia luar saat itu bergantung pada pelabuhan ini, sedangkan hampir semua pelabuhan di pesisir utara telah di kuasai oleh Pate yang beragama Islam. Pastinya persekutuan Tuban dan Kerajaan Hindu Jawa di dasari oleh kepentingan yang saling menguntungkan secara politik dan ekonomi, dan kemungkinan juga kedekatan hubungan antara penguasa Tuban dan Raja Majapahit di masa lalu.
Peta kekuasaan para “Pate” di Jawa dan misteri asal usul Pate Rodim Penguasa Demak
Di mulai dari sebelah barat yaitu Cherimon di pimpin oleh Lebe Uca, dia adalah bawahan Pate Rodim penguasa Demak (Pate Rodim kemungkinan besar adalah Raden Patah). Di ceritakan juga bahwa sekitar 40 tahun sebelumnya bahwa Cherimon masih Hindu, kemudian penguasa Demak kala itu memiliki abdi dari Grisee (Gresik) dan mengangkatnya menjadi Pate Cherimon. Dan Pate Cherimon dari Grisee ini adalah kakek dari Pate Rodim yang sekarang manjadi penguasa Demak saat Tom Pires mengunjungi Jawa. Jika ini benar maka asumsi yang berdasar tradisi babad tanah Jawi bahwa Raden Patah adalah anak Raja Brawijaya dengan selir cina atau putri campa tidaklah benar. Babad tanah Jawi sendiri di tulis pada masa kerajaan Mataram Islam. Sementara catatan Tom Pires di tulis pada masa ketika Raden Patah masih hidup dan ingatan orang-orang saat itu tentang Raden Patah dan kakeknya tentunya masih melekat kuat di bandingkan dengan cerita yang muncul ratusan tahun kemudian.
Mulai dari Cherimon sampai Japara adalah di bawah pengaruh Pate Rodim. Japara sendiri di bawah Pate Unus. Sementara Tuban adalah daerah yang masih loyal dengan kerajaan Hindu Jawa. Di sebelah timur Tuban adalah Sidayu yang masyarakatnya terutama bekerja di pertanian, pantainya tidak bisa di singgahi kapal dan merupakan kota kecil. Pemimpinnya dekat dengan penguasa Tuban. Di sebelah timurnya kemudian adalah Grisee (Gresik) yang memiliki 2 kota yang di pisahkan sungai. Kota yang lebih besar di pimpin oleh Pate Cucuf dan yang satunya Pate Zeinall. Keduanya di beritakan selalu terjadi konflik dan permusuhan. Selanjutnya adalah Surabaya yang di pimpin oleh Pate Bubat. Menurut Tom Pires, Surabaya adalah daerah yang kuat dan di segani. Kadang berseteru dengan Kerajaan Hindu Jawa kadang berdamai. Sebelah Surabaya adalah Gamda yang masih Hindu. Di dipimpin oleh Pate Sepetat yang merupakan anak dari Guste Pate (Patih majapahit – red). Pate Sapetat juga menikah dengan anak Pate Blambangan dan Pate Madura. Selanjutnya kita sampai pada yang terkuat di timur yaitu Blambangan. Bersama dengan Blambangan, Gamda adalah seteru dari Surabaya. Pajarakan (Pajarucam), Chamta, Panarukan (Panarunca) dan Chamdy/Chande di bawah kekuasaan Blambangan. Pate Blambangan adalah Pate Pimtor dan masih terhitung keponakan dari Guste Pate.
Dari gambaran di atas dapat di tarik kesimpulan situasi tahun 1513 sebagai berikut:
1. Daerah pesisir utara pulau jawa yang merupakan kota pelabuhan dan perdagangan sebagian besar sudah di kuasai oleh pemimpin muslim.
2. Wilayah Jawa bagian dalam yang jauh dari pantai masih di kuasai oleh Hindu Jawa termasuk tentunya di pusat kerajaan di Daha. Daerah sebelah timur Surabaya, yaitu Gamda dan Blambangan adalah Hindu dan sekutu yang kuat bagi kerajaan Hindu Jawa. Gamda di pimpin oleh anak Guste Pate dan Blambangan oleh keponakan Guste Pate.
3. Tuban menjadi sekutu kerajaan Hindu Jawa kala itu, dan merupakan pelabuhan yang penting untuk kerajaan Hindu Jawa yang secara posisi terletak jauh dari pantai
4. Meskipun Tom Pires tidak menyebutkan nama kerajaan Hindu Jawa tersebut, hanya pusat kotanya di Daha. Tapi dapat di pahami bahwa ini adalah kerajaan Majapahit, dari informasi bahwa yang menjadi raja adalah Batara Vigiaya (Bhre Wijaya), dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram (Bhre Mataram) yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Dua nama terakhir dapat kita telusuri di prasasti waringin pitu dan pararotan sebagai bagian dari dinasti Majapahit.
5. Kekuasaan Majapahit saat itu tersisa terutama di dareah timur Jawa, mulai dari sekitar Kediri ke timur sampai panarukan dan Banyuwangi. Sebelah utaranya berbatasan dengan Surabaya. Daerah-daerah timur Jawa ini di ceritakan sebagian besar Hindu dan masih loyal dengan Majapahit.
6. Tidak ada petunjuk atau cerita bahwa pernah terjadi perang terbuka antara Demak dan Majapahit yang di catat oleh Tom Pires di tahun 1513. Sehingga cerita tradisi yang menyatakan penyerangan Demak yang menyebabkan keruntuhan Majapahit di tahun 1478 (tahun saka 1400 dengan sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi”) masih bisa di perdebatkan kebenarannya. Yang dapat di pahami dari catatan Tom Pires adalah lepasnya wilayah-wilayah Majaphit terutama di pesisir utara pulau Jawa, dan itu terjadi karena kekuatan Majapahit yang sudah sangat lemah. Jika tidak tentunya pasukan Majaphit akan mengerahkan balatentaranya untuk menundukkan wilayah-wilayah tersebut, tapi itu tidak di lakukan oleh Majapahit
7. Cerita tradisi yang menyatakan bahwa raden Patah adalah anak keturunan raja Majapahit terakhir masih bisa di perdebatkan kebenarannya, karena dari catatan Tom Pires yang di buat pada masa Raden Patah masih hidup memberi kita informasi bahwa kakek raden Patah berasal dari rakyat biasa dari daerah Gresik yang kemudian menjadi Pate Cherimon sebagaimana sudah kita jelaskan di atas.
8. Penaklukan Majapahit oleh kerajaan Islam tentunya terjadi setelah tahun 1513, karena sesuai catatan Tom Pires kita mengetahui bahwa kerajaan Majapahit masih berdiri saat itu.
