Portal Newsindo - Sejak lama agenda untuk memecah belah Indonesia sudah dilakukan oleh kelompok-kelompok yang ingin menguasai negeri ini.
Isu itu semakin kencang pada era pemerintahan Jokowi ini, dimana banyak yang kecewa berat ketika Jokowi membelokkan ekonomi yang dulu berkiblat ke barat, sekarang lebih condong ke timur. Mereka yang dulu berpesta-pora menggunakan model kapitalis harus mulai menahan ujung dompetnya ketika Indonesia mengarah ke sosialis.
Karena itu, untuk menghambat laju perekonomian negara kita yang diramal kedepannya akan memimpin ASEAN, maka dihembuskanlah berbagai isu mulai rasial, PKI sampai agama. Ini barang dagangan yang cepat laku di Indonesia. Yang rasial dibakar dgn api kecemburuan, PKI dengan ketakutan dan agama dibungkus dengan kefanatikan.
Bergaungnya masalah surat Al Maidah 51 untuk menghambat Ahok sebagai Gubernur DKI, sejatinya diharapkan mempunyai skala yang lebih luas. Ahok hanya sebagai jembatan saja, tapi yang diincar adalah kerukunan umat beragama di Indonesia.
Situasi yang terjadi menguji hubungan antar agama di Indonesia. Seakan-akan dengan bekal ayat-ayat Al-quran yang menjadi pegangan mayoritas penduduk Indonesia, membuat agama lain tidak berhak untuk memimpin negara ini.
Jelas ini berbahaya, bisa memantik kecemburuan di beberapa wilayah dimana umat muslim menjadi minoritas. Mereka yang beragama Kristen, Hindu dan Budha yang dulu kakek dan neneknya berjuang menumpahkan darah untuk kemerdekaan ini, akan merasa dirampas haknya sebagai warga negara.
Dan ketika ayat-ayat Al-Quran dipaksakan sebagai sistem hukum di negara yang berbasiskan Pancasila, jelas kacau adanya. Negara mau dikembalikan pada situasi saat ada piagam Jakarta sebelum dicabut, bahwa negara kita berdasarkan syariat Islam.
Lihat saja pergerakan mereka.. Cara mereka memainkan isu yang membakar melalui media online dan media sosial. Edit, pelintir dan sebarkan untuk menggiring persepsi orang, memancing sumbu pendek yang anunya buntet keluar kandang.
Untung ada Nusron..
Meski banyak cendekiawan muslim yang turun memberikan pengetahuan bahwa Al Maidah 51 itu sejatinya bukan untuk politik, tapi suara mereka, tulisan mereka nyaris tak terdengar ditengah riuhnya suara mencaci dari umat di seberang jendela yang persis seperti kumpulan ayam menjelang jam makan. Berisik.
Nusron Wahid tidak menyia-nyiakan panggung yang diberikan kepadanya di acara TV nasional, ia langsung membantai, membanting, menghajar, menabok, mencubit, mengkilikitik, menowel (makin lama kok makin feminin ya?), pola pikir barbar yang ditanamkan oleh mereka yang sok berperilaku ulama tapi otak dangkal.
Dengan suara menggelegar, ia berkata keras, tegas dan pedas. Membuka ruang-ruang di akal mereka yang muslim dan toleran. Mereka ini yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada si bebal bergincu tebal. Mereka hanya ingin diyakinkan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam.
Begitu juga dengan agama lain.
Mereka melihat Nusron sebagai wajah Islam yang sesungguhnya, bukan Islam berpunuk onta. Mereka lega bahwa Nusron menjadi perwakilan dari Nahdlatul Ulama yang masih menjadi organisasi muslim terbesar di nusantara.
Dengan pernyataan Nusron, mereka memahami bahwa Indonesia masih layak diperjuangkan, bukan karena siapa yang paling mayoritas agamanya tetapi karena ini adalah tanah kita bersama..
Nusron malam itu seperti kopi pahit bagi si rasis berotak dangkal, tapi manis ketika diseruput seluruh bangsa Indonesia tanpa mengenal ras dan agama..
Untung ada Nusron..
Untung ada NU..
Seruput dulu, Gus..
Sumber : Denny Siregar
No comments:
Write komentar