Kilas balik sejarah dan masa 35 tahun yang tak tertulis di pararotan
Berikut adalah urutan raja Majapahit dari tahun 1294 sampai tahun 1478 (sesuai yang tertulis di Pararotan):
1. Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya (1294–1309)
2. Jayanagara Raden Kalagemet (1309-1328)
3. Tribhuwana Wijayattunggadewi Dyah Gitarja (1328–1350)
4. Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk (1350–1389)
5. Wikramawardhana Hyang Wisesa (1389–1429)
6. Prabhu Stri Dyah Suhita (1429–1447)
7. Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya (1447–1451)
8. Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451–1453)
9. Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (1456–1466
10. Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1478)
Pararotan mengakhiri kisah raja-raja yang berkuasa sampai tahun 1478 dan masih bisa kita komparasikan dengan prasasti waringin pitu (1447), prasasti trawulan, syair banawa sekar dan prasasti pamintihan (1473).
Untuk prasasti Petak dan trailokyapuri yang di keluarkan tahun 1486, kita kesulitan untuk mengkomparasikan secara langsung karena tidak ada padanan informasinya dengan pararotan. Yang jelas masih ada raja Majapahit berdasarkan prasasti Petak dan trailokyapuri di tahun 1486. Kemudian hampir 35 tahun setelah tahun 1478, yaitu tahun 1513 ada bukti tertulis oleh Tom Pires seperti yang sudah kita singgung di atas.
Artinya paling tidak ada 35 tahun dari masa-masa akhir Majapahit yang tidak tertulis di Pararotan. Tapi sekarang kita punya petunjuk dari prasasti petak dan trailokyapuri, dan kita bisa merekonstruksi masa-masa ini dengan bukti tersebut dan menghubungkan alur ceritanya dengan pararotan dan prasasti yang di keluarkan sebelum tahun 1478.
Perlu di ketahui bahwa secara tradisi yang masyhur Majapahit runtuh tahun 1478, bertepatan dengan sengkalan yang di kenal luas masyarakat “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (“sirna” = hilang = angka 0, “ilang = hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = angka 4, “bumi” = angka 1).
Suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” = 0041, maka tahun yang dimaksud dengan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 saka atau 1478 M (pembacaan sengakalan adalah di baca terbalik)
Kebetulan sama dan cocok dengan tahun raja terakhir di pararotan. Namun dari analisis, kita akan melihat bahwa keruntuhan Majapahit di tahun 1478 tidak di dukung oleh fakta historis yang ada.
Prasasti waringin pitu dan transkrip pararotan
Ketika Rajasanagara Dyah Hayam Wuruk wafat (1389), dia di gantikan oleh menantunya Wikramawardhana Hyang Wisesa (yang menikah dengan Kusumawardhani, putri Hayamwuruk dari permaisuri). Pada masa ini perang paregreg yang terkenal itu terjadi (1405-1406) antara Bhre Wirabhumi dengan Wikramawardhana Hyang Wisesa. Bhre Wirabhumi adalah anak laki-laki Raja Hayamwuruk dari selir. Kemenangan ada di pihak Wikramawardhana Hyang Wisesa. Namun peperangan ini tampaknya sangat berpengaruh terhadap kekuatan Majapahit selanjutnya. Bahkan sebagian ahli sejarah meyakini bahwa perang paregreg ini adalah awal dari kemunduran majapahit.
Ketika Wikramawardhana Hyang Wisesa wafat (1429), dia di gantikan oleh putrinya dari permaisuri, Prabhu Stri Dyah Suhita. Karena putra mahkota yang pertama Rajakusuma (Hyang Wekas ing Sukha) meninggal di tahun 1399 sebelum di tahbiskan menjadi raja dan putra mahkota kedua Bhre Tumapel II wafat di tahun 1427 sebelum menjadi raja juga (Bhre Tumapel I adalah Kertawardhana Raden Cakradhara, suami Tribhuwana Wijayattunggadewi raja Majapahit ke-3).
Setelah kematian Bhre Tumapel II, selanjutnya Dyah Kertawijaya menjadi Bhre Tumapel III. Jabatan yang dia pegang sampai dia di angkat menjadi raja. Di pararotan: 32, tertulis “Tumuli bhre Tumapel angganteni prabhu”.
Kemudian Dyah Kertawijaya menggantikan Suhita yang wafat 1447. Dyah Kertawijya adalah adik dari Suhita. Dyah Kertawijaya berkuasa dari 1447 sampai 1451. Dia mengeluarkan prasasti Waringin Pitu tahun 1447, yang di dalamnya berisi daftar penguasa daerah-daerah di Majapahit kala itu. Dia sendiri di sebut sebagai “Sri Bhattara Prabhu”. Artinya dia yang berkuasa menjadi raja Majapahit saat itu. Nama gelar lengkap Dyah Kertawijaya yaitu “Wijayaparakramawardhana” juga di dapatkan dari prasasti waringin pitu ini, karena di parartotan sendiri tidak tertulis.
Berikut daftar yang tertulis di parasasti waringin pitu (L: Laki-laki, W: Wanita):
1. Sri Bhattara Prabhu, Wijayaparakramawardhana, Dyah Kertawijaya (L)
2. Bhattara ring Daha, Jayawardhani, Dyah Jayeswari (W)
3. Bhattara ring Jagaraga, Wijayendudewi, Dyah Wijayaduhita (W)
4. Bhattara ring Kahuripan, Rajasawardhana, Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (L)
5. Bhattara ring Tanjungpura, Manggalawardhani, Dyah Suragharini (W)
6. Bhattara ring Pajang, ……………….., Dyah Sureswari (W)
7. Bhattareng Kembang Jenar, Rajanandaneswari, Dyah Sudharmini (W)
8. Bhattareng Wengker, Girisawardhana, Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa (L)
9. Bhattara ring Kabalan, Mahamahisi, Dyah Sawitri (W)
10. Bhattara ring Tumapel, Singawikramawardhana, Dyah Suraprabhawa (L)
11. Bhattara ring Singhapura, Rajasawardhanidewi, Dyah Sripura (W)
12. Bhattara ring Matahun, Wijayaparakrama, Dyah Samarawijaya (L)
13. Bhattara ring Wirabhumi, Rajasawardhanendudewi, Dyah Pureswari (W)
14. Bhattara ring Keling, Girindrawardhana, Dyah Wijayakarana (L)
15. Bhattara ring Kalinggapura, Kamalawarnadewi, Dyah Sudayita (W)
Informasi dari prasasti waringin pitu di atas bisa di temukan padanannya di transkrip pararotan, kecuali empat nomor terakhir dari nomor 12 sampai nomor 15 yang tidak di temukan padanannya di pararotan untuk bisa mendapatkan rekonstruksi sejarah yang lebih jelas.
Bhre Daha dan misteri kalimat “Bhre Daha duk ajeneng ratu i saka manawa-pancagni-wulan”
Dalam Pararotan: 30 tertulis:
Anak bungsu Raja Wikramawardhana Hyang Wisesa: “putra pamungsu jalu bhre Tumapel sri Kertawijaya”
Juga anak bungsu bhre Pandansalas I: “Bhre Daha, kambil denira bhre Tumapel, sama pamungsu”
Dari pararotan kita tahu bahwa Dyah Kertawijaya menikah dengan Bhre Daha, keduanya sama-sama anak bungsu. Selanjutnya kita dapat simpulkan bahwa Bhre Daha tersebut harusnya adalah Jayawardhani Dyah Jayeswari yang berada di urutan no. 2 di waringin pitu.
Dyah Jayeswari ini adalah juga Bhre Daha yang tertulis di pararotan yang meninggal tahun 1464 pada masa Raja Girisawardhana, Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa.
Pararotan menggunakan nama gelar (bhre) berulang-ulang tanpa nama aslinya dalam alur cerita, sehingga misalnya Bhre Daha, kita memiliki setidaknya 5 orang yang berbeda dengan nama Bhre Daha dalam kurun waktu yang di ceritakan di pararotan. Bhre Daha I adalah Jayanegara Raden Kalagemet (Raja majapahit ke-2), Bhre Daha II adalah Rajadewi Maharajasa Dyah Wiyat (Putri Raden Wijaya dari istrinya Gayatri), Bhre Daha III adalah Rajasaduhita Indudewi (putri Dyah Wiyat), Bhre Daha IV adalah Dyah Suhita (Raja Majapahit ke-6) dan Bhre Daha V adalah Dyah Jayeswari (putri bungsu Bhre Pandan salas I).
Bhre Daha III Rajasaduhita Indudewi adalah yang meniggal antara tahun saka 1335 – 1338 (1413-1416) sesuai pararotan: 31
“Atelasan sira Gajah lembana i saka pawanagni-kaya-bhumi, 1335. Tigang tahun apatih tuhan Kanaka. Bhre Daha mokta. Bhre Matahun mokta. Bhre Mataram mokta. Tumuli palantaran agung i saka liman-kayangambah-lemah, 1338.”
Mari kita selesaikan masalah Bhre Daha ini secara lengkap, karena ada sebagian orang yang berpendapat bahwa telah terjadi pemberontakan oleh Bhre Daha pada tahun 1437 dimana di beritakan di pararotan: 31
“Bhre Daha duk ajeneng ratu i saka manawa-pancagni-wulan, 1359 (1437)”
Kita memang tidak memliki data yang tertulis jelas di pararotan bahwa Dyah Suhita adalah Bhre Daha sebelum menjadi raja, tapi dia jelas salah satu pewaris tahta dan pastinya punya gelar “Bhre” sebelum menjadi raja. Daha (dan juga Kahuripan) biasanya di berikan kepada orang yang sangat dekat dengan kekuasaan. Suaminya Dyah Suhita adalah Bhre Kahuripan V dan adiknya Dyah Kertawijaya adalah Bhre Tumapel III, sehingga gelar prestisius Bhre Daha kemungkinan besar di isi oleh Dyah Suhita. Ini sekaligus menjawab siapa yang menjadi Bhre Daha setelah kematian bhre Daha III, Rajasaduhita Indudewi pada sekitar tahun 1415. Dyah Suhita menjadi bhre Daha dari tahun 1415 sampai 1429 (tahun 1429 dia menjadi raja).
Perpindahan gelar seperti ini biasa tejadi, misalnya Dyah kertawijaya, ketika dia menjadi raja di tahun 1447, sesuai waringin pitu ada orang lain juga yang menjadi Bhre Tumapel menggantikan dirinya yaitu “Bhattara ring Tumapel, Singawikramawardhana, Dyah Suraprabhawa”. Jelas Suraprabhawa memperoleh gelar ini belum lama ketika prasasti ini di keluarkan. Hal yang mirip terjadi pada Hayamwuruk ketika dia menjadi Bhre Kahuripan menggantikan ibunya yang menjadi Raja.
Jika asumsi tersebut benar maka “Bhre Daha duk ajeneng ratu i saka 1359 (1437)” adalah proses suksesi yang umum dimana Dyah Jayeswari di angkat sebagai Bhre Daha pada tahun itu, menggantikan Dyah Suhita yang menjadi raja. Karakterisitik Pararotan juga selalu menggunakan kata “prabhu” sebagai raja yang berkuasa, dan bukan “ratu”.
Pertanyaannya adalah Dyah Suhita menjadi raja tahun 1429, kenapa Dyah Jayeswari menggantikan Bhre Daha 8 tahun kemudian di tahun 1437?
Untuk menjawabnya, kita kembali ke sengkalan “i saka manawa-pancagni-wulan”. Wulan adalah 1, agni adalah 2, panca adalah 5 dan manawa harusnya 1. Asumsi bahwa kata pertama manawa di artikan “nawa” yang artinya 9 adalah kurang tepat. Sebab “manawa” dalam bahasa sanskerta adalah manusia dan itu berarti 1. Jika memaksakan manawa berarti 9, maka harus menghilangkan “ma”.
Artinya “i saka manawa-pancagni-wulan” adalah tahun 1351 saka (1429), tepat ketika Dyah Suhita menjadi raja.
Ketika Dyah Suhita menjadi raja, maka posisi bhre Daha menjadi kosong dan pada saat ini Dyah Jayeswari yang suaminya adalah juga pewaris tahta yang sah adalah orang yang tepat menjadi Bhre Daha. Dyah Jayeswari adalah juga adik dari Aji Ratnapangkaja (suami Dyah Suhita)
Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa Bhre Daha yang menerima gelar tahun 1437 (tepatnya 1429, sesuai penjelasan di atas) dan Bhre Daha yang menjadi istri Dyah Ketawijaya di tahun 1447 sesuai waringin pitu adalah orang yang sama.
Hal yang menakjubkan adalah bahwa jika benar Bhre Daha yang meningal di tahun 1464 (masa raja Dyah Suraprabhawa) adalah orang yang sama pula, maka jelaslah bahwa dia adalah orang yang sangat penting di istana. Dia adalah istri raja Dyah Kertawijaya, dan ketika suaminya meninggal dia adalah ibu suri bagi tiga raja selanjutnya Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara, Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa, dan Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa.
Mungkinkah ini sebabnya pengangkatan Bhre Daha dan kematiannya di tulis secara jelas di Pararotan? Karena waktu yang begitu lama dia sebagai Bhre Daha dan posisinya yang sangat penting dan di hormati di istana.
Suksesi Kepemimpinan Setelah Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya
Kita mulai dari apa yang tertulis di pararotan sebagai berikut:
“Bhre Pamotan ajeneng ing Keling, Kahuripan, abhisekanira sri Rajasawarddhana. Mokta sang Sinagara, dhinarma ring Sepang i saka wisaya-kudanahut-wong, 1375.”
“Telung tahun tan hana prabhu”.
“Tumuli bhre Wengker prabhu, bhisekanira bhra Hyang purwawisesa, i saka brahmana-saptagnyanahut-wulan, 1378. Tumuli guntur palandep i saka pat-ula-telung-wit, 1384. Bhre Daha mokta i saka gana-brahmanagni-tunggal, 1386. Bhra Hyang purwawisesa mokta, dhinarma ring Puri, i saka brahmana-nagagni-sitangsu, 1388. Tumuli bhre Jagaraga mokta”.
(Pararotan:32)
Kita tidak kesulitan untuk mengidentifikasi bahwa sesudah Dyah kertawijaya wafat, dia di gantikan oleh Sang Sinagara yang bergelar Rajasawardhana, Dyah Wijayakumara Sang Sinagara, persis seperti tertulis di prasasti waringin pitu. Pada masa prasasti waringin pitu di keluarkan dia adalah Bhre Karuripan, dan sebelumnya dia adalah Bhre Keling dan Bhre Pamotan sebagaimana tertulis di pararotan. Perpindahan gelar ini adalah sesuatu yang umum terjadi sebagaimana pernah kita singgung sebelumnya. Rajasawardhana memerintah dari tahun 1451 -1453 (tahun saka 1373 -1375)
Tiga tahun tidak ada raja, dan selanjutnya Bhre Wengker menjadi raja di tahun 1456 (tahun saka 1378) dan memerintah sampai tahun 1466 (tahun saka 1388), dengan gelar yang sama di prasasti wairingin pitu sebagai Girisawardhana, Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa
Selanjutnya kita sampai di akhir kisah pararotan sebagai berikut:
“Bhre Pandan salas ajeneng in Tumapel, anuli prabhu i saka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388, prabhu rong tahun. Tumuli sah saking kedaton. Putranira sang Sinagara, bhre Koripan, bhre Mataram, bhre Pamotan, pamungsu bhre Kertabhumi, kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kedaton i saka cunya-nora-yuganing-wong, 1400 (1478). Tumuli guntur pawatu gunung i saka kayambara-segareku, 1403 (1481)”
Berdasarkan prasasti waringin pitu kita mengetahui Bhre Tumapel adalah Dyah Suraprabhawa. Tentunya dengan asumsi yang sama “Bhre Pandan salas ajeneng in Tumapel, anuli prabhu" adalah Dyah Suraprabhawa. Dia adalah Bhre Tumapel IV Dyah Suraprabhawa yang pada tahun 1466 menjadi raja Majapahit.
Untuk memeperkuat kesimpulan ini kita jelaskan lebih detail di bawah ini:
1. Bhre Pandan salas ajeneng in Tumapel, merujuk ke satu masa lalu dimana dia adalah Bhre Pandan Salas kemudian menjadi Bhre Tumapel. Kemudian pada tahun 1466 (tahun saka 1388), dia dari Bhre Tumapel menjadi Raja Majapahit menggantikan Hyang Purwawisesa yang meninggal. Kakeknya dari pihak ibu yaitu Ranamangala Raden Sumirat adalah Bhre Pandan Salas I, sehingga ada kemungkinan sebelum prasasti waringin pitu di keluarkan tahun 1447, dia menjabat sebagai Bhre Pandan salas
2. " prabhu rong tahun”, artinya tahun 1468, merujuk pada keterangan waktu yaitu saat kepergian anak-anak sang sinagara dari keraton, bukan kepergian sang raja atau berakhirnya pemerintahan. Karena pada tahun 1473 sang raja yaitu Dyah Suraprabhawa masih mengeluarkan prasasti Pamintihan yang menunjukkan dia masih berkuasa di majapahit.
3. Sang raja yang di sebut di awal paragraf yang menjadi raja di 1466 (anuli prabhu i saka 1388) adalah orang yang sama dengan orang yang di sebutkan di akhir paragraf “kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kedaton i 1400”.
4. Alur cerita di transkrip pararotan mempunyai karakteristik umum bahwa bila ada raja yang meninggal akan di sebutkan penggantinya dan biasanya di mulai dari kedudukannya sebelum menjadi raja. Sedangkan di paragraf ini cerita tentang pengangkatan raja hanya merujuk satu orang yaitu “Bhre pandan salas anjeneng ing tumapel, anuli prabhu i saka 1388”. Artinya “prabhu rong tahun” bukan waktu wafatnya raja yang di angkat tahun 1466.
5. Raja yang meninggal di tahun 1478 adalah paman dari putra sang sinagara. Kata-kata “kapernah paman” jelas di merujuk pada posisi “bhre prabhu” di kalimat selanjutnya, yaitu bahwa posisi “bhre prabhu” tersebut adalah paman dari anak-anak sang sinagara.
6. Kata “paman” dan “bhre” di pisahkan oleh koma, yang tidak bisa di artikan “pamannya dari raja”. Karena ada sebagian yang mengartikan “bhre kertabhumi sebagai paman dari raja yang meninggal di tahun 1478” (dengan asumsi ini kita tidak tahu pasti siapa raja ini dan kapan dia di angkat). Jika mau di artikan dengan “pamannya dari raja” kalimatnya seharusnya “pamanira bhre prabhu”, sebagaimana frasa “putranira sang sinagara” yang artinya “anak-anak sang sinagara” (ada tambahan “ira”). Oleh karena itu kata “kapernah” seharusnya menunjukkan hubungan kekeluargaan untuk orang di kalimat selanjutnya. Ini selaras dengan karakterisitik kalimat lain di pararotan “kapernah kaponakan denirapanji Tohjaya” yang artinya “panji Tohjaya sebagai seorang keponakan”.
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Sinagara dan raja yang meninggal di tahun 1478 adalah bersaudara. Sekaligus kita dapat menyimpulkan bahwa raja yang meninggal itu adalah Singawikramawardhana, Dyah Suraprabhawa (yang naik tahta di tahun 1466) dan yang kematiannya tidak di sebutkan di kalimat sebelumnya.
Pertanyannya adalah apa yang menyebabkan anak-anak sang sinagara pergi dari keraton? Apakah tanpa sebab anak-anak sang sinagara tiba-tiba di munculkan? Apakah ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.
Bhre Daha Dyah Jayeswari yang merupakan ibu suri meninggal tahun 1464, dua tahun sebelum Dyah Suraprabhawa naik tahta. Apakah dengan meninggalnya tokoh senior yang juga merupakan nenek dari anak-anak sang sinagara, perseteruan politk menjadi lebih berani dan terbuka?
Sekilas Prasasti Trawulan III
Prasasti Trawulan di temukan di desa trawulan, hanyalah sebuah fragmen yang tidak lengkap, dan di fragmen yang di temukan tidak ada identitas raja yang mengeluarkan maupun tanggal dan alasan pembuatannya. Tapi di fragmen prasasti yang masih terbaca jelas tertulis empat nama penguasa wilayah dengan urutan persis seperti di prasasti waringin pitu yang no 9 sampai no 12 di atas, yaitu Dyah Sawitri penguasa Kabalan, Dyah Suraprabhawa penguasa Tumapel, Dyah Sripura penguasa Singhapura, Dyah Samarawijaya penguasa Matahun. Dari indikasi ini dapat di asumsikan bahwa prasasti trawulan III ini di keluarkan tidak jauh dari tahun 1447 dimana prasasti waringin pitu di keluarkan dan kemungkinan besar di keluarkan oleh raja yang sama yaitu Dyah Kertawijaya.
Terjemahan dari trawulan III mengindikasikan bahwa Bhre Singhapura Dyah sripura, dan Bhre Tumapel Dyah Suraprabhawa, adalah suami istri. Hubungan kekerabatan yang lain juga di temukan dalam prasasti ini antara Dyah Suraprabhawa dengan raja, yang mengindikasikan dia adalah putra termuda dari raja. Dengan indikasi ini kita bisa mengatakan harusnya ada putra yang lain yang merupakan kakaknya. Dengan mengkomparasikan prasasti waringin pitu dan trawulan III, kemungkinan besar Bhre Wengker Girisawardhana adalah kakak dari Suraprabhawa.
Yang tidak terindikasi secara jelas dari prasasti trawulan III adalah Rajassawardhana. Tapi melihat kenyataan yang ada bahwa posisinya di prasati waringin pitu langsung di bawah raja, dan posisinya sebagai Bhre Kahuripan yang tampaknya di dapatkan setelah kematian Aji Ratnapangkaja tahun 1446 dan tak lama setelah Dyah Kertawijaya menjadi raja (Aji Ratnapangkaja adalah suami Dyah Suhita), juga dalam suksesi aktual kepemimpinan dia adalah yang menggantikan Dyah Kertawijaya. Dapat di simpulkan bahwa empat raja yang naik tahta secara berturut-turut di perode 1447 sampai 1466, adalah ayah, anak pertama, anak kedua, dan anak ketiga.
Rekonstruksi sejarah Majapahit setelah tahun 1478
Penyebutan anak-anak sinagara selanjutnya di temukan di syair banawa sekar, karya Mpu Tanakung. Syair tersebut mendeskripsikan persembahan yang di berikan oleh beberapa penguasa daerah pada upacara perayaan sraddha untuk seorang raja (prabhu) yang telah meninggal, yang nama anumertanya “sang mokta maluy in somyalaya”. Tidak di ketahui nama gelar sang prabhu ketika masih hidup, tapi syair tersebut menyebutkan gelar-gelar orang yang menyerahkan persembahan, yaitu Krtabhumi, Mataram, Pamotan, Lasem, dan kahuripan. Selain Lasem, nama yang lain adalah sama dengan gelar anak-anak Sang Sinagara di pararotan. Ada kemungkinan yang besar bahwa orang-orang ini adalah anak-anak Sang Sinagara. Di pembukaan syair tertulis bahwa upacara sraddha di selenggarakan oleh penguasa Jiwana (winangun Sri Jiwanendradhipa). Jiwana adalah nama lain dalam bahasa sanskerta sebagai Kahuripan. Jadi penguasa Jiwana adalah penguasa Kahuripan/Bhre Kahuripan. Dan Bhre kahuripan adalah anak tertua dari Sang Sinagara. Karena upacara sraddha di lakukan oleh keturunan langsung, kemungkinan besar bahwa “prabhu” yang nama anumertanya “sang mokta in somyalaya” dimana sraddha ini di lakukan tidak lain adalah Sang Sinagara.
Yang terakhir dan yang tertinggi, orang yang di sebutkan hadir dalam upacara sraddha, yang memberikan bunga perahu yang indah (banawa sekar) sebagai pemberiannya, adalah seorang raja, karena di lihat dari gelarnya “sri prabhu nata”. Meskipun namanya tidak di sebut, kemungkinan besar dia adalah pengganti dari Sang Sinagara, yaitu Raja Girisawardhana yang naik tahta di tahun 1456, 3 tahun setelah kematian Sang Sinagara.
Jika benar yang datang adalah raja Girisawardhana, tentunya upcara sraddha ini tidak di lakukan segera setelah kematian sang raja karena tidak ada raja selama tiga tahun dan kemudian di putuskan untuk melakukan upacara sraddha agung 12 tahun setelah kematian. Itu mungkin kenapa di akhir syair di sebut “mahasraddha”. Artinya pula upacara sraddha ini di laksanakan tahun 1465.
Jika asumsi di atas benar maka dap t di tarik kesimpulan bahwa tidak ada konflik dalam kenaikan tahta raja Girisawardhana. Karena dia datang di upacara sraddha yang di selenggarakan anak-anak Sang Sinagara. Salah satu kemungkinan mengapa putra tertua Sang Sinagara tidak menggantikan ayahnya adalah dia masih terlalu kecil ketika kematian ayahnya dan juga ketika pamannya Girisawardhana naik tahta tahun 1456. Mungkin inilah mengapa anak-anak singara juga tidak di sebutkan di prasasti wairigin pitu sebab mereka belum lahir saat itu. Jika benar maka pada tahun 1453, anak tertua mereka baru 6 tahun dan berusia 9 tahun ketika Girisawardhana naik tahta.
Selanjutnya bagaimanakah hubungan antara Dyah Suraprabhawa dan anak-anak Sang Sinagara?
Jika kita mengasumsikan “prabhu rong taun, tumuli sah saking kedaton” sebagai kelanjutan dari kalimat sebelumnya (yaitu Suraparbhawa sebagai subyek), maka memang bisa di interpreatsikan bahwa yang meninggalkan keraton adalah Raja Suraprabhawa setelah dua tahun menjadi raja. Tapi ini meninggalkan tanda tanya, kenapa ia melakukannya?
Dan kalaupun ini benar dia harusnya kembali ke keraton lagi pada suatu waktu, sebab di akhir pararotan di ceritakan dia meninggal di keraton: “kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton”.
Selain itu juga dengan asumsi di atas kita akan menemui kejanggalan kenapa tiba-tiba tokoh anak-anak sang sinagara di perkanalkan tanpa sesuatu maksud apapun.
Sebaliknya, jika yang meniggalkan keraton bukan Raja Suraprabhwa, tapi anak-anak sang sinagara, maka artinya sang raja tidak pernah pergi dari Majapahit. Akhirnya alasan kenapa anak-anak sang sinagara di perkenalkan di sini menjadi jelas, yaitu mereka pergi dari istana karena paman mereka menjadi raja. Sedangkan saat itu anak tertua Sang Sinagara, Bhre Kahuripan telah cukup dewasa dan merasa berhak jadi raja daripada pamannya Suraprabhawa. Interpretasi ini meskipun sangat memungkinkan tapi memerlukan satu penjelasan bahwa “tumuli sah saking kedaton” adalah pembuka kalimat untuk kalimat selanjutnya yaitu anak-anak Sang Sinagara.
Kesimpulannya, terjemahan dari pararotan: ..Prabhu rong tahun. Tumuli sah saking kadaton putranira sang Sinagara…” maksudnya adalah “ …(Suraprabhawa) menjadi raja selama dua tahun. Kemudian anak-anak sang Sinagara pergi dari Kraton…”.
Berdasarkan interpretasi di atas, Pararotan secara tersirat memberitakan perseteruan antara Raja Suraprabhawa dengan anak-anak Sang Sinagara. Tapi tetap tidak dapat di pastikan apakah tindakan kepergian anak-anak Sang Siangara ini memberikan suatu peristiwa lanjutan dan apakah mereka menggantikan paman mereka yang meninggal di tahun 1478. Pararotan tidak memberitahukan kelanjutan kisahnya.
Tapi yang pasti masih ada kerajaan Majapahit setelah tahun 1478, sebagimana kita ketahui dari prsasasti Petak dan Trailokyapuri (tahun 1486). Juga informasi dari Tom Pires yang menceritakan bahwa Sang Sinagara di gantikan oleh anaknya Bataram Mataram (Bhre Mataram) dan kemudian Batara Vigiaya (Bhre Wijaya), yang kala itu menjadi raja Hindu jawa ketika Tom Pires mengunjungi Jawa tahun 1513. Secara tradisi masyhur bahwa Bhre Wijaya adalah raja terakhir Majapahit.
Prasasti Petak dan Trailokyapuri
Prasasti Trailokyapuri (Prasasti Jiyu) terdiri dari 4 prasasti yaitu Trailokyapuri I, II dan IIIa,IIIb yang di simpan di museum Mojokerto, sementara prasasti Petak terletak di desa Kembang Sore, dusun dukuh.
Prasasti Petak dan Trailokyapuri memiliki arti penting dalam sejarah politik di pulau Jawa karena memberitakan pada kita bahwa masih ada Kerajaan Hindu Majapahit setelah tahun 1478. Yang mana secara tradisi tahun 1478 adalah tahun keruntuhan total Majapahit. Namun prasasti ini memberikan pengetahuan pada kita bahwa tradisi ini tidak berdasarkan fakta historis.
Prasasti Petak dan Trailokyapuri I di keluarkan oleh Raja (bhatara prabhu) yang bernama Sri Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Trailokyapuri III di keluarkan oleh Sri Girindrawardhana Sri Singhawardhana Dyah Wijayakusuma. Dyah Wijaya kusuma adalah penguasa Keling (sri maharaja bhattare Keling) dan bukan raja. Tapi dapat di simpulkan Dyah Ranawijaya dan Dyah Wijayakusuma memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.
Trailokyapuri III menceritakan sebuah perintah dari Dyah wijayakusuma (dengan segel dari raja) untuk menjadikan desa sawek, pung, talasan dan batu menjadi tanah sima/perdikan dan diberikan pada pendeta Brahmaraja Ganggadhara. Selanjutnya prasasti menceritakan bahwa tugu tapal batas telah di letakkan dan perintah telah di tuliskan, namun tiba-tiba Dyah Wijayakusuma meninggal. Karena Dyah Wijayakusuma meninggal maka pendeta Brahmaraja meminta pertolongan Raja Dyah Ranawijaya melalui bhramana Madhawacarya dan patih Mahawirottama Pu Wahan. Raja Dyah Ranawijaya selanjutnya menegaskan kembali perintah Dyah Wijayakusuma.
Hubungan antara Raja Dyah Ranawijaya dan Dyah Wijayakusuma tidak bisa di pastikan dengan jelas melalui prsasasti ini, apakah hubungan saudara ataukah hubungan ayah-anak. Tapi dari prasasti tersebut bahwa Dyah Wijayakusuma sebagai penguasa Keling dapat membawa dan menggunakan segel raja, artinya hubungan mereka sangat dekat dan tampaknya berbeda dari pemimpin wilayah yang lain kala itu.
Kilas balik ke prasasti waringin pitu, kita menemukan juga bahwa nama Girindrawardhana di sebutkan sebagai salah satu penguasa Keling, dengan nama “Bhattara ring Keling, Girindrawardhana, Dyah Wijayakarana”. Tentunya penguasa Keling bernama Girindrawardhana di prasasti waringin pitu (di keluarkan tahun 1447), bukanlah orang yang sama dengan raja Dyah Ranawijaya atau Dyah Wijayakusuma (penguasa keling) yang di sebutkan di prasasti petak maupun Trailokyapuri yang di keluarkan tahun 1486. Mereka adalah tiga orang yang berbeda, walaupun memiliki nama depan yang sama “Girindrawardhana”. Sekaligus memberi kita informasi bahwa Girindrawardhana bukan sebuah dinasti baru, sebab nama itu juga sudah muncul di prasasti waringin pitu. Kemungkinan Girindrawardhana lebih ke arah nama keluarga yang merupakan salah satu keluarga kerjaaan majapahit.
Menariknya di prasasti Petak di ceritakan kemenangan melawan majapahit (yudha lawan ing majapahit) dan perhargaan dari Girindrawardhana kepada mereka yang telah melakukan serangan itu dan meraih kemenangan.
Sebagian orang berasumsi bahwa raja Girindrawardhana sebagai penguasa Daha yang menyerang dan mengalahkan majapahit, kemudian di mendirikan dinasti baru “Girindrawardhana”, dan di yakini tahun itu adalah tahun 1478, sesuai dengan tradisi bahwa keruntuhan Majapahit adalah di tahun 1478.
Tapi asumsi ini memilki pertanyaan tak terjawab.
1. Pertama, Daha tidak di sebutkan di prasasti tersebut. Orang yang melakukan serangan di sebut “sang munggw ing Jinggan”, yang bermakna “ dia yang berdiam di jinggan”. Atau lebih tepat di sebut “penguasa dari Jinggan”, dengan analogi yang sama untuk “sang munggw ing Lasem” di Negarakertagama yang berarti “penguasa Lasem”. Meskipun demikian, secara tertulis tidak di ketahui siapakah sebenarnya “sang munggw ing Jinggan” tersebut. Selanjutnya kemenangan itu di sebutkan dengan kata “kadigwijayan”, kata yang sama yang di gunakan di Negarakertagama (Pupuh 94: 2) untuk medeskripsikan ketika raja Hayamwuruk adalah raja. Dengan asumsi yang sama, setelah kemenangan ini “sang munggw ing Jinggan” menjadi raja Majapahit.
2. Kedua, isi dari prasasti dengan jelas menunjukkan bahwa bukan Girindrawardhana yang menjadi raja setelah kemenangan itu. Prasasti itu pada dasarnya adalah peneguhan kembali dari Raja Girindrawardhana akan sebuah pemberian oleh raja sebelumnya kepada pendeta Brahmaraja Ganggadhara karena telah membantu kemenangan “sang munggw ing Jinggan” ketika berhadapan dengan Majapahit (hamrih kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit). Sebagai hadiah perhagaan kepada pendeta Brahmaraja Ganggadhara, di berikanlah desa Petak kepada Brahmanraja oleh dua orang yang di sebutkan dengan gelar anumerta mereka sebagai “sang mokta ring Amrttawisesalaya” dan “sang mokteng Mahalayabhawana”. Yang pertama bergelar “bhatara prabhu” yang pastinya adalah seorang raja dan yang satunya kemungkinan adalah seorang penguasa wilayah (Bhre). Karena orang yang memberi pengahargaan kepada pendeta Brahmaraja Ganggadhara pastinya orang yang merasa mendapatkan pertolongan yang sangat siginifikan, maka kemungkinan besar bahwa “Amrttawisesalaya” adalah yang menjadi raja yang mendapatkan kemenanga saat perang melawan Majapahit, yang mana dia adalah “sang munggw ing Jinggan”. Dan Girindrawardhana, yang meneguhkan kembali anugerah pemberian “Amrttawisesalaya” adalah jelas sang penerus tahtanya.
3. Dalam prasasti trailokyapuri I terdapat penyebutan Raja Girindrawardhana sebagai “Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri prabhu natha.” Wilwatikta adalah Majapahit dalam bahasa Sanskerta. Dan penyebutan “wilwatiktapura” mengindikasikan bahwa sang raja berdiam di Majapahit, sebagaimana Raja Hayamwuruk juga di sebut “tikta-wilwa-pura-raja” dalam negarakertagama (pupuh 73:1). Kata-kata “Janggala Kadiri” secara tradisi dapat berarti menunjukkan kekuatan/kejayaan sebagai kerajaan Jawa. Tidak ada istilah dalam prasasti yang merujuk bahwa dia berdiam di Daha, atau Kadiri atau yang lain, tapi jelas di istana Majapahit
Kesimpulannya adalah tidak ada dinasti baru, tapi peperangan antar elit kerajaan Majapahit kala itu yang masih sedarah, entah dari keturunan Sang Sinagara melawan keturunan Suraprabhawa atau yang lain.
Parasasti trailokyapuri I (di keluarkan Raja Girindrawardhana) dan trailokyapuri III oleh Dyah Wijayakusuma menyebutkan perintah kerajaan kepada pendeta Brahmaraja Ganggadhara untuk melaksanakan upacara sraddha agung/sempurna (dwadasawara sraddha sampurna), untuk seseorang yang namanya di tulis di trailokyapuri III sebagai “Sri paduka bhattara ring Dahanapura” (gelar) dan “Sang Mokteng Indranibhawana” (anumerta). Yang tentunya meninggal 12 tahun yang lampau di tahun 1474. Dari penyebutan anumerta-nya “Indrani”, dapat di simpulkan bahwa dia seorang wanita.
Karena Raja Dyah Ranawijaya dan Dyah Wijayakusuma yang menyelenggarakan upacara sraddha ini untuk “bhattara ring Dahanapura”, tentunya mereka adalah orang yang sangat dekat dengan mereka dalam urutan kekerabatan, bisa ibu atau nenek. Tahun kematiannya menunjukkan bahwa dia mendapatkan gelar “bhattara ring Dahanapura” sewaktu masih hidup adalah ketika pemerintahan Suraprabhawa (1466- 1478) atau pendahulunya Raja Girisawardhana (1456-1466). Tapi yang jelas setelah tahun 1464, yaitu tahun kematian penguasa Daha sebelumnya (Bhre Daha V), Dyah Jayeswari . Dari sejarahnya Bhre Daha selalu orang yang dekat dengan pemerintahan ataupun raja. Sementara istri dari Raja Girisawardhana, Dyah Sawitri telah wafat sebelumnya di tahun 1449.
Mungkinkah wanita yang bergelar “bhattara ring Dahanapura” yang meninggal tahun 1474 ini adalah Bhre Singhapura (yaitu Dyah Sripura) dalam prasati wairingin pitu, yang merupakan istri Suraprabhawa, yang kemudian menjadi bhre Daha setelah kematian Bhre Daha V, Dyah Jayeswari di tahun 1464? Jika asumsi ini benar maka Raja girindrawardhana dyah Ranawijaya adalah anak atau cucu Raja Suraprabhawa. Dan tentunya Girindrawardhana bukanlah sebuah dinasti baru yang menyerang Majapahit, melainkan keluarga kerajaan yang melawan keluarga kerajaan yang lain dalam satu dinasti.
Meskipun demikian, karena kita tidak bisa memastikan juga apakah Bhre Singhapura masih hidup sampai tahun 1464, nama lain yang bisa menjadi kemungkinan adalah istri Raja Rajasawardhana, yaitu “Bhre Tanjungpura” Manggalawardhani, Dyah Suragharini (janda Raja Rajasawardhana Sang Sinagara). Sekali lagi jika asumsi ini benar maka Dyah Ranawijaya adalah keturunan langsung dari Sang Sinagara dan tentunya bukan dinasti baru juga, tapi masih keluarga kerajaan Majapahit sendiri.
Dengan dua asumsi di atas baik Dyah Ranawijaya adalah keturunan Raja Rajasawardhana atau Raja Suraprabhawa tentunya dia memiliki legitimasi untuk menjadi raja. Kata-kata “yudha lawan in majapahit” yang tertulis dalam prasasti Petak bukanlah pemberontakan untuk menaklukan Majapahit, tapi perang antar keluarga kerajaan karena masing-masing merasa berhak menjadi raja. Bisa di artikan sebagai perang sipil (civil war) antara dua keturunan raja Majapahit, antara keturunan Raja Rajasawardhana melawan ketururan Raja Suraprabhawa. Yang masing-masing merasa berhak menjadi raja. Dan orang yang menggantikan Raja Suraprabhawa yang meninggal tahun 1478, dalam hal ini adalah pihak yang di serang. Dan pihak penyerang entah itu dari keturunan Sang Sinagara atau Dyah Suraprabhawa adalah yang memperoleh kemenangan. Akhirnya kekuasaan Raja Dyah Ranawijaya yang kita mengetahui dari Prasati Petak adalah kelanjutan dari kemenangan yang di peroleh pendahulunya tersebut.
Sampai di sini kita tidak bisa berasumsi lebih jauh, karena data dan fakta historis yang ada saat ini tidak mengijinkan asumsi lebih lanjut, kecuali hanya sebuah spekulasi lanjutan. Jika kelak di kemudian hari di temukan bukti baru yang berkaitan dengan masalah ini, mungkin bisa di dapat kepastian dan kesimpulan baru.
Kesimpulan
Bukti-bukti sejarah baru baik dari prasasti Waringin Pitu, Syair Tanakung, prasasti Petak dan Trailoyapuri serta catatan Tom Pires di bukunya Suma Oriental, memungkinkan kita untuk memperbandingkan dengan Pararotan sehingga bisa merekonstruksi kembali situasi yang terjadi di masa-masa akhir dinasti Majapahit.
Dari analisis di atas dapat di ketahui bahwa tidak ada petunjuk atau indikasi telah terjadi pemberontakan oleh Bhre Daha di tahun 1437. Yang terjadi adalah pengangkatan Dyah Jayeswari sebagi Bhre Daha seperti yang kita telah bahas sebelumnya.
Juga tidak ada indikasi yang kuat bahwa telah terjadi pemberontakan ketika Raja Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara wafat di tahun 1453, meskipun dia tidak di gantikan oleh salah satu putranya. Dan setelah tiga tahun tidak ada raja, adik Sang Sinagara yaitu Girisawardhana menjadi raja. Meskipun tampaknya pergantian raja ini di rasa tidak seperti pada umumnya tapi sang raja datang menghadiri upacara sraddha yang di laksanakan oleh anak-anak Sang Sinagara di tahun 1465. Hal yang paling mungkin kenapa anak-anak sang Sinagara tidak menggantikan ayahnya di tahun 1453 adalah mereka masih terlalu kecil saat itu sehingga pergantian tahta dari Sang Sinagara ke Girisawardhana di lalui dengan damai.
Tiga raja Majapahit yaitu Raja Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451-1453), Girisawardhana Dyah Suryawikrama Hyang Purwawisesa(1456-1466) dan Singahwikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466-1478) adalah berturut-turut anak pertama, kedua dan ketiga dari Raja Dyah Kertawijaya sebagaimana yang terindikasi di prasasti waringin pitu. Mereka masih memerintah di keraton Majapahit sebagamana terindikasi di prasasti pamintihan yang di keluarkan Raja Dyah Suraprabhawa tahun 1473, yang masih menyebut dirinya sebagai “siratah prabhu wisesa i bhumi jawa magaprakaram janggala mwa kadiri”.
Sementara itu Raja Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Petak dan Trailokyapuri di tahun 1486, oleh sebagian orang di anggap sebagai penguasa Daha yang menyerang dan meruntuhkan Majapahit kemudian mendirikan dinasti baru. Tapi dari analisis di atas kita dapat menyimpulkan bahwa dia pun sebenarnya adalah masih dari dinasti Majapahit, entah dari keturuan Sang Sinagara atau dari keturunan raja Dyah Suraprabhawa. Dan perang yang di maksudkan melawan Majapahit sesuai prasasti Petak, sebenarnya tak lebih dari perang saudara antar keturunan raja Majapahit karena masing-masing merasa berhak menjadi raja. Perang ini pastinya terjadi di waktu tertentu antara tahun 1478 dan 1486. Dan pihak penyerang di pastikan adalah pemenangnya, yang kemudian tahta kerajaan di teruskan oleh penerusnya yaitu Dyah Ranawijaya.
Perang saudara ini mungkin sekali bermula dari kematian Sang Sinagara yang tidak di gantikan oleh anak-anaknya. Dan di kemudian hari menjadi konflik terbuka sesudah wafatnya Raja Girisawardhana Dyah Suryawikrama yang di gantikan oleh Dyah Suraprabhawa, bukan anak-anak Sang Sinagara. Padahal saat itu anak-anak Sang Sinagara sudah cukup dewasa.
Tapi dapat di pastikan bahwa masih terdapat kerajaan Majapahit sampai tahun 1486 dan masih bertempat di Majapahit. Keruntuhan Majapahit tidak terjadi kecuali paling tidak sekitar 40 tahun kemudian dan pastinya setelah tahun 1513, sebagimana kita ketahui bahwa Tom Pires masih mencatat keberadaan kerajaan Majapahit pada tahun 1513.
Di awal tahun 1400-an, Majapahit telah kehilangan pengaruhnya di luar Jawa, dan ini merupakan kemunduran karena pada masa Raja Hayamwuruk dan Mahapatih Gadjah Mada pengaruh Majapahit hampir meliputi seluruh Asia Tenggara. Namun demikian Majapahit tetap menjadi kerajaan terbear di pulau Jawa sampai menjelang tahun 1500-an. Kerajaan masih terletak di keraton Majapahit dan sesekali masih mengeluarkan prasasti yang berarti masih ada aktifitas keagamaan maupun kebudayaan. Seperti penyelenggaraan upacara sraddha masih di lakukan tahun 1465 dan 1486, serta penemuan prasasti waringin pitu yang di keluarkan tahun 1447 dan Trailokyapuri yang di keluarkan tahun 1486. Bahasa Sanskerta juga masih di gunakan secara baik di kalangan keraton sebagaimana bahasa yang di gunakan di prasasti dan syair Tanakung. Analisis terhadap prasasti waringin pitu dan bukti otentik yang lain memungkinan kita untuk melakukan interpretasi yang lebih baik terutama di bagian akhir transkrip pararotan. Namum secara umum informasi yang tertulis di akhir pararotan cukup konsisten dengan informasi dari prasati waringin pitu dan yang lainnya. Sehingga cukup bisa di anggap sebagai sumber historis dengan mengkombinasikan juga pada sumber otentik yang lain.
Kepastian peran anak-anak sang Sinagara dan hubungannya dengan Raja Girindrawardhana tetap tidak bisa di pastikan seratus persen karena masih ada “jurang pemisah” yang masih gelap antara akhir pararotan dan prasasti yang di keluarkan di tahun 1486. Sehingga hasil akhirnya adalah masih berupa beberapa kemungkinan terbesar yang bisa di ambil dengan fakta historis yang di miliki saat ini. Dan hanya jika fakta historis baru di temukan maka rekonstruksi yang lebih baik bisa di lakukan. Tidak menutup kemungkinan bukti baru yang datang menjadikan kesimpulan yang berbeda dari beberapa asumsi yang kita buat sekarang
Referensi
· J. Noorduyn, Majapahit in the fifteenth century
· A. Cortesao, The Suma Oriental of Tom Pires, an account of East from the Read Sea to japan, written in Malaccca and India in 1512-1513
· Transkrip Pararotan
· Genealogy of Majapahit Dynasty
No comments:
Write komentar